Dalam pidato nawacita, presiden Joko Widodo berjanji ingin menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Keenam kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang belum selesai, yaitu kasus 1965-1966, penembakan misterius (1982-1985), Peristiwa Talangsari Lampung ( (1989), penghilangan orang secara paksa (1997-1998), peristiwa kerusuhan Mei (1998) dan kasus Trisakti-Semanggi I dan II (1998-1999).
Komisioner Komnas HAM Chairul Anam, Selasa (23/1), mengatakan apabila kasus pelanggaran HAM berat masa lalu ini tidak dianggap sebagai masalah negara yang serius maka hal ini tidak akan kunjung selesai.
Penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat ini, lanjut Anam, sangat mudah, yaitu presiden harus memerintahkan Jaksa Agung untuk membawa kasus-kasus tersebut ke pengadilan.
Komnas HAM telah melakukan penyelidikan atas keenam kasus ini dan hasilnya telah diserahkan ke Kejaksaan Agung. Apabila Kejaksaan menilai belum cukup bukti dalam menyelesaikan kasus itu, kata Anam, Kejaksaan dapat mengajak Komnas HAM menjadi penyidiknya.
“Komnas HAM statusnya penyelidik. Jika Jaksa Agung merasa kesulitan dan sebagainya untuk mengungkap kasus yang itu di luar kewenangan Komnas HAM, Komnas HAM bisa diajak sebagai penyidik,dan itu di Undang-undang Nomor 26 juga diatur, sehingga tidak ada alasan lagi misalnya kurang buktilah, apalah, jadi kelar disitu,” kata Anam.
Chairul Anam menambahkan apabila kasus pelanggaran HAM berat ini tidak diselsaikan, akan semakin sulit penyelesaiannya, mengingat pelaku dan korban akan makin banyak yang tutup usia.
Selain untuk mengungkap kebenaran, penuntasan kasus ini lanjutnya juga untuk memberikan keadilan kepada korban.Pemerintahan Presiden Jokowi sempat berencana akan melakukan rekonsiliasi dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.
Kepala Divisi Pemantauan Impunitas Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Feri Kusuma menyatakan rekonsiliasi tanpa proses hukum bukan solusi atas penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.
Rekonsiliasi yang sempat dikonsepkan oleh pemerintah, lanjut Feri, tidak melibatkan proses penyebutan pelaku, dan penyebutan siapa yang salah dan siapa yang benar sehingga, menurut dia, sama artinya dengan melanggengkan impunitas.
“Apabila kasus pelanggaran HAM berat tidak diselesaikan, tidak diungkap siapa pelakunya potensi berulang peristiwa yang sama sangat besar. Nah, disitulah esensi kenapa kita tetap konsisten meminta negara dalam hal ini pemerintah untuk menyelesaikan proses hokum,” kata Feri.
Korban pelanggaran HAM berat masa lalu kasus 1965, Bejo Untung, misalnya mengaku sangat kecewa. Pria yang dipenjara tanpa proses hukum selama 9 tahun ini mengatakan keinginan pemerintah menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu secara non judicial sangat tidak tepat.
Staf Ahli Deputi V Bidang Politik, Hukum dan HAM Kantor Staf Presiden, Ifdal Kasim menjelaskan proses menuju penuntasan kasus pelanggaran HAM masih terus berjalan.
“Sekarang ini dicoba untuk dipecepat proses penyelesaiannya dengan memfasilitasi pertemuan antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung untuk mengidentifikasi kasus-kasus mana yang bisa diselesaikan terlebih dahulu. Selain dicari jalan yang sifatnya rekonsiliasi. Mudah-mudahan dalam kedepan ada lah yang bisa diselesaikan,” kata Ifdal Kasim.
Yang menjadi kendala penyelesaian kasus ini, antara lain, masih diperlukan bukti tambahan dari hasil penyelidikan yang dilakukan Komnas HAM. Selain itu, lanjut Ifdal, Kejaksaan Agung juga meminta pengadilan Ham Ad Hoc dilaksanakan terlebih dahulu sebelum dilakukan penyidikan atas kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu itu.
Sementara jika ingin membuat pengadilan HAM ad hoc, kata Ifdal, harus ada terlebih dahulu rekomendasi dari DPR kepada presiden. Meski demikian, tambah Ifdal, Presiden Jokowi berupaya menyelesaikan kasus-kasus tersebut.
Your browser doesn’t support HTML5