Menghadapi kasus terkait kebijakan penerimaan mahasiswa di Universitas Harvard yang dituduh dipengaruhi oleh ras, Mahkamah Agung AS telah meminta masukan dari Departemen Kehakiman.
Profesor Universitas Kentucky Gregory Vincent mengatakan penting bagi Mahkamah Agung untuk meminta pandangan pemerintah.
“Saya pikir memahami apa yang dipikirkan pemerintah, terutama pemerintah yang memiliki fokus pada pendidikan, itu menarik, dan bagus bahwa mereka mendapatkan sudut pandang itu, terutama jika kita mengevaluasi preseden baru-baru ini.”
Lima tahun lalu, Vincent adalah juru bicara di University of Texas di Austin ketika universitas itu digugat atas kebijakannya yang disebut “Affirmative Action" atau tindakan afirmatif.
BACA JUGA: Universitas-universitas di AS Didesak Berikan Ganti Rugi Terkait Perbudakan dan Rasisme“Affirmative Action” mengacu pada serangkaian kebijakan dan praktik dalam pemerintah atau organisasi yang berusaha memasukkan kelompok tertentu berdasarkan jenis kelamin, ras, seksualitas, keyakinan, atau asal usul dalam bidang-bidang di mana mereka dianggap kurang terwakili seperti pendidikan dan pekerjaan.
“Apa yang dapat kami perdebatkan secara persuasif adalah bahwa keragaman merupakan hal yang penting dalam pendidikan tinggi … bahwa semua mahasiswa mendapat manfaat dari lingkungan belajar yang kuat dan beragam, bahwa itu adalah kepentingan keamanan nasional dan itu memajukan bisnis yang baik," kata Gregory Vincent.
Pengacara yang mewakili seorang mahasiswa yang menuntut University of Texas setelah dia tidak diterima di universitas itu, mengatakan tindakan afirmatif adalah bias.
“Kami telah mengatakan dalam laporan kami dan tentu saja kami telah mengatakan selama ini bahwa ras adalah klasifikasi yang menjijikkan. ... Menggunakan ras sebagai alasan (penerimaan mahasiswa) tidak meyakinkan dan tidak dikuatkan oleh bukti dan tidak menjadi dasar keputusan itu tidak tepat," kata Bert Rein, sang pengacara.
Pada tahun 2016 Mahkamah Agung AS memutuskan bahwa menggunakan ras dalam keputusan penerimaan mahasiswa adalah sah. Tetapi sekarang, mereka yang mendukung “tindakan afirmatif” khawatir bahwa mahkamah yang mayoritas konservatif (6-3) dapat mengakhiri kebijakan itu.
Julie Park adalah seorang profesor pendidikan di University of Maryland-College Park dan menjadi penasihat hukum untuk Universitas Harvard. Dia mengatakan jika gugatan terhadap Harvard menang, itu bisa berdampak buruk pada mahasiswa minoritas.
BACA JUGA: Efek Riak COVID-19 Masih Berdampak pada Universitas-universitas di AS“Tentu saja itu akan menjadi bencana bagi komunitas Afrika-Amerika, komunitas Latin, dan komunitas Pribumi dalam pendidikan tinggi, di Harvard, khususnya, tetapi juga pada umumnya, di seluruh negeri, baik di perguruan tinggi negeri maupun swasta," ujarnya.
Gugatan tersebut dipimpin oleh Edward Blum, ahli strategi hukum dari Texas. Blum mendaftarkan sekelompok calon mahasiswa keturunan Asia yang tidak disebutkan namanya dalam gugatan itu. Mereka mengatakan bahwa “tindakan afirmatif” menekan pendaftaran calon mahasiswa keturunan Asia di Amerika demi minoritas lainnya.
Tetapi survei tahun 2020 menunjukkan bahwa 70 persen orang Amerika keturunan Asia mendukung tindakan afirmatif.
“Saya telah melihat orang Amerika keturunan Asia yang bingung… Kami adalah komunitas yang beragam dalam segala hal. Jadi saya kita kira dari komunitas Asia ada berbagai reaksi," ujar Profesor Julie Park.
Sementara itu Profesor Vincent mengatakan tidak ada bukti bahwa orang Amerika keturunan Asia dikecualikan dalam proses penerimaan mahasiswa. Sejauh ini, para hakim agung telah menunda kasus ini tetapi tidak menolaknya.
“Itu hanya akan mengirim pesan yang menurut saya meresahkan, bahwa masalah ini masih belum terselesaikan," kata Gregory Vincent. [lt/jm]