Komnas Perempuan: Negara Gagal Berikan Keadilan pada Perempuan Korban Kekerasan

  • Fathiyah Wardah

Foto ilustrasi yang menyerukan dihentikannya kekerasan terhadap perempuan. (Foto: dok)

Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) meyatakan negara masih gagal dalam memberikan keadilan terhadap perempuan korban kekerasan. 

Wakil Ketua Komnas Perempuan Mariana Amiruddin, dalam diskusi virtual bertajuk “Hak perempuan adalah Hak Konstitusional,” mengatakan tahun 2016-2019 terdapat lebih dari 55 ribu kasus kekerasan terhadap perempuan, baik yang dilaporkan kepada pihak berwenang maupun ke Komnas perempuan. Dari angka itu, sekitar 21 ribu adalah kasus kekerasan seksual terhadap perempuan, termasuk delapan ribuan kasus pemerkosaan namun hanya 30 persen perkara pemerkosaan yang diproses secara hukum.

"Minimnya proses hukum pada kasus kekerasan seksual menurut Komnas Perempuan menunjukkan aspeksubstansi hukum kita yang ada saat ini tidak mengenal apa itu kekerasan seksual, apa itu perkosaan, apa itu pelecehan seksual. Di dalam undang-undang yang ada, membuat negara menjadi gagap untuk bisa memberikan keadilan kepada korban," kata Mariana.

Selain itu, tambah Mariana, aturan pembuktian dalam kasus pemerkosaan malah membebani korban. Perempuan sebagai korban juga sering disalahkan sebagai penyebab terjadinya kasus kekerasan seksual.

Para aktivis gerakan anti-kekerasan terhadap perempuan menunjukkan spanduk dalam unjuk rasa memprotes kekerasan dan pelecehan seksual terhadap perempuan (foto: dok).

Mariana menegaskan Indonesia sedang menghadapi kegentingan terkait kekerasan seksual terhadap perempuan. Karena itu, dia menyerukan perlunya segera dibentuk kebijakan atau aturan yang dapat melindungi perempuan dari kekerasan sekaligus dapat memberikan keadilan bagi perempuan yang menjadi korban kekerasan.

Mariana kembali pembatalan pengesahan Rancangan Undang-undang Penghapusan kekerasan Seksual oleh DPR karena penolakan sebagian pihak, dan kini RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dihapus dalam daftar program legislasi nasional 2021-2024.

BACA JUGA: RUU P-KS: Kandas di DPR, Tetapi Populer di Anak Muda

Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Amiruddin Al Rahab menegaskan kekerasan terhadap perempuan adalah hasil dari cara pandang yang diskriminatif terhadap perempuan. "Kekerasan kepada perempuan bisa kita baca sebagai ekspresi atau symptom dari cara berpikir yang diskriminatif dan itu masih berkembang di masyarakat kita. Bahwa masih ada pikiran yang mengatakan karena perempuan itu tidak setara dengan laki-laki maka dia bisa diperlakukan kurang dari laki-laki. Ujungnya tentu kekerasan," ujar Amiruddin.

Amiruddin mendorong semua pihak untuk memastikan agar tidak ada perlakuan diskriminatif terhadap kaum hawa di semua level dan bentuk. Menurutnya hak-hak perempuan dilindungi dan terlindungi dalam konstitusi.

Anggota Komisi III DPR Taufik Basari mengakui masih ada pembuat undang-undang dan kebijakan yang masih memegang prinsip patriarki dan ini menjadi tantangan utama dalam menghapus diskriminasi terhadap perempuan. Taufik berjanji akan memperjuangkan supaya RUU Penghapusan kekerasan Seksual bisa masuk ke dalam prolegnas prioritas 2021.

Your browser doesn’t support HTML5

Komnas Perempuan: Negara Gagal Berikan Keadilan pada Perempuan Korban Kekerasan


"Hal-hal yang menjadi kekhawatiran bahwa begitu banyaknya data kekerasan seksual, begitu bolongnya, masih kurangnya payung hukum untuk bisa menjamin perlindungan terhadap korban, pemulihan, masih belum adanya tanggung jawab negara terhadap pencegahan kekerasan seksual ini, bisa kita akomodir di dalam RUU penghapusan kekerasan Seksual," tutur Taufik.

Deputi Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Ghafir Dharma Putra menegaskan pemerintah sangat serius dan berupaya melindungi perempuan dari kekerasan. Namun tidak merinci lebih jauh upaya yang dimaksud. [fw/em]