Komite Aksi Perempuan Indonesia Desak Pemerintah Hapus Perda Diskriminatif

Suasana peringatan hari kekerasan terhadap perempuan sedunia di depan Istana Merdeka Jakarta, 25 November 2013 (VOA/Andylala).

Komite Aksi Perempuan melakukan aksi unjuk rasa menolak kebijakan diskriminatif berupa Peraturan Daerah (Perda) terhadap perempuan di depan Istana Merdeka Jakarta, Senin (25/11).
Puluhan orang pegiat hak-hak perempuan dari berbagai organisasi yang mengatasnamakan Komite Aksi Perempuan melakukan aksi unjuk rasa menolak kebijakan diskriminatif berupa Peraturan Daerah (Perda) terhadap perempuan di depan Istana Merdeka Jakarta Senin (25/11).

Juru bicara Komite Aksi Perempuan Estu Fanani mengatakan Komite Aksi Perempuan menyatakan keprihatinannya yang mendalam terhadap kondisi perempuan yang semakin terpinggirkan di beberapa daerah.

"Kita menuntut kepada pejabat publik baik itu di tingkat eksekutif maupun legislatif, nasional maupun lokal, untuk menghentikan pembahasan ataupun rencana pembuatan perda-perda diskriminatif terhadap perempuan yang dibuat berdasarkan pada pengaturan terhadap tubuh perempuan maupun perilaku perempuan." kata Estu Fanani.

Komite Aksi Perempuan tambah Estu juga meminta Presiden menyikapi perbedaan pendapat antara Mahkamah Agung dengan Kementrian Dalam Negeri dalam menyikapi perda-perda diskriminatif terhadap perempuan, semisal perda Tangerang dan Bantul.

"Kita pernah mengajukan judicial review perda Tangerang dan perda Bantul serta perda Ketertiban Umum Jakarta di Mahkamah Agung (MA). Judicial review itu ditolak MA dengan alasan antara lain sudah melewati tenggat waktu pengaduan. Lalu tidak bertentangan dengan peraturan diatasnya. Jadi MA sendiri melihat perda-perda itu tidak melanggar," kata Estu.

"Tapi uniknya belum lama ini Kementrian Dalam Negeri sudah melakukan review salah satunya adalah meyatakan perda Tangerang itu bermasalah tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Hal seperti ini kalo dibiarkan terus menerus dan tidak ada ketegasan dari Presiden, bisa menimbulkan kekacauan di tingkat bawah," lanjutnya.

Kepada masyarakat luas, lanjut Estu, Komite Aksi Perempuan juga menyerukan agar melakukan penolakan dan mengkritisi perda-perda diskriminatif terhadap perempuan.

Sementara itu, Melly Setiawati dari Lembaga Penelitian untuk Transformasi Sosial (SCN) mengatakan beberapa organisasi perempuan di Indonesia yang mengkampanyekan penolakan terhadap perda-perda diskriminatif kerap mengalami intimidasi dari beberapa organisasi masyarakat.

"Pada saat itu kita sedang aksi di depan kantor Pemerintah Kota Tangerang menolak perda diskriminatif. Kita waktu itu diserbu dan dibubarkan rame-rame oleh Front Pembela Islam. Mereka beralasan, kita ini mendukung pelacuran di kota Tangerang. Padahal saat itu kita mendukung korban salah tangkap yang mengalami kriminalisasi oleh Satuan Polisi Pamong Praja kota Tangerang akibat perda kota Tangerang," kata Melly Setiawati.

"Ibu Lilis (korban salah tangkap itu) dituduh sebagai prostitute. Ia saat itu menunggu suaminya di pinggir jalan malam hari sepulang kerja. Tak lama kemudian ia ditangkap Satpol PP berkaitan dengan pelaksanaan Perda Tangerang soal pelacuran," lanjutnya.

Komisioner Komnas Perempuan Andy Yentriyani kepada VoA melihat banyak pimpinan daerah baik eksekutif maupun legislatif yang memiliki pengetahuan yang sangat terbatas terkait hak-hak perempuan. Namun Andy mengapresiasi langkah dari Kementrian Dalam Negeri yang mengklarifikasi perda-perda yang diskriminatif.

"Isu ini tidak mudah. Ada ketidaksempurnaan dalam otonomi daerah yang menyebabkan pemerintah daerah merasa dia berhak untuk mengeluarkan kebijakan apapun. Dengan pengetahuan penyelenggara negara baik eksekutif maupun legislatif (di daerah) yang sangat-sangat terbatas, maka lebih banyak kebijakan publik itu dilahirkan tanpa pemikiran yang matang," kata Andy Yentriyani.

"Kami mengapresiasi langkah dari Kementrian Dalam Negeri yang mengupayakan klarifikasi kebijakan daerah serupa ini. Tapi langkah ini perlu dipercepat dan dipertegas, karena dari 342 kebijakan yang diskriminatif atas nama moralitas dan agama, ini baru 7 yang terklarifikasi." lanjutnya.

Sementara itu pada 2012 tambah Andy, Komnas Perempuan mencatat ada lebih dari 4000 kasus kekerasan seksual yang menimpa perempuan. Banyak pemerintah daerah dan aparat hukum di daerah yang melihat isu kekerasan seksual lebih pada kesalahan moralitas dari si perempuan yang menjadi korban.

Dari catatan Komnas Perempuan saat ini ada 342 kebijakan diskriminatif terhadap perempuan. 265 diantaranya mengatasnamakan agama dan moralitas, dengan rincian 124 kebijakan tentang prostitusi dan pornografi, 27 kebijakan tentang pemisahan ruang publik laki-laki dan perempuan dan 35 kebijakan terkait pembatasan jam keluar malam.

Komnas Perempuan mengungkapkan daerah yang banyak mengeluarkan kebijakan diskriminatif adalah Jawa Barat, Sumatra Barat, Sulawesi Selatan, Aceh, Kalimantan Selatan, Sumatra Selatan dan Jawa timur.