Kegiatan peluncuran disertai dengan diskusi dan bedah buku dalam rangka Hari Perempuan Internasional di Aceh, yang diperingati oleh semua negara di dunia pada setiap 8 Maret.
Kalangan muda Aceh menyambut baik peluncuran komik yang mengisahkan tokoh-tokoh perempuan yang pernah memimpin Aceh. Beberapa kaum muda menilai penerbitan karya-karya kreatif yang mengisahkan pemimpin perempuan Aceh masih cukup minim.
Dendi Hasnur Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala hadir dalam kegiatan diskusi dan peluncuruan komik yang mengisahkan sejarah beberapa pemimpin perempuan Aceh di masa kesulatan Aceh berkuasa.
“Harusnya perempuan Aceh juga punya intelejensi yang sama, punya kemampuan berpikir yang sama, tidak lagi hanya berfokus kepada persoalan-persoalan remaja yang tidak penting, tetapi harus berpikir bahwa peran perempuan Aceh harus lebih besar di Aceh hari ini,” paparnya.
Buku komik perempuan pemimpin Aceh setebal 88 halaman tersebut, berjudul “Permata dari Negeri Indatu”, mengisahkan tentang kepemimpinan dua tokoh terkemuka Aceh, Sri Ratu Safiatuddin yang memiliki gelar Sultana Tajul Alam Safiatuddin Syah, yang memimpin kesultanan Aceh selama lebih 30 tahun di abad ke 17.
Menurut Evriani Rotua Gea (21), seorang mahasiswi dari komunitas perempuan peduli sejarah mengaku, selama ini ia hanya mengenal dari sejumlah literasi sejarah mengenai kegigihan Cut Nyak Dhien, Cut Meutia dan laksamana Keumalahayati yang langsung turun memimpin perang Aceh terhadap penjajahan asing masa itu.
Komik sejarahyang diterbitkan oleh Tim Relawan Perempuan untuk Kemanusiaan (RPuK) Aceh hari Senin (9/3) juga mengisahkan kepemimpinan Sri Ratu Qurratunaini atau Empu Beru yang pernah memimpin Kerajaan Linge di wilayah pegunungan tengah Aceh atau dataran tinggi Gayo pada abad ke 16 (1539-1571).
Buku komik perempuan pemimpin Aceh, ilustrasi komik merupakan karya Tauris Mustafa. Sementara naskah merupakan karya Tati Krisnawati dan Samsidar, salah seorang aktivis perempuan di Aceh.
Salah seorang manajer RPuK, Samsidar mengatakan, gagasan karya bukukomik perempuan pemimpin Aceh pertama ini dirintis tiga tahun lalu. Kisah Sri Ratu Safiatuddin yang berkuasa di pesisir Aceh dan Ratu Qurratunainni di wilayah pegunungan tengah Aceh memuat pesan-pesan kepada generasi muda agar lebih peduli dan perlu mempelajari sejarah, terutama terkait kemandirian, keteguhan dan kemampuan memimpin serta berdiplomasi tokoh perempuan Aceh di masa lampau.
“Ini tujuannya mengajak generasi muda peduli sejarah.Selain komik sejarah, rekan-rekan juga memiliki gagasan mau membuat filmnya, menggelar teater. Ini cukup baik, bahwa perempuan Aceh bukan perempuan yang tertinggal,” ujar Samsidar.
Buku komik perempuan pemimpin Aceh ini rencananya juga akan didistribusikan menambah koleksi perpustakaan siswa di Aceh, baik sekolah umum maupun pesantren (dayah).
Peneliti sejarah Aceh Fauzan Santa mengatakan kedua perempuan pemimpin Aceh Ratu Safiatuddin dan Ratu Qurratunaini belum cukup di kenal sebagai pahlwan baik di tingkat lokal maupun nasional. Fauzan memuji kalagan aktivis perempuan Aceh yang dinilai cukup proaktif dalammenampilkan sejarah para perempuan pemimpin melalui komik..
Peringatan hari Perempuan Sedunia di Aceh tahun ini dinilai cukup istimewa, diisi dengan beragam kegiatan di sejumlah kabupaten kota, selain menggelar diskusi publik terkait tema perempuan dan kesetaraan, warga juga menggelar (long march).
Dalam aksi unjuk rasa damai di Banda Aceh dan Lhokseumawe, ratusan perempuan turun ke jalan menyerukan pemenuhan hak-hak perempuan multiaspek, baik ekonomi sosial maupun hukum dan budaya. Unjuk rasa juga menyerukan kepada warga untuk menolak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), menuntut pemberian upah yang layak kepada perempuan pekerja, terutama buruh perempuan di sektor industri, perkebunan dan pertanian, serta pekerja di sektor informal.