KNKT Temukan Persoalan Prosedur dalam Kecelakaan Lion Air

Para anggota tim penyelamat dekat bangkai pesawat Lion Air dekat landasan Bandar Udara Ngurah Rai, Bali, 15 April 2013.

Laporan pendahuluan dari KNKT mengenai kecelakaan Lion Air di Bali bulan lalu menemukan bahwa kapten pilot tidak memegang kendali pada 'saat kritis.'
Para penyelidik mempertanyakan prosedur-prosedur pelatihan dan kokpit pada maskapai penerbangan berbiaya rendah Lion Air, menyusul laporan pendahuluan mengenai kecelakaan pesawat maskapai itu di Bali bulan lalu, yang menemukan bahwa kapten pilot tidak memegang kendali pada "saat kritis".

Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) mengatakan dalam sebuah laporan yang diluncurkan Selasa malam (14/5) bahwa Lion Air harus segera meninjau ulang atau memberlakukan sejumlah langkah keselamatan terkait prosedur mendarat yang dilakukan pilot.

Namun, laporan ini tidak mengatakan bagaimana kesimpulan awal ini didapat dari serangkaian bukti yang dikumpulkan dari "kotak hitam" berisi data penerbangan dan rekaman suara kokpit.

Semua penumpang dan awak pesawat yang berjumlah 108 orang selamat ketika pesawat jet itu tergelincir ke laut dari landasan pesawat dan terpotong dua di laut.

Laporan tersebut juga tidak memberikan sebab pasti kecelakaan tersebut, namun memastikan tidak ada masalah besar dengan pesawat jet Boeing 737-800 yang hampir baru itu.

Laporan cuaca mengindikasikan hilangnya pandangan mata mendadak di wilayah itu, menurut laporan tersebut, menambahkan bahwa pilot kedua atau kopilot mengambil alih kendali beberapa detik sebelum pesawat tergelincir ke laut.

Salah satu pendiri Lion Air, Rusdi Kirana mengatakan, ia akan menghormati hasil investigasi, namun menyuarakan kekhawatiran terhadap rekomendasi sementara yang ditujukan langsung pada maskapai tersebut.

"Jika pilot-pilot kami membuat kesalahan, kami tidak takut mengakuinya. Namun kami tidak suka hanya menyalahkan para pilot tanpa bukti," ujarnya pada kantor berita Reuters.

"Penting bagi kami untuk tidak memberikan kesan bahwa kami tidak memiliki prosedur yang sesuai. Kami menganggap serius keselamatan, kami maskapai yang menguntungkan dan kami tidak akan mengurangi anggaran untuk pelatihan dan perawatan."

Penyebab kecelakaan memiliki implikasi langsung terhadap reputasi salah satu maskapai dengan pertumbuhan tercepat di dunia itu, yang berusaha keluar dari daftar hitam keselamatan Uni Eropa bahkan setelah membeli pesawat Airbus dan Boeing dengan jumlah yang mencapai rekor.

Indonesia juga telah gagal memenuhi standar-standar Organisasi Penerbangan Sipil Internasional untuk pengoperasian dan pemeliharaan pesawat, sehingga pihak berwenang di Amerika telah memberlakukan pembatasan untuk penerbangan ke Amerika Serikat.

Saat Kritis

Laporan pendahuluan tersebut mengatakan bahwa pilot kedua berusia 24 tahun, dengan pengalaman terbang 1.200 jam, memegang kendali saat pesawat turun ke bandar udara dan melaporkan bahwa ia tidak dapat melihat landasan dari jarak 274 meter di atas tanah.

Kapten kemudian mematikan sistem otopilot dan pilot kedua menyerahkan kendali kepadanya pada jarak 45 meter dari atas tanah, atau 1 menit 6 detik sebelum kecelakaan, setelah mengatakan ia tidak dapat melihat landasan.

Satu detik sebelum kecelakaan dan hanya berjarak 6 meter antara pesawat dan air laut, pilot memerintahkan "berputar" dan berusaha membatalkan pendaratan, namun pesawat kemudian menabrak air laut.

Laporan tersebut merekomendasikan Lion Air "meninjau ulang kebijakan dan prosedur terkait risiko yang berhubungan dengan perubahan kendali pada ketinggian kritis atau saat kritis."

Laporan itu menambahkan bahwa Lion Air juga harus "memastikan para pilot dilatih secara benar" untuk masalah ini.

Maskapai tersebut mengatakan bahwa praktik penerbangan standar mengizinkan para pilot mengubah kendali kapan saja tanpa diketahui awak pesawat. Perusahaan tersebut membela prosedur standarnya untuk membatalkan pendaratan dan mengatakan bahwa hal-hal ini telah dikaji pada Maret tahun lalu.

Seorang sumber yang paham dengan masalah ini memberitahu Reuters bulan lalu bahwa pilot telah menggambarkan bagaimana ia merasa pesawat jet 737-800 itu "terseret" ke bawah oleh angin sementara ia berusaha mengembalikan kendali.

Laporan KNKT tersebut mengatakan bahwa bantuan-bantuan navigasi dan fasilitas pemandu pendekatan seperti lampu landasan di Bandar Udara Internasional Ngurah Rai "berfungsi secara baik" pada saat kecelakaan terjadi.

KNKT tidak membahas apakah fasilitas-fasilitas ini harus menyertakan Sistem Pendaratan Instrumen (ILS).

Para ahli dalam industri ini mengatakan fitur tersebut umum ada di bandar-bandar udara di dunia untuk membantu pilot turun di jalur yang benar. Bali tidak memiliki ILS untuk pesawat yang tiba dari arah barat.

Laporan ini juga tidak membahas apakah jet tersebut terkena "wind shear" atau perubahan angin mendadak yang membahayakan. Pihak-pihak bandar udara mengatakan beberapa bandar udara di tempat-tempat wisata terkenal di Asia tidak memiliki alat pendeteksi perubahan angin ini.

KNKT mengatakan laporan final mengenai kasus ini akan diluncurkan dalam setahun ke depan. (Reuters/Siva Govindasamy)