Uskup KAJ Ignatius Kardinal Suharyo menyoroti lunturnya kebersamaaan di masyarakat Indonesia. Hal tersebut terlihat dari munculnya ujaran kebencian, intoleransi dan politik identitas dalam masyarakat. Karena itu, Suharyo menyerukan kepada umat Kristen agar menjadi sahabat bagi semua orang untuk menumbuhkan kembali kebersamaan di masyarakat.
"Ujaran kebencian, kata itu 10 tahun yang lalu belum ada, artinya belum seperti sekarang. Intoleransi, politik identitas itu semua menurut saya adalah kosakata baru yang masuk di dalam pergaulan kita sebagai tanda-tanda zaman yang negatif," tutur Ignatius Kardinal Suharyo saat menggelar konferensi pers di Gereja Katedral Jakarta, Rabu (25/12).
Your browser doesn’t support HTML5
Kendati demikian, Suharyo meminta masyarakat tidak berkecil hati dalam menghadapi lunturnya kebersamaan masyarakat. Sebab, di tingkat internasional terdapat perkembangan positif seperti munculnya Deklarasi Abu Dhabi yang ditandatangani Paus Fransiskus dan Imam Besar Al Azhar di Uni Emirat Arab pada awal Februari 2019 lalu. Deklarasi tersebut bertujuan mendorong hubungan yang lebih kuat antara umat manusia dan mempromosikan hidup berdampingan antarumat beragama dalam melawan ekstremisme.
"Dokumen Abu Dhabi yang ditandatangani oleh Imam Besar Al Azar bersama Paus Fransiskus yang sekarang menjadi pegangan bagi banyak komunitas untuk membangun, ikut terlibat di dalam pembangunan kemanusiaan, pembangunan persaudaraan universal dan tentu saja pembangunan persaudaraan di Indonesia," tambahnya.
Perkembangan positif lainnya, kata dia yaitu para ekonom muda dari berbagai negara yang akan berkumpul di Italia pada April 2020 mendatang untuk mencari solusi ketimpangan ekonomi supaya lebih manusiawi.
Setara Institute mencatat kasus intoleransi berupa pelanggaran terhadap kebebasan beragama atau berkeyakinan ada 2.400 peristiwa di berbagai wilayah Indonesia dalam 12 tahun terakhir. Jawa Barat tercatat sebagai provinsi dengan kasus terbanyak dengan 629 peristiwa, disusul DKI Jakarta dengan 291 kasus dan Jawa Timur dengan 270 kasus.
Tindakan tersebut sebagian besar dilakukan oleh kelompok warga, ormas keagamaan, kepolisian dan kementerian agama. Sementara korban yang menjadi obyek pelanggaran tertinggi, yaitu Ahmadiyah, aliran keagamaan dan umat Kristen.
Gangguan terhadap rumah ibadah merupakan pelanggaran terbanyak dalam 12 tahun terakhir. Adapun rinciannya adalah gangguan terhadap gereja sebanyak 199, masjid 133 gangguan, rumah ibadah kepercayaan 32 gangguan, disusul wihara, kelenteng, pura dan sinagoge.
Jemaat Dukung Seruan Keuskupan Agung Jakarta
Mahasiswi Institut Stiami Jakarta Suci Kali mengatakan pesan Keuskupan Agung Jakarta sesuai dengan kondisi sekarang, terutama bagi dirinya yang berasal dari Nusa Tenggara Timur (NTT). Menurutnya, toleransi antarumat beragama diperlukan untuk menjaga persatuan di masyarakat.
"Jadi sekarang untuk toleransi itu, sahabat untuk kita semua yang berbeda agama dan etnis itu yang penting. Misalkan saya yang berasal dari NTT, kuliah di sini jadi berusaha harus berteman dengan yang berbeda karena kita Bhineka Tunggal Ika," tutur Suci usai beribadah di Gereja Katedral Jakarta, Rabu (25/12).
Senada warga Jakarta Pusat lainnya Zulianto, usai beribadah menyampaikan perlunya masyarakat melakukan silaturahmi antarsesama manusia. Ini untuk menumbuhkan kembali kerukunan antarumat beragama di Indonesia.
"Untuk di hari Natal ini, untuk warga semua menjaga kerukunan, silaturahmi bersama agar lebih baik lagi," tutur Zulianto. [sm/uh]