Kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan tahun 2019 serta konflik masyarakat adat dengan perusahaan batu bara di Desa Talekoi, Kalimantan Tengah, merupakan dua peristiwa yang memantapkan hati Sumarni Laman untuk terus melangkah pada jalur aktivisme demi membela komunitas adat.
“Kita tuh dijajah lagi di Kalimantan dan aku rasa itu alasan aku masih memilih jalan ini selama sudah bertahun-tahun, karena seseorang harus membuat perubahan,” kata perempuan dari suku Dayak Ngaju itu kepada VOA.
Sumarni adalah aktivis muda asal Kalimantan Tengah yang kini berperan sebagai direktur pelaksana Ranu Welum Foundation, yayasan yang didirikan untuk memberdayakan pemuda-pemudi adat untuk melestarikan budaya, melindungi hutan dan memperjuangkan hak-hak masyarakat adat.
Ia sadar isu masyarakat adat jarang diperhatikan media massa arus utama. Itu sebabnya yayasannya fokus pada pemanfaatan berbagai media untuk menyuarakan masalah tersebut, salah satunya dengan menggelar penayangan film-film tentang komunitas adat secara gratis.
Penayangan film luar ruangan alias outdoor screening itu dilakukan setiap tahun sejak 2015 di berbagai daerah di Kalimantan Tengah. Puncaknya, pada 2019, screening itu dikemas menjadi sebuah festival film adat yang digelar di tiga negara, yaitu Indonesia, Malaysia dan India.
Sumarni ingin masyarakat awam memahami apa yang dihadapi komunitas adat lewat beragam kisah yang dibumikan melalui film-film tersebut, mulai dari minimnya akses kebutuhan dasar, seperti layanan kesehatan dan pendidikan, diskriminasi, hingga perampasan tanah ulayat yang menjadi sumber kehidupan dan spiritual masyarakat adat.
“Mengapa isu masyarakat adat itu sangat susah untuk diperdengarkan di khalayak umum? Karena di awal orang itu sudah tutup telinga duluan, karena begitu banyak stereotipe, cerita-cerita sumbang yang sudah ada di awal,” ungkapnya.
Lulusan Pendidikan Kimia Universitas Palangka Raya itu bahkan masih menemukan banyak kesalahpahaman di masyarakat mengenai komunitas adat, termasuk masyarakat Dayak.
“Setiap kali pergi ke tempat baru, orang bilang, ‘Oh Dayak? Kok kamu pakai baju modern, pakai baju normal? Bukannya pakai daun dan kulit kayu?’ Terus, ‘Oh, di sana ada mal ya?’ ‘Oh, kok kamu bisa bahasa Indonesia ya?’ ‘Oh, kamu punya ilmu hitam ya?’ Banyak sekali yang kayak begitu.”
Sumarni, yang terpilih menjadi salah satu dari 16 aktivis perempuan dunia yang berjuang untuk melindungi dan memulihkan sumber daya alam oleh Global Landscapes Forum (GLF) tahun 2021, mengatakan, walaupun masyarakatnya hidup secara tradisional, mereka juga merangkul kehidupan modern yang dianggap sesuai dengan nilai-nilai mereka.
‘Tidak Superior’ Memperlakukan Alam
Seperti Sumarni, isu masyarakat adat juga menjadi keprihatinan Ilma Dityaningrum, ibu dua anak asal Yogyakarta, yang secara independen bersama teman-temannya sering berdiskusi tentang komunitas adat di Indonesia.
Ilma, yang memiliki latar belakang pendidikan antropologi dari Universitas Padjadjaran dan pernah bekerja untuk lembaga swadaya masyarakat dalam bidang lingkungan, semakin tergugah untuk mendalami perjuangan masyarakat adat setelah melakukan perjalanan ke beberapa kampung adat, termasuk Desa Kanekes atau Baduy, Banten, sejak duduk di bangku SMA. Di sana ia menyaksikan dengan takjub peran besar masyarakat adat dalam pelestarian lingkungan.
“Satu hal yang saya syukuri dengan mempelajari mereka yaitu kita jadi bisa belajar melihat bagaimana mereka memperlakukan dan memposisikan alam, sumber daya alam, di bumi ini, [yaitu] dengan cara mereka: tidak superior.”
Seperti dijelaskan dalam draf Rancangan Undang-Undang tentang Masyarakat Hukum Adat – yang hingga berita ini diturunkan masih belum disahkan, masyarakat adat adalah sekelompok orang yang hidup secara turun-temurun dalam ikatan asal-usul leluhur dan/atau tinggal di wilayah tertentu, dengan identitas budaya, hukum adat, dan hubungan yang kuat dengan tanah dan lingkungan hidup mereka.
Meskipun sudah ada beberapa produk hukum lain yang mengakui keberadaan masyarakat adat, Ilma tetap khawatir komunitas adat bisa hilang tanpa perlindungan negara, mengingat berbagai konflik yang terjadi antara mereka dengan beragam entitas, mulai dari aparat, swasta hingga pemerintah, menyangkut isu agraria sampai pengakuan masyarakat adat itu sendiri.
Ilma pun menceritakan bagaimana ia dan teman-temannya pada tahun 2021 lalu menggelar sebuah webinar untuk membahas nasib Hutan Adat Baduy, setelah sebuah video, yang menunjukkan seorang warga Kanekes menangisi hutan adatnya yang dirusak oleh penambang liar, viral di media sosial.
“Alhamdulillah ternyata banyak juga teman-teman yang bukan dari akademisi atau bukan dari yang backgroundnya sosiologi, antropologi – mereka yang sebenarnya awam tentang masyarakat adat – mereka join, masuk, nimbrung, ikut diskusi bareng dan banyak bertanya juga. Ternyata antusiasmenya cukup tinggi.,” kata Ilma. “Dari Zoom akhirnya kita beralih membuat petisi untuk menyelamatkan hutan adat baduy.”
Ilma berharap semakin banyak orang yang menaruh perhatian pada isu-isu masyarakat adat. Menurutnya, kesadaran itu dapat ditumbuhkan dari dalam rumah dan keseharian masing-masing.
“Saya kan sekarang berperan sebagai seorang ibu dan seorang istri, selain menjadi seorang pribadi Ilma. Seringkali saya memperkenalkan keberadaan masyarakat adat ini dan nilai-nilai kehidupan mereka melalui dongeng dalam pengasuhan anak-anak, misalnya dalam dongeng, lagi ngobrol sama anak-anak atau jalan-jalan ke hutan, menyisipkan jawaban-jawaban dari pertanyaan-pertanyaan mereka tentang alam,” tuturnya.
Your browser doesn’t support HTML5
Platform media dianggapnya paling ampuh memercik rasa penasaran seseorang akan isu masyarakat adat, seperti yang terjadi dengan film karya James Cameron, Avatar.
“Dari film ini banyak ternyata masyarakat awam yang akhirnya tertarik pada kehidupan masyarakat tradisional, masyarakat adat. Mereka tertarik mencari tahu tentang Suku Bajo yang menginspirasi film ini,” pungkasnya. [rd/em]