Komisioner Komnas HAM, Mohammad Choirul Anam, menyatakan pihaknya telah membentuk tim untuk melakukan pemantauan, dan penyelidikan terhadap dugaan kasus pelanggaran hak asasi yang dilakukan PT Toba Pulp Lestari (TPL) terhadap masyarakat adat di kawasan Danau Toba, Sumatra Utara. Penyelidikan itu pun telah dimulai Komnas HAM pada 26 Desember 2021.
"Kami ingin ini menjadi satu proses yang sangat serius," ujar Anam di Medan, pada Kamis (31/12).
Berdasarkan aduan yang masuk ke Komnas HAM dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, sedikitnya terdapat 26 kasus terkait dugaan pelanggaran hak asasi yang dialami masyarakat adat di kawasan Danau Toba. Permasalahan yang dihadapi masyarakat adat itu bukan hanya persoalan tanah, tapi juga soal kriminalisasi terhadap masyarakat adat.
"Laporan yang masuk ke kami ada dari 6 kabupaten (kawasan Danau Toba). Kami juga akan melihat lebih dari itu. Sementara dari data kami ada 6 kabupaten. Tapi ternyata banyak kabupaten lain yang harus dilihat juga," ungkap Anam.
Menurut Anam, proses pertama untuk mulai menyelidiki hal ini adalah dengan mendatangi lokasi di mana masyarakat adat menetap. Hal itu dilakukan agar penyelesaian aduan yang masuk ke Komnas HAM lebih komprehensif.
"Kemarin kami datang ke Desa Natumingka (di Kabupaten Toba) dan Nagori Sihaporas (di Kabupaten Simalungun). Kami akan datang ke tempat lainnya dan terus diproses. Semua instansi yang terkait dengan kasus ini akan diproses. Terkait dengan kepolisian juga akan kami lihat. Semua informasi, dan fakta serta peristiwa yang terjadi dalam konteks penyelesaian kasus ini akan kami pantau. Lalu, lakukan penyelidikan," jelasnya.
Komnas HAM pun meminta kepada semua pihak untuk bersikap kooperatif ketika proses pemantauan, investigasi, dan penyelidikan berjalan.
"Terangnya peristiwa akan menentukan bagaimana keadilan itu berlangsung," ujar Anam.
BACA JUGA: Mengapa RUU Masyarakat Hukum Adat Tak Kunjung Disahkan?Komnas HAM menargetkan penyelidikan atas dugaan pelanggaran hak-hak masyarakat adat itu akan rampung dalam enam bulan. Namun, Anam menegaskan dalam penyelidikan untuk penyelesaian kasus dugaan pelanggaran hak asasi ini tak bisa tergesa-gesa.
"Awalnya kami targetkan dua bulan, tapi karena kasusnya banyak ini tidak bisa buru-buru. Itu paling lambat harus sudah ada laporan bagaimana kasus ini, dan dinamika yang terjadi. Kami mohon kepada semua pihak agar tidak terjadi kekerasan lagi khususnya bagi masyarakat adat," pungkasnya.
AMAN: TPL Picu Pelanggaran Hak Adat
Sementara, Roganda Simanjuntak dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak, mengatakan sudah 30 tahun PT TPL telah hadir di kawasan Danau Toba, dan selama itu pula banyak peristiwa yang mengakibatkan terlanggarnya hak-hak adat. Saat ini konflik antara masyarakat adat dengan PT TPL masih terus terjadi.
"Kami mengidentifikasi hingga saat ini tersebar di tujuh kabupaten di kawasan Danau Toba, ada 32 komunitas masyarakat adat berkonflik dengan PT TPL serta Kementerian Lingkungan Hidup Kehutanan (KLHK)," kata Roganda.
Bentuk konflik di kawasan Danau Toba yang diduga dilakukan PT TPL beragam. Mulai dari perampasan hak adat, penghancuran hutan adat, hingga perusakan lingkungan akibat hancurnya hutan adat. Ini dikarenakan PT TPL melakukan aktivitas dengan menanam tanaman monokultur yaitu eukaliptus, yang mengakibatkan tanaman endemik seperti hutan kemenyan lenyap.
"Tanaman (eukaliptus) ini sebenarnya membutuhkan pupuk kimia dan dampaknya penggunaan pestisida berlebihan. Akibatnya kerusakan lingkungan di tengah-tengah pemukiman masyarakat adat telah terjadi hampir di semua tempat PT TPL beraktivitas," ungkap Roganda.
Merujuk aksi kekerasan yang terjadi di sedikitnya tujuh kabupaten di kawasan Danau Toba, Roganda menyerukan pemerintah untuk menutup PT TPL.
Your browser doesn’t support HTML5
"Harapan kami kepada Komnas HAM karena kami melihat Komnas HAM sanggup untuk melakukan atau melihat fakta-fakta di lapangan. Kemudian, sesuai dengan tupoksinya bisa diharapkan untuk membela hak-hak masyarakat adat sebagai warga negara. Harapan kami hasilnya sesuai dengan keinginan masyarakat adat. Intinya kami menolak kehadiran PT TPL. Pemerintah harus segera menutup PT TPL," tandas Roganda.
Direktur Perhimpunan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatra Utara (BAKUMSU), Tongam Panggabean, menyebutkan bahwa terdapat sembilan kasus kekerasan dan penangkapan sewenang-wenang terhadap masyarakat adat terkait konflik dengan PT TPL. Tercatat dua kasus kekerasan dengan pelaku aparat bersenjata yang mengakibatkan kematian.
Empat kasus penangkapan masyarakat adat secara sewenang-wenang oleh aparat terhadap masyarakat adat telah menahan sebanyak 79 warga. Sementara tiga kasus kekerasan yang melibatkan pekerja dari PT TPL dana warga, menyebabkan jatuhnya korban sebanyak 14 orang dari pihak masyarakat adat.
BACA JUGA: Masyarakat Adat Desak Poso Energy Turunkan Elevasi Air Danau Poso"Kekerasan terhadap masyarakat adat umumnya terjadi ketika masyarakat adat mengadang kehadiran PT TPL. Masyarakat bertahan di atas tanah adat mereka. Selain itu, kekerasan juga sering diikuti dengan penangkapan dan penahanan masyarakat adat, baik ketika mengadakan protes massa, maupun aktivitas di lahan berkonflik. Umumnya masyarakat adat dan lokal mengalami penangkapan serta penahanan oleh aparat atas laporan PT TPL kepada pihak kepolisian setempat," kata Tongam seperti dikutip dari laman resmi BAKUMSU.
Selain itu, tercatat sebanyak 93 orang menjadi korban langsung kriminalisasi akibat keberadaan PT TPL. Dari total korban tersebut tercatat 40 orang yang diseret ke meja hijau, di mana 39 diantaranya dinyatakan terbukti bersalah, dan hanya 1 orang dinyatakan bebas murni karena tidak terbukti bersalah. Sementara itu, sisanya yakni sebanyak 47 orang dinyatakan berstatus tersangka, dan 6 lainnya berstatus terlapor.
Pola kriminalisasi terhadap masyarakat adat yang melibatkan aparat kepolisian terjadi ketika ada aksi atau perlawanan dari masyarakat adat yang menolak kehadiran PT TPL. PT TPL umumnya melaporkan masyarakat dengan memakai pasal-pasal yang berlebihan dan berpotensi membuat mereka ditangkap.
BACA JUGA: Kunci Membangun Papua: Perdamaian dan Harga Diri OAP"Penggunaan pasal-pasal yang berpotensi untuk dilakukan upaya paksa tersebut dituduhkan ketika masyarakat melakukan aksi unjuk rasa menolak TP TPL. Aksi masyarakat adat ketika mempertahankan tanah adat mereka ketika PT TPL melakukan upaya tanam paksa tanaman eukaliptus," pungkas Tongam.
Sementara itu, koordinator urusan media PT TPL, Dedy Armaya, membantah seluruh tudingan terkait dugaan pelanggaran HAM terhadap masyarakat adat di kawasan Danau Toba.
"Hanya saja saya mau menyampaikan bahwa TPL tidak pernah melakukan pelanggaran seperti yang dituduhkan," katanya kepada VOA melalui pesan singkat. [aa/em]