Hasil investigasi Komnas HAM menyatakan adanya tindakan represif berlebihan yang dilakukan Densus 88 Anti Teror dalam penanganan tindak terorisme di Poso, Sulawesi Tengah.
JAKARTA —
Ketua Komisi Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM, Siane Indriani, mengatakan dalam penanganan tindak pidana terorisme di Poso saat ini terdapat bukti permulaan yang cukup untuk menduga terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh Densus 88 Anti Teror.
Menurut Siane, Densus 88 kerap menembak mati secara tidak prosedural terhadap terduga teroris serta melakukan kekerasan terhadap sejumlah korban salah tangkap yang sebelumnya di duga teroris. Kondisi ini menimbulkan perasaan was was masyarakat di wilayah itu. Pendekatan dengan cara kekerasan atau menembak mati tanpa proses hukum yang adil justru akan memunculkan kembali rasa solidaritas.
Lebih lanjut dikatakan Siane, Komnas HAM setuju terorisme harus ditindak tetapi dalam melakukan tindakan hukum kepada pelaku tindak terorisme, hendaknya dilakukan dengan cara-cara yang tidak melanggar hukum dan hak asasi manusia. Untuk itu Komnas HAM menurut Siane mendesak pemerintah melakukan evaluasi terhadap kinerja Densus 88.
"Kinerja Densus 88 yang tidak profesional, melakukan tindakan represif berlebihan dalam beberapa aksinya. Densus 88 tak jarang menempak mati target operasi dengan cap terduga teroris serta melakukan tindakan semena-mena dengan melakukan penyiksaan terhadap orang-orang dicurigai," kata Siane Indriani. "Jika aksi-aksi ini tidak dikoreksi, dikhawatirkan menjadi justifikasi bahwa setiap terduga teroris boleh ditempak mati tanpa melalui prosedur hukum yang berlaku," lanjutnya.
Siane menambahkan Komnas HAM juga meminta agar pemerintah tidak menggunakan Poso sebagai “laboratorium” untuk menggolkan Rancangan Undang-undang Keamanan Nasional (Kamnas) dan Instruksi Presiden tentang Kamnas. Siane menyatakan hal ini terkait eskalasi berbagai kejadian belakangan ini, yang direspon dengan meningkatkan jumlah aparat baik dari kepolisian maupun TNI yang diterjunkan ke Poso.
Saat ini di Poso menurut Siane juga telah ada dua tempat latihan untuk TNI, salah satunya di Hutan Tamanjeka. Kondisi ini menurut Siane juga memunculkan kekhawatiran di kalangan tokoh-tokoh masyarakat Poso.
Menurutnya selama ini urusan keamanan dalam negeri menjadi wewenang polisi. Tapi di dalam RUU Kamnas ini tuturnya militer pun mendapat wewenang untuk mengintervensi masalah keamanan sehingga dikhawatirkan kedepannya akan ada semacam lembaga Kopkamtib (Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) seperti yang terjadi di masa orde baru dulu dan ini sangat berbahaya.
"Masyarakat mensinyalir kehadiran sejumlah pasukan dan tindakan ini diduga ada kaitannya dengan keinginannya disahkan Undang-undang keamanan nasional maupun Inpres Kamnas yang saat ini sedang disiapkan," ungkap Siane Indriani.
Sementara itu Anggota Panitia Khusus (Pansus) tentang RUU Keamanan Nasional DPR Yahya Sacawirya mengungkapkan Indonesia hingga saat ini belum memiliki Undang-undang Keamanan Nasional secara lengkap. Dia juga meminta sejumlah pihak tidak khawatir dengan RUU Kamnas ini karena dalam pembahasan sejumlah komponen akan dilibatkan termasuk akademisi.
"Di dalam pembahasan kedepan itu akan dilemparkan dulu ke semua komponen, pakar, akademisi, peneliti dan segala macam sehingga akan mendapatkan bahan yang komprehensif," kata Yahya Sacawirya.
Sementara itu Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri Brigadir Jenderal Boy Rafli Amar membantah jika dikatakan Densus 88 Anti Teror telah melanggar prosedur dalam menjalani tugasnya.
Menurut Siane, Densus 88 kerap menembak mati secara tidak prosedural terhadap terduga teroris serta melakukan kekerasan terhadap sejumlah korban salah tangkap yang sebelumnya di duga teroris. Kondisi ini menimbulkan perasaan was was masyarakat di wilayah itu. Pendekatan dengan cara kekerasan atau menembak mati tanpa proses hukum yang adil justru akan memunculkan kembali rasa solidaritas.
Lebih lanjut dikatakan Siane, Komnas HAM setuju terorisme harus ditindak tetapi dalam melakukan tindakan hukum kepada pelaku tindak terorisme, hendaknya dilakukan dengan cara-cara yang tidak melanggar hukum dan hak asasi manusia. Untuk itu Komnas HAM menurut Siane mendesak pemerintah melakukan evaluasi terhadap kinerja Densus 88.
"Kinerja Densus 88 yang tidak profesional, melakukan tindakan represif berlebihan dalam beberapa aksinya. Densus 88 tak jarang menempak mati target operasi dengan cap terduga teroris serta melakukan tindakan semena-mena dengan melakukan penyiksaan terhadap orang-orang dicurigai," kata Siane Indriani. "Jika aksi-aksi ini tidak dikoreksi, dikhawatirkan menjadi justifikasi bahwa setiap terduga teroris boleh ditempak mati tanpa melalui prosedur hukum yang berlaku," lanjutnya.
Siane menambahkan Komnas HAM juga meminta agar pemerintah tidak menggunakan Poso sebagai “laboratorium” untuk menggolkan Rancangan Undang-undang Keamanan Nasional (Kamnas) dan Instruksi Presiden tentang Kamnas. Siane menyatakan hal ini terkait eskalasi berbagai kejadian belakangan ini, yang direspon dengan meningkatkan jumlah aparat baik dari kepolisian maupun TNI yang diterjunkan ke Poso.
Saat ini di Poso menurut Siane juga telah ada dua tempat latihan untuk TNI, salah satunya di Hutan Tamanjeka. Kondisi ini menurut Siane juga memunculkan kekhawatiran di kalangan tokoh-tokoh masyarakat Poso.
Menurutnya selama ini urusan keamanan dalam negeri menjadi wewenang polisi. Tapi di dalam RUU Kamnas ini tuturnya militer pun mendapat wewenang untuk mengintervensi masalah keamanan sehingga dikhawatirkan kedepannya akan ada semacam lembaga Kopkamtib (Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) seperti yang terjadi di masa orde baru dulu dan ini sangat berbahaya.
"Masyarakat mensinyalir kehadiran sejumlah pasukan dan tindakan ini diduga ada kaitannya dengan keinginannya disahkan Undang-undang keamanan nasional maupun Inpres Kamnas yang saat ini sedang disiapkan," ungkap Siane Indriani.
Sementara itu Anggota Panitia Khusus (Pansus) tentang RUU Keamanan Nasional DPR Yahya Sacawirya mengungkapkan Indonesia hingga saat ini belum memiliki Undang-undang Keamanan Nasional secara lengkap. Dia juga meminta sejumlah pihak tidak khawatir dengan RUU Kamnas ini karena dalam pembahasan sejumlah komponen akan dilibatkan termasuk akademisi.
"Di dalam pembahasan kedepan itu akan dilemparkan dulu ke semua komponen, pakar, akademisi, peneliti dan segala macam sehingga akan mendapatkan bahan yang komprehensif," kata Yahya Sacawirya.
Sementara itu Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri Brigadir Jenderal Boy Rafli Amar membantah jika dikatakan Densus 88 Anti Teror telah melanggar prosedur dalam menjalani tugasnya.