Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan B3 KLHK, Rosa Vivien Ratnawati, mengatakan pada tahun 2021 diperkirakan sampah Indonesia berjumlah 68,5 juta ton. Komposisi sampah nasional itu menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan timbulan sampah plastik dari 11 persen di tahun 2010 menjadi 17 persen pada tahun 2021. Terjadinya peningkatan timbulan sampah itu didorong oleh perubahan gaya hidup dan pola konsumsi masyarakat Indonesia yang menginginkan serba praktis.
"Sehingga banyak menggunakan plastik sekali pakai," ujar Vivien dalam webinar bertema Gagasan Baru Solusi Pengurangan Sampah Plastik, Kamis (24/2).
Mengingat kian bertambahnya jumlah sampah plastik, kata Vivien, harus ada kebijakan dan upaya luar biasa untuk mengatasi persoalan tersebut; dari hulu ke hilir.
BACA JUGA: Lindungi Laut, Jokowi Janji Ubah Sampah Plastik Jadi ListrikSalah satu kebijakan itu yakni mewajibkan produsen untuk mengurangi sampah plastik yang berasal dari produk dan kemasan seperti tercantum di dalam Peraturan Menteri LHK No 75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah Oleh Produsen.
"Bentuk tanggung jawab produsen dalam pengurangan sampah dalam Peraturan Menteri LHK ini adalah mewajibkan produsen untuk membatasi timbulan sampah. Mendaur ulang sampah melalui penarikan kembali. Lalu, memanfaatkan kembali sampah," ujar Vivien.
72 Persen Warga Tak Peduli Sampah
Sementara itu, Direktur Pengurangan Sampah KLHK, Sinta Saptarina Soemiarno, mengungkapkan bahwa perilaku ketidakpedulian terhadap lingkungan di Indonesia masih rendah. Setidaknya 72 persen masyarakat tidak peduli sampah.
"Pertumbuhan penduduk semakin tinggi dengan perubahan perilaku belanja konsumtif Indonesia yang kian meningkat. Dikhawatirkan kalau kita tidak melakukan hal-hal yang militan, peningkatannya akan meningkat tajam," ucapnya.
Sinta pun mencontohkan peningkatan timbulan sampah plastik terjadi di Kecamatan Rangkut, Kota Surabaya, Jawa Timur, dari 7,99 persen pada tahun 2017 menjadi 22,38 persen di tahun 2020.
"Peningkatan sampah plastik juga terjadi di TPA Benowo dari 12,96 persen pada tahun 2013 menjadi 22,01 persen di tahun 2020," ujarnya.
Kemudian, peningkatan sampah plastik juga disebabkan oleh gaya hidup belanja online selama pandemi COVID-19. Peningkatan bisnis online berdampak langsung terhadap peningkatan jumlah sampah plastik di rumah tangga.
"Akibat meningkatnya pemakaian kemasan, pembungkus, bubble wrap, dan kantong plastik pada saat pengemasan serta pengantaran barang," ungkap Sinta.
Your browser doesn’t support HTML5
Tak Mudah Berlakukan Aturan Soal Sampah Plastik
Berdasarkan hasil riset Pusat Penelitian Oseanografi (P2O) LIPI di tahun 2020 mengenai dampak Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan Work From Home (WFH) terhadap sampah plastik di Jabodetabek yang dilaksanakan pada April-Mei 2020 menunjukkan fakta belanja online berbentuk paket meningkat 62 persen. Lalu, belanja online berbentuk layanan antar makanan siap saji naik 47 persen.
"Frekuensi belanja online yang tadinya cuma sekali sebulan itu bisa menjadi 1 sampai 10 kali per bulan dan 96 persen paket belanja online dibungkus dengan plastik," pungkas Sinta.
Pakar lingkungan sekaligus Guru Besar Jurusan Teknik Lingkungan Institut Teknologi Bandung, Enri Damanhuri, mengatakan sejumlah upaya mengurangi sampah plastik yang telah dilakukan pemerintah melalui sejumlah peraturan tampaknya tidak mudah.
Pasalnya, beberapa sampah plastik yang hanyut ke laut sebagian besar berasal dari darat karena pelayanan pengelolaan sampah oleh pemerintah daerah masih rendah.
"Alasan utama jelas selalu dana tidak berpihak kepada pengumpulan sampah, sebagian sampah plastik yang merupakan sampah pengemas dari fast moving consumer goods ini belum menarik untuk didaur ulang," tandas Enri. [aa/em]