Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) akan menindaklanjuti serius laporan sejumlah keluarga korban gagal ginjal yang menewaskan puluhan korban anak-anak di Tanah Air baru-baru ini. Komisioner Komnas HAM, Putu Elvina, berpendapat negara telah lalai bertindak sebagai penanggung jawab untuk melindungi hak atas kesehatan bagi anak-anak, kelompok yang paling rentan.
“Negara di sini adalah lembaga-lembaga yang terkait langsung baik dari pengawasan, izin edar sampai dengan pemulihan,” ujar Putu usai menerima aduan sejumlah keluarga korban di Jakarta, Jumat (9/12).
Negara, kata Putu, harus memastikan ketidakberulangan kasus ini, maka sistemnya juga harus diperbaiki. Intervensi terhadap mekanisme pengawasan, izin edar termasuk memberangus mafia perobatan.
Untuk itu, katanya, Komnas HAM berencana akan memanggil BPOM pada 23 Desember untuk meminta penjelasan terkait kasus ini. Putu menilai BPOM tidak memiliki protokol keselamatan terhadap obat-obatan yang beredar.
“Jadi kalau kita bicara tentang kasus ini, ini adalah kasus tentang bisnis dan HAM. Tidak hanya kemudian memastikan proses hukum terhadap perusahaan yang dianggap melanggar tapi bagaimana kemudian kewajiban remedies, yaitu pemulihan, memberikan hal-hal yang harus kemudian menjadi hak para korban,” kata Putu.
BACA JUGA: BPOM, Kemenkes Digugat dalam Kasus Gagal Ginjal AkutKomnas HAM sendiri berencana akan menetapkan kasus ini sebagai kejadian luar biasa (KLB) di rapat paripurna. Rekomendasi pada paripurna tersebut yang kemudian nantinya akan dimintakan kepada pemerintah untuk menetapkannya sebagai KLB.
VOA belum berhasil mengonfirmasi pihak BPOM terkait soal pemanggilan Komnas HAM ini.
Perhatian Pemerintah Minim
Anggota tim advokasi untuk kemanusiaan dan keluarga korban gagal ginjal akut, Awan Puryadi, menyatakan minimnya perhatian yang diberikan pemerintah terhadap korban baik yang masih menjalani perawatan maupun yang telah meninggal.
“Terutama masalah penanganan yang sedang dirawat di mana dicover BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial -red) saja tanpa ada kekhususan,” kata Awan. Ia merupakan kuasa hukum dari 25 keluarga korban.
Awan mengatakan bahwa janji pemerintah bahwa biaya penanganan pasien gagal ginjal akut seluruhnya akan ditanggung BPJS kesehatan selama ini tidak terbukti.
Menurutnya, keluarga korban masih harus mengeluarkan dana pribadi karena pihak rumah sakit menyatakan obat maupun peralatan yang dibutuhkan korban kosong. Sehingga akhirnya keluarga harus membeli dari luar rumah sakit, sementara mekanisme penggantian dari BPJS kesehatan tidak jelas.
Cerita Keluarga Korban
Sejumlah keluarga korban yang mendatangi Komnas HAM menceritakan bagaimana kisah dan perjuangan mereka tersebut. Muhammad Rifai misalnya, mengisahkan peristiwa anaknya yang terenggut nyawanya akibat gagal ginjal akut.
BACA JUGA: DPR Kebut Pembahasan RUU Pengawasan Obat dan MakananKejadian bermula ketika sang putri Fatimah Azzahratullah (7,8 tahun), mengalami demam dan kakinya kemerahan. Muhammad Rifai membawa anaknya ke klinik dan didiagnosa mengalami infeksi selulutis dan diberi obat antibiotik gerus, paracetamol syrup dan salep untuk infeksi selulutisnya.
Tiga hari mengkonsumsi obat tersebut, Fatimah mengalami sakit perut, dan muntah. Sang ayah memutuskan untuk membawa anaknya kembali ke klinik yang lama dan dirujuk ke rumah sakit yang lebih besar.
Setelah tiga hari dirawat, kata Rifai, kemudian dokter memberitahu bahwa anaknya gagal ginjal akut stadium 5. Pihak rumah sakitpun menganjurkan untuk membawanya ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM).
Dengan menyewa ambulans, dia membawa anaknya ke RSCM. Selama satu pekan di rumah sakit itu tambahnya anaknya dinyatakan meninggal.
"Dua hari sebelum meninggal anak saya itu, saya sempat dipanggil dokter RSCM dikasih tahu bahwa paru-paru anak saya sudah kerendem. Hari Sabtu, 17 September jam 21.25 anak saya dinyatakan meninggal dunia,” ungkap Rifai.
Cerita lainnya datang dari Agri, ayah Farazka. Agri mengatakan pada awalnya anaknya mengalami demam selama tiga hari yang tidak kunjung turun akhirnya ia dan istrinya memutuskan memberikan sang anak paracetamol dengan harapan agar demam anaknya turun.
Namun, setelah mengonsumsi obat tersebut justru keesokan harinya anaknya tidak bisa buang air kecil.
“Esoknya baru dicek, tes darah beneran ureum kreatinin tinggi. Untuk ukuran anak-anak kecil sudah kayak sakit ginjal dewasa,” ujar Agri.
BACA JUGA: Kemenkes Catat 324 Kasus Gangguan Ginjal Akut dengan 195 KematianAkhirnya anaknya dibawa ke rumah sakit RSCM dan langsung ditangani. Keesokan harinya, Azka begitu Farazka disapa, langsung melakukan cuci darah. Seminggu dirawat sang anak sempat berhenti nafas atau kejang. Azka harus menjalankan cuci darah sebanyak lima kali. Setelah mendapatkan obat Fomipizol yang dari Singapura kondisi Azka mulai membaik.
Tiga minggu Azka harus berada di ruang PICU (Pediatric Intensive Care Unit). Setiap hari ia dan istri menunggu suster rumah sakit memanggil mereka untuk dapat menemui anaknya walau hanya beberapa menit atau satu jam.
Mereka pun harus rela mengambil cuti selama anaknya dirawat. Untungnya kata Argi, perusahaan tempat ia dan istrinya bekerja dapat mengerti sehingga mengizinkan.
Setelah tiga minggu dirawat di PICU kondisi Azka membaik dan dipindah ke ruang perawatan selama seminggu. Setelah agak membaik akhirnya kata Argi, dokter membolehkan Azka pulang. [fw/ah]