Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menemukan empat fakta temuan terkait konflik di Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah. Salah satu temuan tersebut menyebutkan bahwa telah terjadi kekerasan yang dilakukan oleh aparat yang menyebabkan trauma bagi para warga hingga saat ini.
Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara menyebut empat temuan awal itu dalam diskusi yang diselenggarakan Ikatan Alumni Universitas Indonesia (Iluni UI), pada Minggu (13/2). Temuan pertama, sebut Beka, Komnas HAM memastikan terdapat kekerasan yang terjadi pada insiden yang terjadi pada 8 Februari.
“Kedua, masih ada warga yang belum pulang ke rumah masing-masing, karena merasa ketakutan, dan ini tinggalnya di dekat masjid yang kemarin menjadi pusatnya kegiatan, baik dari teman-teman Gempa Dewa maupun Wadon Wadas,” papar Beka.
Gempa Dewa adalah organisasi yang dibentuk warga penolak penambangan batu andesit di wilayah mereka untuk keperluan pembangunan Bendungan Bener. Sedangkan Wadon Wadas adalah kelompok perempuan desa yang juga menentang proyek pembangunan bendungan tersebut.
Komnas HAM mencatat bahwa terdapat persoalan trauma yang diderita oleh para warga, khususnya perempuan dan anak-anak. Selain itu, lembaga tersebut menemukan masalah mengenai relasi sosial yang terjadi di antara para warga Desa Wadas.
“Memang dari awal, ketika saya datang ke Wadas, (pada) September 2021 saya sudah menjumpai informasi bahwa relasi sosial antar warga yang pro dan kontra ini sudah pada level yang sangat memprihatinkan bagi saya, dan ini saya kira penting untuk ditekankan dan kita cari solusi bersama,” tambah Beka.
Beka juga mengingatkan, bahwa Komnas HAM pernah mengirimkan surat permintaan tindak lanjut pada September 2020 yang ditujukan kepada beberapa pihak, salah satunya adalah Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo.
Your browser doesn’t support HTML5
Komnas HAM meminta Ganjar memastikan adanya perlindungan bagi warga terdampak pembangunan bendungan Bener, dan menghindari penggunaan cara-cara penggusuran, pengusiran dan pendekatan keamanan dalam penyelesaian konflik.
Selain itu, Ganjar juga diminta membentuk tim terpadu yang melibatkan stakeholder untuk melakukan evaluasi dan atau merumuskan ulang konsep perencanaan, penyusunan program, dan tata kelola strategi penyelesaian atas dampak pembangunan bendungan bener. Gubernur juga diminta memastikan partisipasi warga dan membangun ruang dialog dalam rangka penanganan dan atau penyelesaian dampak pembangunan bendungan Bener.
Ganjar Janjikan Evaluasi
Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, mengatakan pada akhir pekan lalu di Semarang bahwa pihaknya akan melakukan sejumlah evaluasi terhadap konflik yang terjadi di Wadas.
“Pertama, tentu kami akan mengevaluasi teknis, isu penambangan, isu lingkungan, macam-macam terkait tugasnya BBWS, sebagai institusi yang mengerjakan, lalu BPN yang mendata. Kami evaluasi, biar tidak ada cara-cara yang nanti ada kekerasan. Polda juga setuju, ini cara baru,” kata Ganjar.
BBWS adalah Balai Besar Wilayah Sungai Serayu-Opak, lembaga di bawah Kementerian PUPR yang memiliki kewenangan terkait pembangunan bendungan. Sedangkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) berkewajiban mengukur luas setiap bidang, sebagai panduan penentuan besaran ganti rugi.
BACA JUGA: Proyek Bendungan Bener: Perlawanan Keras dari WadasGanjar juga bertekad menjadikan pihak yang setuju dan tidak setuju penambangan di Wadas, agar bisa kembali rukun. Komnas HAM dan tokoh agama setempat akan terus terlibat. Di samping itu, untuk mengurangi trauma warga, sejumlah lembaga juga akan berperan.
“Saya senang tadi ada informasi KPAI mau diajak masuk. Itu bagus. Nanti Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak juga kita minta untuk masuk. Kita juga akan coba ngobrol dengan warga sehingga betul-betul mereka nyaman bisa berkomunikasi,” janji Ganjar menyikapi dampak insiden 8 Februari.
Pemerintah Jawa Tengah juga akan memperbaiki komunikasi dan penyampaian informasi dengan lebih terbuka dan mudah dicerna masyarakat.
Pada Minggu (13/2), Ganjar kembali datang ke Wadas untuk memperbaiki komunikasi dengan warga yang menolak penambangan. Warga memberikan durian, petai dan hasil bumi lain ke Ganjar sebagai bukti bahwa bukit yang akan ditambang adalah tanah subur yang selama ini menjadi sumber penghidupan mereka.
YLBHI: Pengamanan Terencana
Dalam diskusi yang digelar Iluni UI, Ketua Umum YLBHI, Muhammad Isnur memajang sejumlah foto yang membuktikan bahwa pengerahan kekuatan besar polisi memang terencana sejak awal.
“Sejak awal, sejak rapat apel koordinasi, kita bisa lihat sejak awal memang di lapangan di dekat Polsek Bener, sejak awal dilibatkan pasukan Brimob. Jadi bukan lagi levelnya PHH tapi Brimob,” kata Isnur.
Selain Brimob, pasukan Penindakan Huru-Hara (PHH) juga terlibat, ditambah personel intelkam atau reserse yang tidak berseragam, dan bahkan K9 atau pasukan satwa yang membawa anjing pelacak.
“Ini kita bisa lihat konstruksi awal, mau datang ke sebuah desa, mau mengukur sebuah wilayah, tetapi dengan semua kekuatan kepolisian digunakan pada saat sejak awal,” tambahnya.
Dengan persiapan pasukan seperti itu, Isnur percaya bahwa terdapat asumsi pihak keamanan yang dihadapi adalah orang bersenjata dan sangat berbahaya.
“Orang yang akan membuat chaos, kerusuhan yang luar biasa, dan orang yang akan ditangkapi karena reserse sudah turun sejak awal,” imbuhnya.
Dia juga mengingatkan, tragedi serupa sudah pernah terjadi di Wadas pada April 2021, termasuk bagaimana kekerasan terhadap perempuan dan penahanan pengacara dari LBH. Tindakan terbaru yang diterapkan di Wadas, tambah Isnur, adalah upaya distorsi pada jaringan internet dan pemadaman listrik. Ada upaya dari aparat untuk mencegah publikasi cepat, atas apa yang terjadi di Wadas. Taktik serupa pernah diterapkan di Papua pada 2019, ketika pemerintah memastikan internet selama 2 bulan dan oleh PTUN dinilai melanggar hukum.
Kerusakan Tak Terhindarkan
Sementara itu, Donny Ardyanto, perwakilan dari Iluni UI, berpendapat bahwa tidak mungkin sebuah proyek berjalan tanpa mengakibatkan kerusakan lingkungan.
“Pada dasarnya, setiap pembangunan itu harus dilihat sebagai bentuk perusakan alam. Pasti rusak, enggak mungkin enggak. Bohong kalau misalnya mau mengambil batu di bukit di Wadas, terus alamnya enggak rusak,” ujar Donny.
Justru yang lebih penting dari sekedar klaim itu, menurutnya adalah upaya menekan dampak yang merugikan melalui pelaksanaan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).
“Apakah warga akan ikut diuntungkan? Hanya Tuhan yang tahu, karena kita baru bisa melihat nanti setelahnya. Warga sudah pasti akan rugi di awal, atau rugi sepuluh tahun lagi, tetapi tidak akan memperoleh keuntungan langsung dalam waktu dekat, karena kerusakan alam tadi,” tambah Donny. [ns/rs]