Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah melakukan OTT terhadap Bowo Sidik Pangarso, anggota Komisi VI DPR dari Fraksi Partai Golkar. Komisi anti rasuah itu, dalam paparannya kepada pers, memboyong 82 kardus berisi amplop uang pecahan Rp20.000 dan Rp50.000. Jumlah amplop itu diperkirakan mencapai 400 ribu buah, dengan nilai uang total setidaknya Rp.8 miliar.
Dalam keterangannya pada 28 Maret 2019 lalu, KPK menyatakan bahwa Bowo Sidik diduga mengumpulkan uang untuk melakukan serangan fajar pada pemilu 2019. Menurut KPK, uang itu diperoleh dari sejumlah pihak dengan memanfaatkan posisinya sebagai anggota DPR. Modus seperti inilah, yang disebut oleh mantan Hakim Agung Artidjo Alkostar sebagai korupsi politik.
Mantan komisioner KPK, Busyro Muqoddas kepada VOA pun mengakui, melihat kasusnya, apa yang terjadi adalah korupsi politik.
Your browser doesn’t support HTML5
“Korupsi politik itu karakternya, kelindannya kuat. Jadi ada banyak aktor, karakter itu pasti. Sekarang karena ada bukti awal seperti itu, maka bukti awal itu perlu dianalisis dengan pendekatan yang berdasarkan karakter korupsi politik,” kata Busyro.
KPK Dinilai Masih Independen
Istilah korupsi politik sendiri tidak ditemukan dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Penyebutan ini muncul salah satunya dalam salinan putusan MA, yang ditandatangani oleh Hakim Agung Artidjo Alkostar, MS Lumme, dan Krisna Harahap pada 2015. Dalam perkara dengan terdakwa Bupati Karanganyar, Jawa Tengah, Rina Iriani Sri Ratnaningsih, korupsi politik didefinisikan sebagai korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik dan uang hasil kejahatannya dialirkan untuk kegiatan politik.
Busyro menambahkan, ada standar penyelidikan dan penyidikan di lembaga itu yang disebut Busyro sebagai case building. Dalam kaitan Romahurmuziy dan Bowo Sidik Pangarso, KPK akan merunut alur kasusnya, sehingga bisa mengumpulkan siapa saja pihak yang diduga terlibat.
“Biasanya KPK begitu kerjanya. Bahkan andaikata pimpinannya kurang independen, saya kira di lapis bawah itu cukup independen. KPK sebagai lembaga masih bisa dipercaya untuk mengungkap kasus ini, meskipun kalau melihat situasi terakhir, kita juga nggak tahu. Situasinya begini,” tambah Busyro.
Dalam kasus OTT di Jawa Timur, terungkap bahwa mantan Ketua PPP Romahurmuziy atau Romy memanfaatkan posisinya yang berpengaruh di Kementerian Agama. Menteri Agama sendiri berasal dari partai yang sama dengan Romy. Diduga, ada permainan jual-beli jabatan dengan imbalan uang yang diterima oleh Romy.
Sedangkan dalam kasus Bowo Sidik Pangarso, sebagai anggota DPR dia diduga menekan BUMN PT Pupuk Indonesia agar menggunakan jasa PT Humpuss Transportasi Kimia (HTK) untuk pendistribusian pupuk. Bowo kemudian menerima imbalan uang dari perusahaan tersebut.
Sementara itu, Lembaga kajian Hicon Law & Policy menyampaikan apresiasi terhadap kinerja KPK. Mereka juga menyambut baik langkah partai yang langsung memecat pihak-pihak yang terkena OTT. Menurut Allan FG Wardhana, peneliti di lembaga tersebut, ditangkapnya Romy dan Bowo Sidik menunjukkan KPK tetap profesional dan bekerja secara baik pada tahun politik. “Selain itu, ditangkapnya kedua orang tersebut juga menunjukkan bahwa KPK tidak tebang pilih seperti penilaian sejumlah pihak yang sering dikeluarkan selama ini,” kata Allan.
Penilaian itu tentu bukan tanpa dasar. Menurut Allan, masyarakat bisa melihat rekam jejak KPK dalam mengusut tuntas kasus korupsi, di mana semua kasus yang ditangani terbukti di pengadilan. Bahkan dari kasus yang ditangani tersebut, muncul fakta-fakta terbaru berkaitan dengan praktik korupsi. Selain itu, UU KPK juga memberikan jaminan bahwa kerja KPK tidak dapat diintervensioleh siapapun, baik oleh Presiden maupun DPR.
Lebih jauh, Hicon menyatakan kasus ini harus menjadi pengingat keras bagi peserta Pemilu 2019. “Baik partai politik maupun perseorangan peserta Pemilu jangan melakukan politik uang dalam mendapatkan suara pemilih,” kata Allan.
Romy dan Bowo Ujian Sejarah KPK
Peneliti dari Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat Korupsi) Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Zaenur Rohman menilai, dua kasus terakhir di KPK itu akan menjadi ujian sejarah bagi lembaga tersebut. Selama ini, KPK dikenal mampu memproses kasus-kasus hukum yang memiliki kaitan politik secara profesional. Zaenur menyebut daftar kasus mulai mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, mantan Ketua DPR Setya Novanto, mantan Presiden PKS Lutfi Hasan Ishaq, hingga mantan ketua DPD Irman Gusman.
Namun, catatan khusus diberikan untuk dua kasus terakhir yang menyeret nama Romy dan Bowo Sidik.
“Untuk kasus sekarang ini, yaitu kasusnya Romy dan Bowo, memang kita akan melihat apakah KPK tetap bisa bekerja profesional seperti sebelumnya ataukah terpengaruh. Apa ukuran KPK bekerja secara profesional? Ukurannya adalah mengungkapkan kejadiannya secara utuh dan juga menjerat pihak lain yang memiliki kaitan dengan kasus ini,” kata Zaenur.
Terkait dua kasus terakhir, masyarakat masih menunggu penjelasan KPK untuk melihat profesionalitas lembaga itu. Dalam kasus Romy, menurut Zaenur yang ditunggu masyarakat adalah penjelasan KPK terkait status uang yang disita dari ruangan Menteri Agama. “KPK harus memiliki penjelasan, apakah uang itu memiliki keterkaitan dengan tindak pidana yang dilakukan Romy. Kalau iya, apakah Menteri Agama memiliki keterkaitan dengan tindak pidana itu atau tidak?,” tambahnya.
Sedangkan dalam kasus Bowo Sidik, pertanyaan masyarakat adalah apakah uang yang dikumpulkannyaakan dipakai sendiri ataukah ada kemungkinan mengalir kepada partai politik. Selain itu, harus dijelaskan pula, kata Zaenur, apakah uang itu direncanakan hanya digunakan untuk pencalonan Bowo Sidik sendiri sebagai Caleg, atau memiliki keterkaitan dengan kontestasi lain, misalnya pencapresan.
“KPK sebelumnya selalu mengumumkan fakta-fakta penting terkait kasus. Ini masyarakat menunggu. Kalau saya sendiri dan Pukat Korupsi, masih memiliki keyakinan bahwa KPK akan bertindak profesional dalam kasus tersebut,” kata Zaenur.
Yang cukup pelik, adalah karena kasus ini berdekatan dengan Pemilu. Zaenur memaparkan, pedoman penjelasan KPK adalah momentum penegakan hukum. Karena itu, tidak ada patokan apakah semua pertanyaan masyarakat itu harus dijawab sebelum atau sesudah 17 April 2019. Satu hal yang pasti, pesan Pukat UGM, KPK tidak boleh terjebak dalamkontestasi yang saat ini sedang berlangsung. [lt]