Kisah Cristo dan Surya, 2 Insan Tuli Berprestasi Asal Indonesia di Amerika

Dua mahasiswa Tuli asal Indonesia, Cristophorus Budidharma (kiri) dan Surya Sahetapy (kanan), di AS (dok: Instagram/@suryasahetapy)

Keterbatasan bukanlah penghalang bagi dua insan Tuli berprestasi, Cristophorus Budidharma dan Surya Sahetapy, untuk bisa kuliah di AS dan memperjuangkan hak Tuli di Indonesia. "Kita memang berbeda, bukan berarti kita tidak bisa bersatu untuk membangun Indonesia agar negara yang ramah disabilitas."

Dua insan Tuli asal Indonesia belum lama ini berhasil menoreh prestasi di Universitas Rochester Institute of Technology/National Technical Institute for the Deaf (RIT/NTID) di kota Rochester, New York, yang merupakan salah satu universitas di Amerika Serikat yang memiliki program inklusif bagi mahasiswa Tuli untuk bisa mengikuti kuliah di kelas umum bersama orang dengar.

Mereka adalah Cristophorus Budidharma dan Panji Surya Putra Sahetapy, yang sudah berteman sejak masih duduk di bangku sekolah dasar saat tinggal di Indonesia dulu.

Cristophorus Budidharma yang akrab disapa Cristo berhasil meraih RIT Outstanding Service Award khusus bagi mahasiswa internasional, atas partisipasinya sebagai relawan di kampus, serta keterlibatannya di dua organisasi, Tiger Media Organization dan Deaf International Student Association.

Cristophorus Budidharma saat meraih penghargaan Outstanding Service Award di RIT (dok: Cristophorus Budidharma)

“Meraih RIT Outstanding Service Award untuk mahasiswa internasional adalah momen terbaik dalam kehidupan saya, karena seluruh pencapaian saya diakui dan dihargai,” ujar Cristo saat diwawancara melalui surel kepada VOA Indonesia.

Cristo baru saja lulus bulan Mei 2019 lalu dan meraih gelar sarjana jurusan ilmu biomedik dengan fokus pra-kedokteran di bidang psikologi.

Di RIT, Panji Surya Putra Sahetapy yang kerap disapa Surya, berhasil masuk ke dalam daftar mahasiswa berprestasi di bidang akademik atau “Dean’s List,” seperti dilansir dalam situs universitas tersebut:

“Surya Sahetapy masuk ke dalam Dean’s List di Rochester Institute of Technology untuk semester Fall tahun 2018. Sahetapy tengah menekuni program pendidikan liberal. Selamat!”

Untuk bisa masuk ke dalam daftar “Dean’s List,” mahasiswa harus mencapai IPK paling tidak 3,4, tidak pernah mendapat nilai D atau F, dan mengambil atau mendaftar kredit kelas paling sedikit 12 jam dalam satu semester.

Surya yang adalah putra dari mantan pasangan aktor Ray Sahetapy dan penyanyi sekaligus aktris, Dewi Yull ini kini tengah menempuh jurusan kajian internasional-global, karena dirinya tertarik dengan berbagai permasalahan dunia, khususnya politik, ekonomi dan juga HAM.

“Saya berpikir bahwa saya bisa memanfaatkan isu internasional untuk mendukung perkembangan disabilitas dan Tuli Indonesia seperti hukum serta kebijakan khusus disabilitas di Amerika dan dunia,” papar Surya kepada VOA Indonesia melalui surel.

Sang Ibu mengutarakan rasa bangga atas prestasi putranya melalui akun Instagram pribadinya belum lama ini.

Proud of you sayangku @suryasahetapy. Selamat ya Nak untuk prestasi yang dicapai di semester ini. Walau informasi ini hanya buat ibu dan dilarang di posting..dikit ajah..ngintip ya sayang..namanya juga ibu-ibu..maklumin kalau bangga, baper, dan bahagia..” kata Dewi Yull.

Dalam potingan tersebut terlihat surya memegang dua sertifikat dari RIT atas keberhasilannya menembus jajaran Dean’s List dan partisipasinya dalam NTID Student Research Fair bulan April 2019 lalu.

Beberapa waktu lalu nama Surya sempat menjadi sorotan ketika diliput oleh surat kabar the New York Times, sebagai sosok Tuli yang memperjuangkan pengajaran pendidikan agama Islam untuk Tuli muslim di Indonesia.

Ini adalah proyeknya bersama organisasi nirlaba, Qur’an Indonesia Project, yang didirikan oleh Archie Fitrah Wirija. Organisasi ini menyediakan rekaman ayat-ayat Al-Qur’an yang dibacakan oleh artis-artis Indonesia dan kini juga membantu para muslim Tuli untuk mempelajari Islam, serta menerjemahkan Al-Qur’an ke dalam bahasa isyarat.

Berjuang Masuk Universitas Yang ‘Ramah’ Bagi Tuli

Sebelum kuliah di Amerika, Cristo dan Surya pernah mengikuti program pertukaran pelajar ke Amerika.

Cristo mengikuti program pertukaran pelajar tahun 2012, di mana pada waktu itu ia adalah satu-satunya Tuli dalam rombongan, yang selama satu bulan berkesempatan untuk berkunjung ke Washington, D.C., Virginia, dan California.

“Ini merupakan kesempatan emas. Saya banyak bertemu orang dari seluruh dunia, namun sayangnya, tidak ada yang bisa saya jadikan panutan karena semua adalah orang dengar. Tapi saya banyak belajar tentang kepemimpinan dan tanggung jawab,” kata Cristo yang adalah pria kelahiran tahun 1993 ini

Tahun 2016 giliran Surya yang mengikuti program pertukaran pelajar ‘Deaf Youth Leadership Exchange Program’ yang diselenggarakan oleh kedutaan besar Amerika untuk Indonesia di Jakarta.

Selama dua minggu di Amerika, Surya sempat berkunjung ke Gedung Putih, NASA, juga universitas Gallaudet di Washington, D.C. yang memiliki program inklusif untuk Tuli.

Dalam perjalanannya Surya banyak bertemu dengan tokoh Tuli sukses yang berkiprah menjadi dokter, pengacara, dan juga pada waktu itu asisten dari presiden Barack Obama. Ia terkesima saat mempelajari berbagai fasilitas untuk Tuli di kampus-kampus Amerika.

“Dari pengalaman tersebut, kami tularkan perspektif baru ke teman-teman di Indonesia bahwa teman-teman Tuli bisa mengembangkan diri mereka dengan dukungan aksesibilitas seperti Bahasa isyarat dan serta pemahaman terbuka masyarakat terhadap potensi teman-teman disabilitas,” papar Surya.

Cristophorus Budidharma, lulusan RIT/NTID, New York (dok: Cristophorus Budidharma)

Pengalaman inilah yang mendorong keduanya bertekad untuk melanjutkan pendidikan tinggi di Amerika.

“Saya ingin belajar di Amerika karena pengakuan dan pendidikannya. Beranjak dewasa saya tidak mendapat dukungan dari orang sekitar dan keluarga karena saya tuli. Tuli di Indonesia yang ingin menekuni bidang medik dan sains seperti saya (dianggap) tidak masuk akal. Inilah yang terus mendorong saya untuk berjuang dan membuktikan bahwa mereka salah,” jelas Cristo yang hobi membaca dan main video game ini.

Situs BestColleges.com yang memuat berbagai informasi mengenai beragam universitas menyorot lima universitas di Amerika yang memiliki program inklusif untuk Tuli dan mahasiswa dengan gangguan pendengaran.

Selain RIT di New York dan Gallaudet University di Washington, D.C., ada Howard College di Texas, The University of Wisconsin-Milwaukee di Wisconsin, dan California State University-Northridge di California.

Cristo lalu memilih RIT/NTID, karena universitas ini memiliki fasilitas untuk Tuli dan mahasiswa dengan gangguan pendengaran, serta program ilmu bio-medik yang ingin ia tekuni.

Yang menarik, situs pemerintah kota Rochester di mana RIT/NTID berada menyebutkan bahwa Rochester adalah kota yang dikenal paling ramah Tuli dan orang dengan gangguan pendengaran di Amerika Serikat. Kota ini menyediakan akses bagi Tuli di bidang rekreasi dan sosialiasi, layanan kesehatan, agama, bisnis, dan masih banyak lagi.

RIT sudah berdiri sejak tahun 1829. Program inklusif NTID untuk Tuli dan mahasiswa dengan gangguan pendengaran menjadi bagian dari RIT tahun 1968.

Dilansir dari situs RIT, jumlah mahasiswa yang tergabung dalam program NTID saat ini melebihi 1.000 orang. Menurut Surya, banyak mahasiswa RIT/NTID yang berasal dari berbagai negara.

“Saya memilih RIT/NTID karena memiliki program inklusif di mana Tuli bisa berkuliah di kelas umum. Di sana saya mengikuti kelas regular yang disediakan juru bahasa isyarat, notetaker (red: pencatat) dan bahkan captioner (red: penulis transkrip),” kata Surya yang juga pernah kuliah di Sampoerna University-Lone Star College di Jakarta dengan jurusan pendidikan bahasa Inggris.

Para penerjemah atau juru bahasa isyarat, pencatat, dan penulis transkrip ini adalah mahasiswa berprestasi yang tergabung dalam tim profesional di kampus.

Perjuangan Cristo untuk bisa menempuh pendidikan tinggi di Amerika pun tidak mudah. Berbekal ketekunan dan tekad yang bulat, ia berhasil meraih beasiswa untuk kuliah di RIT/NTID.

“Awalnya saya sempat menyerah mencari beasiswa. Untungnya saya mendapat informasi dari kenalan saya sewaktu mengikuti program pertukaran pelajar Indonesia-Amerika tahun 2012,” kenang Cristo.

Cristo mengaku sempat frustrasi saat mendaftar ke universitasnya ini, karena semua harus dilakukannya sendiri, karena orang tuanya tidak mengerti bahasa Inggris. Ditambah lagi ia berusaha mendapatkan beasiswa untuk kuliah.

Cristophorus Budidharma, lulusan RIT/NTID, New York (dok: Cristophorus Budidharma)

Mulai dari biaya aplikasi, penulisan esai, hingga surat rekomendarsi dari pemerintah Indonesia, surat keterangan keuangan keluarga, hingga transkrip nilai dari SMA, semua diurusnya sendiri. Ia pun rela harus melek tengah malam untuk menghubungi pihak administrasi universitas, mengingat perbedaan waktu antara Indonesia dan Amerika.

“Waktu itu saya hampir menyerah untuk mencari beasiswa,” ujarnya.

“Yang paling menantang adalah saat harus mengikuti tes ACT, karena saya besar di sekolah Tuli yang memiliki kurikulum/pendidikan rendah. Untuk menghadapi ini, saya memutuskan untuk belajar sendiri melalui ‘Khan Academy’ (red: Khan Academy adalah situs dan aplikasi daring yang mengajarkan murid-murid beragam mata pelajaran) dan meminta bantuan,” jelasnya lagi.

Namun, Cristo tidak menyerah begitu saja. Kuncinya menurut Cristo sebenarnya ‘simple,’ yaitu selalu bertanya jika mememerlukan bantuan dan tidak berhenti belajar.

“Jangan berhenti mencoba dan belajar dari kesalahan. Pencarian beasiswa mungkin kompetitif, tapi layak untuk dicoba dibanding tidak melakukan apa-apa,” katanya.

Keterbatasan Bukanlah Penghalang

Lahir dengan keterbatasan tidak pernah mematahkan semangat Cristo dan Surya dalam mencapai cita-cita. Keduanya dikenal sebagai mahasiswa yang aktif di kampus.

Beroganisasi di kampus telah mengajarkan Cristo untuk menjadi pemimpin yang baik. Ia juga belajar banyak mengenai berbagai hal yang berhubungan dengan penyelenggaraan acara, salah satunya Deaf Media Festival yang ikut ia garap. Dalam mempersiapkan festival yang berlangsung selama satu minggu ini, Cristo bertugas membuat surat pengajuan dana, menghias ruangan, dan memasarkan festival tersebut.

Dalam satu waktu Cristo ditunjuk menjadi ketua budaya yang menyelenggarakan Holi Festival, yang menyediakan lokakarya melukis henna, kuliner India, sejarah dari perayaan Holi, dan juga pojokan foto.

“Lokakarya ini diadakan untuk menyebarkan kesadaran akan pentingnya Holi Festival untuk orang-orang India, juga mendidik masyarakan untuk menghargai kebudayaan mereka, dan mengajak masyarakat untuk merasakan bagaimana orang-orang India merayakan hari ini,” kata Cristo saat dihubungi VOA Indonesia melalui surel.

Selain itu ia juga menciptakan sebuah proyek baru bersama Stripeticle (Strip + article), sebuah bulletin yang menceritakan tentang sejarah NTID.

“Saya mengakui komunitas Tuli tidak banyak yang tahu mengenai komunitas Tuli di NTID. Buletin ini tidak hanya ditujukan untuk komunitas Tuli saja, tetapi juga komunitas dengar, karena komunitas Tuli perlu diakui oleh komunitas dengar,” jelas Cristo.

Surya (bawah, kiri) dan Cristo (atas, ke-2 dari kiri) bersama teman-teman (dok: Cristophorus Budidharma)

Selain aktif berorganisasi, kerap kali Cristo menjadi relawan. Ia bergabung dengan American Medical Professionals with Hearing Loss, untuk menjadi pembimbing dan pelayan makanan, di mana ia banyak bertemu dengan para pelaku di bidang kesehatan.

“Mereka menginspirasi dan memotivasi saya untuk meraih dan berjuang dengan cara saya. Saya belajar bahwa menjadi relawan tidak hanya membantu, tetapi juga membangun jaringan dan hubungan dengan para orang Tuli yang sukses di Amerika Serikat,” jelasnya.

Di RIT, Surya juga kerap mengikuti acara-acara yang diselenggarakan oleh beberapa klub, seperti Asian Deaf Club, Deaf International Student Association, dan juga organisasi keagamaan, Muslim Student Association.

“Mereka sering menyediakan lokakarya untuk mempelajari hal yang baru contoh kebudayaan baru dari beberapa negara lain seperti hari Bahasa isyarat internasional dan sebagainya. Kemudian, MSA juga beberapa kali mengundang tamu untuk sebagai pembicara. Acaranya untuk orang dengar tetapi selalu ada juru bahasa isyarat yang tersedia,” ujar Surya.

Di Indonesia, Surya dikenal sebagai aktivis yang giat memperjuangkan hak-hak masyarakat Tuli.

Ia pernah bergabung dengan organisasi Tuli yang mengajarkan anak-anak dan remaja mengenai kepercayaan diri dalam berinteraksi, lalu juga di organisasi kesejahteraan Tuli untuk belajar tentang identitas dan isu bahasa isyarat.

“Karena aktif dalam berorganisasi, saya mengikuti perkemahan Tuli Internasional di Turki. Disana saya banyak belajar tentang kepemimpinan, cara advokasi serta kesadaran hak Tuli,” ujar Surya.

Keterbatasan Surya dalam mendengar tidak membuatnya berhenti berjuang untuk menoreh segudang prestasi di berbagai di bidang.

Anak muda kelahiran tahun 1993 ini pernah meraih juara di bidang teknologi bagi penyandang disabilitas, untuk ajang “Global IT Challenge for Youth with Disabilities" yang diselenggarakan oleh organisasi khusus PBB, UNESCAP, dan The Korean Society for Rehabilitation of persons with Disabilities di Thailand tahun 2013.

Surya juga pernah meraih Young Voices Indonesia Award 2017 atas kampanyenya yang menonjol untuk Bahasa Isyarat Indonesia dan advokasinya terhadap berbagai isu disabilitas di Indonesia.

Tahun 2018, Surya mendapat Ruang Guru Influencer Award atas usahanya memperjuangkan hak-hak Tuli untuk bisa mendapat akses untuk ‘konten’ informasi pendidikan dan informasi lain yang bermutu.

Harapan Agar Indonesia "Ramah Disabilitas"

Tinggal di Amerika telah membuat Cristo menjadi mandiri. Di kala musim panas dan akhir tahun, Cristo harus membiayai hidup sendiri karena tidak masuk ke dalam anggaran beasiswa, dengan bekerja asisten periset dan mahasiswa. Tidak hanya itu, ia bisa mendapatkan akses sebagai Tuli yang belum pernah ia dapatkan sebelumnya.

"Saya bisa menelpon restoran untuk membuat reservasi atau memesan makanan dengan berkomunikasi lewat video. Saya juga bisa menyelesaikan urusan saya sendiri dengan bank, rumah sakit, dan organisasi melalui layanan video, tanpa bergantung dengan orang tua dan orang dengar. Kita tinggal di era teknologi maju dan kita harusnya bisa memanfaatkan teknologi," ujarnya.

Cristo dan Surya bersama teman-teman (dok: Cristophorus Budidharma)

Menurut Surya, orang di Indonesia perlu belajar bahasa isyarat dasar dan tidak perlu panik ketika harus berinteraksi dengan orang Tuli. Jika tidak menggunakan bahasa isyarat dasar, mereka bisa menyiapkan kertas untuk berkomunikasi.

"Harapan saya bahwa komunitas Tuli dapat mengakses masyarakat melalui bahasa isyarat dan teks bahasa Indonesia, serta ikut terlibat dalam pembangunan Indonesia lebih baik," harapnya.

Sejak balita, Surya memang sudah mulai belajar bahasa isyarat. Almarhum kakanya, Gisca yang juga tuli kerap mengajarinya.

"Sebenarnya saya bisa memahami bahasa isyarat, tetapi tidak menggunakannya karena mindset saya masih polos saat itu, bahwa bahasa isyarat menghambat kemampuan berbicara. Padahal sebenarnya itu tidak benar," ujar Surya yang pernah menjadi siswa di SD khusus disabilitas pendengaran di Jakarta Barat.

Di usianya yang ke-8 tahun, Surya mulai belajar berbicara di rumah dan sekolah. Latihan yang biasa ia lakukan bersama sang ibu ini bisa berlangsung selama berjam-jam, untuk bisa melafalkan kata demi kata.

"Bersama ibuku, saya berhasil melafalkan 'pulang' setelah beberapa jam mengucapkan 'pula' tanpa 'ng.' Setelah berhasil melafalkan, maka saya bisa bermain seperti biasa," kenang Surya.

Saat SMP, Surya mencari pengalaman baru dengan bersekolah di SMP Pembangunan Jaya di Bintaro, Tangerang Selatan.

"Disana, saya satu-satu siswa Tuli dan mengalami banyak tantangan lama berinteraksi terutama bagaimana memahami guru dengan kemampuan baca bibir. Apalagi, setiap guru memiliki gerakan bibir yang berbeda-beda sehingga saya harus beradapatasi setiap guru. Syukurlah, mereka sangat mendukung saya," ujar Surya.

Cristo juga merasakan tantangan yang besar saat sekolah di Indonesia. Sebagai siswa Tuli di Indonesia ia mendapatkan kurikulum sekolah yang rendah. Hal ini membuatnya frustrasi, karena harus belajar lagi sendiri. Menurutnya, Tuli hanya memerlukan bantuan penerjemah profesional yang memenuhi kualifikasi.

Selain itu, Cristo menambahkan Indonesia juga membutuhkan program pendidikan awal bilingual bahasa Indonesia dan Bisindo (Bahasa Isyarat Indonesia) untuk anak-anak Tuli. Akses bagi Tuli di Indonesia juga sangat penting. Pendidikan mengenai akses yang diperlukan untuk Tuli perlu ditingkatkan.

"Contohnya, saya sebagai Tuli dan membutuhkan bantuan penerjemah, tapi malah diberikan kursi roda," ujar Cristo yang kini tengah berencana untuk menekuni program S2 dan S3 di bidang ilmu anatomi.

Tidak hanya bercita-cita sebagai profesor di bidang anatomi, Cristo juga ingin menjadi pelopor bagi komunitas Tuli di Indonesia yang tertarik dengan bidang medik dan STEM. Ia berharap bisa membuka jalan dan menginspirasi anak-anak Tuli.

"Saya ingin menjadi sosok panutan untuk anak-anak Tuli yang ingin menjadi dokter atau bergerak di bidang kesehatan," katanya.

Setelah melihat sendiri dan menempuh dunia pendidikan di Amerika, Surya berharap Indonesia bisa mengembangkan kebijakan yang ramah disabilitas, termasuk Tuli, khususnya di bidang pendidikan.

"Seperti pengembangan tenaga ajar Tuli dan dengar yang fasih berbahasa isyarat yang diterima komunitas Tuli. Kurikulum Pendidikan Tuli dan dengar perlu disetarakan dengan catatan bahwa adanya pengembangan jumlah pengajar Tuli yang berkualitas," ujar Surya.

Satu pesan dari Surya untuk Indonesia:

"Kita memang berbeda, bukan berarti kita tidak bisa bersatu untuk membangun Indonesia agar (menjadi) negara yang ramah disabilitas." [di]