Komisi Yudisial, badan pengawas peradilan Indonesia, Jumat (3/3), mengatakan akan memanggil para hakim dari sebuah pengadilan negeri untuk menjelaskan apa yang disebutnya keputusan "kontroversial" yang secara efektif memerintahkan penundaan pemilihan presiden dan pemilihan umum 2024.
Menghadapi gugatan partai bernama Prima yang pendaftaran pemilunya ditolak, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis, memutuskan Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus menghentikan semua persiapan pemilu selama lebih dari dua tahun.
Keputusan yang akan memundurkan proses pemilihan hingga paling cepat tahun 2025 itu menuai kecaman luas dan pertanyaan tentang otoritas pengadilan dan mengapa pengadilan itu menganggap semua proses pemilu harus dihentikan.
“Jika ada dugaan kuat adanya kecurangan dari pihak hakim, maka komisi akan memeriksa para hakim tersebut,” kata Miko Ginting, juru bicara Komisi Yudisial Indonesia.
Putusan lengkap oleh pengadilan itu belum dipublikasikan pada hari Jumat (3/3) tetapi salinan yang dilihat oleh Reuters menunjukkan para hakim menganggap bahwa setelah pendaftaran Partai Prima ditolak, kesempatan partai itu untuk menyerahkan dokumen yang diperlukan telah ditolak secara tidak adil, sebagian karena gangguan pada perangkat lunak KPU.
Dokumen itu juga mengatakan bahwa pengadilan tata usaha negara telah menolak untuk menangani kasus tersebut dan keputusan pengadilan negeri tersebut dimaksudkan untuk "memulihkan keadilan dan mencegah sedini mungkin peristiwa kesalahan, ketidakakuratan, ketidakprofesionalan lainnya" oleh KPU.
Sejumlah pakar hukum mengkritisi para hakim yang memerintahkan penundaan itu dan bukannya memutuskan perkara proses verifikasi. Juru bicara pengadilan Zulkifly Atjo mengatakan putusan itu merupakan hak prerogatif hakim.
KPU mengatakan akan mengajukan banding dan terus maju dengan tahapan pemilu yang direncanakan.
Putusan tersebut telah menghidupkan kembali perdebatan mengenai masa jabatan Presiden Joko Widodo, di mana beberapa tokoh politik senior secara terbuka mendukung gagasan agar ia tetap bertahan setelah masa jabatan keduanya, yang berakhir tahun depan, sementara yang lain memperingatkan bahwa hal itu akan membatalkan reformasi demokrasi yang telah diperjuangkan dengan susah payah selama dua dekade.
Konstitusi Indonesia membatasi masa jabatan presiden sebanyak dua kali dan Mahkamah Konstitusi menjelaskan dalam keputusan kasus lain pada hari Selasa bahwa tidak boleh ada perpanjangan lebih dari itu.
“Jika wacana itu muncul kembali, itu akan menciptakan lebih banyak ketidakpastian seputar pemilu,” kata Arya Fernandes, seorang analis di Pusat Kajian Strategis dan Internasional (CSIS) Indonesia. Ia menambahkan hal itu juga akan menciptakan iklim investasi yang tidak stabil.
Jokowi sendiri sebelumnya pernah mengatakan bahwa ia menolak gagasan perpanjangan masa jabatannya.
Jaleswari Pramodhawardani, seorang pejabat senior di kantor kepala staf Jokowi, pada hari Jumat menyerukan ketenangan dan mengatakan pemerintah "masih berkomitmen" untuk mengadakan pemilihan umum pada Februari tahun depan.
Berbagai survei menunjukkan sebagian besar masyarakat Indonesia menentang perpanjangan masa jabatan Jokowi.
Partai yang berkuasa, partainya Jokowi dan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menentang keputusan hari Kamis itu, dengan mengatakan bahwa pengadilan negeri tidak memiliki wewenang untuk memutuskan masalah pemilu, menggemakan kekhawatiran dari para ahli hukum.
Said Iqbal, Ketua Partai Buruh, mengatakan para buruh akan memprotes keputusan tersebut karena bertentangan dengan keputusan Mahkamah Konstitusi bahwa masa jabatan presiden tidak dapat diperpanjang melampaui batas yang ada. [ab/lt]