Komnas Perempuan: Hentikan Kekerasan di Papua

  • Fathiyah Wardah

Polisi berjalan di depan masa yang berdemo di DPRD di Abepura, Papua. (Foto:dok)

Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (komnas Perempuan) menyerukan agar TNI dan Polri segera menghentikan segala bentuk kekerasan terhadap masyarakat sipil termasuk terhadap perempuan.

Ketua Gugus Kerja Papua dari Komnas Perempuan, Sylvana Apituley dalam keterangan pers di kantornya hari Rabu mengatakan semakin meningkat dan meluasnya kekerasan di Papua membuktikan bahwa pemerintah masih memakai pendekataan keamanan yang sangat kental di Papua.

Menurutnya kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan aparat keamanan masih terus terjadi hingga kini di Papua, termasuk kekerasan seksual yang dilakukan oleh aparat .

Kekerasan seksual ini kata Sylvana banyak terjadi terutama di wilayah perbatasan Indonesia dan Papua Nugini serta kota-kota besar seperti Jayapura.

Sylvana menyatakan pendekatan keamanan memang menjadi faktor kunci munculnya kekerasan termasuk kekerasan seksual. Hal ini menurut Sylvana menyebabkan perempuan-perempuan di Papua merasa hidup tidak aman di tanahnya sendiri.

Untuk itu Komnas Perempuan meminta agar pemerintah menghentikan pendekatan keamanan dalam menangani Papua. "Bagi perempuan, pendekatan keamanan adalah faktor kunci ketidakamanan mereka. Saya kira yang jelas ratusan korban tidak tertangani, hidup dalam trauma, miskin karena mereka ditinggalkan anggota keluarga dan masyarakat. Ketika perempuan menjadi korban kekerasan seksual, dia dianggap ternoda, kemudian dia dianggap juga menodai identitas komunal. Hukumannya dalam bentuk stigma, dalam bentuk ejekan-ejekan, dalam bentuk pengucilan juga", demikian penjelasan Sylvana.

Data Komnas Perempuan menyatakan sejak tahun 1963 hingga 2009, terdapat 138 kasus kekerasan oleh aparat keamanan, 60 diantaranya adalah kekerasan seksual.

Berdasarkan laporan yang masuk kepada Komnas Perempuan, jumlah tersebut terus bertambah pada tahun 2010 hingga saat ini.

Komnas Perempuan juga menyesalkan adanya korban perempuan dalam pembubaran Kongres Rakyat Papua ke III.

Hasil penyelidikan Komnas Perempuan menemukan fakta bahwa satu perempuan menjadi korban penembakan dan 68 perempuan lainnya turut ditahan pasca pembubaran Kongres Rakyat Papua pada 19 Oktober silam.

Lebih lanjut Sylvana menjelaskan baru-baru ini, pihaknya telah menyampaikan laporan tentang kekerasan terhadap perempuan ini kepada Pelapor Khusus PBB tentang kekerasan terhadap perempuan. "Kami berharap ada langkah-langkah diambil oleh Special Rapporteur atau oleh mekanisme tertentu di PBB misalnya melalui Komite Cedaw, komite against torture maupun komite lainnya yang relevan agar mendorong upaya-upaya, penanganan dan pencegahan yang dilakukan oleh pemerintah. Sebenarnya pemerintah melakukan banyak hal yang kami catat, dalam rangka membaca pendekatan keamanan justru itu kontaproduktif," ujar Sylvana.

Ketua Umum Yayasan Pemberdayaan Perempuan Amal Hayati, Sinta Nuriyah Abdurahman Wahid mengatakan persoalan di Papua harus segera diselesaikan,sehingga kekerasan tidak lagi terjadi. "Kondisi seperti ini mengingatkan kita pada peristiwa di Aceh, ketika perempuan-perempuan juga menjadi korban. Kekerasan memang sudah harus diberhentikan sejak saat ini", kata Amal Hayati.

Sementara itu, Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Mabes Polri irjen Saud Usman Nasution menyatakan dalam menjaga keamanan termasuk di Papua, polisi harus bertindak sesuai dengan aturan yang ada. Jika ada anggota kepolisian yang melanggar aturan tersebut maka akan diberikan sanksi.