Menteri Dalam Negeri diminta membuat aturan pelaksana pencatatan kependudukan yang tidak membedakan warga negara atas dasar agama/kepercayaan.
JAKARTA —
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memerintahkan Menteri Dalam Negeri untuk membuat aturan pelaksana pencatatan kependudukan yang tidak membedakan warga negara atas dasar agama/kepercayaan.
Komnas Perempuan menyesalkan sikap pemerintah yang terus melanggengkan pelembagaan diskriminasi terhadap warga negara berdasarkan agama atau kepercayaannya.
Komisioner Komnas Perempuan Arimbi Heroepoetri menyatakan hingga saat ini tidak ada terobosan yang dilakukan pemerintah dalam pengaturan pencatatan kependudukan.
Dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP), tambahnya, hanya ada enam agama resmi yang boleh ditulis yaitu Islam, Kristen, Katolik, Buddha, Hindu dan Khonghucu. Sedangkan bagi pemeluk agama lain dan kepercayaan tambahnya mereka tetap memperoleh e-KTP dengan kolom yang dikosongkan.
Aturan seperti itu, menurut Arimbi, sangat menghalangi negara dalam menjalankan mandat konstitusi untuk melindungi hak asasi warga negara, terutama hak kemerdekaan tiap-tiap warga negara untuk memeluk agama dan menganut kepercayaannya, hak untuk bebas dari diskriminasi serta hak untuk sama kedudukan di depan hukum dan pemerintahan.
Dia menambahkan peraturan yang diskriminatif tersebut menempatkan warga negara rentan diskriminasi, kriminalisasi dan kekerasan.
Warga negara yang KTP-nya mencantumkan kolom agama yang dikosongkan rentan mendapatkan stigmatisasi di dalam masyarakat, ujar Arimbi, dan sulit mengakses layanan publik dan program-program pemerintah lainnya.
“Harusnya dalam konteks HAM, negara harus mengakui eksistensi kebebasan bereskpresi dan agama leluhur yang dianut oleh teman-teman penganut ini,” ujarnya.
Perwakilan dari penganut penghayat kepercayaan Arnold Panahal meminta pemerintah memperlakukan sama semua warga negara tidak terkecuali mereka yang menganut paham kepercayaan.
Para penghayat kepercayaan, lanjut Arnold, juga warga negara Indonesia yang harus dilindungi dan dipenuhi hak-haknya.
“Diskriminasi misalnya dalam hal pendidikan maupun kesempatan kerja. Umpamanya berobat itu (ditanya) agamanya apa dan kalau kita menyatakan penghayat itu ditertawakan dan sering tidak dilayani,” ujarnya.
Sementara itu, Staf Ahli Menteri Dalam Negeri Raydonizar Moenek mengungkapkan dalam membuat kartu tanda penduduk, petugas tidak boleh mempersulit para penganut penghayat kepercayaan memperoleh KTP.
Dia mengakui kolom agama di KTP penganut penghayat kepercayaan memang tidak boleh diisi karena penghayat kepercayaan bukan termasuk kelompok agama yang diakui oleh negara.
“Kita menghormati semua punya kebebasan beragama, berserikat diakui semua itu keberadaannya. Namun kalau meminta secara spesifik agar ditulis nanti ada kelompok ini, ada kelompok itu yang minta ditulis, ada berapa sedangkan itu tidak masuk dalam klasifikasi agama,” ujarnya.
Komnas Perempuan menyesalkan sikap pemerintah yang terus melanggengkan pelembagaan diskriminasi terhadap warga negara berdasarkan agama atau kepercayaannya.
Komisioner Komnas Perempuan Arimbi Heroepoetri menyatakan hingga saat ini tidak ada terobosan yang dilakukan pemerintah dalam pengaturan pencatatan kependudukan.
Dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP), tambahnya, hanya ada enam agama resmi yang boleh ditulis yaitu Islam, Kristen, Katolik, Buddha, Hindu dan Khonghucu. Sedangkan bagi pemeluk agama lain dan kepercayaan tambahnya mereka tetap memperoleh e-KTP dengan kolom yang dikosongkan.
Aturan seperti itu, menurut Arimbi, sangat menghalangi negara dalam menjalankan mandat konstitusi untuk melindungi hak asasi warga negara, terutama hak kemerdekaan tiap-tiap warga negara untuk memeluk agama dan menganut kepercayaannya, hak untuk bebas dari diskriminasi serta hak untuk sama kedudukan di depan hukum dan pemerintahan.
Dia menambahkan peraturan yang diskriminatif tersebut menempatkan warga negara rentan diskriminasi, kriminalisasi dan kekerasan.
Warga negara yang KTP-nya mencantumkan kolom agama yang dikosongkan rentan mendapatkan stigmatisasi di dalam masyarakat, ujar Arimbi, dan sulit mengakses layanan publik dan program-program pemerintah lainnya.
“Harusnya dalam konteks HAM, negara harus mengakui eksistensi kebebasan bereskpresi dan agama leluhur yang dianut oleh teman-teman penganut ini,” ujarnya.
Perwakilan dari penganut penghayat kepercayaan Arnold Panahal meminta pemerintah memperlakukan sama semua warga negara tidak terkecuali mereka yang menganut paham kepercayaan.
Para penghayat kepercayaan, lanjut Arnold, juga warga negara Indonesia yang harus dilindungi dan dipenuhi hak-haknya.
“Diskriminasi misalnya dalam hal pendidikan maupun kesempatan kerja. Umpamanya berobat itu (ditanya) agamanya apa dan kalau kita menyatakan penghayat itu ditertawakan dan sering tidak dilayani,” ujarnya.
Sementara itu, Staf Ahli Menteri Dalam Negeri Raydonizar Moenek mengungkapkan dalam membuat kartu tanda penduduk, petugas tidak boleh mempersulit para penganut penghayat kepercayaan memperoleh KTP.
Dia mengakui kolom agama di KTP penganut penghayat kepercayaan memang tidak boleh diisi karena penghayat kepercayaan bukan termasuk kelompok agama yang diakui oleh negara.
“Kita menghormati semua punya kebebasan beragama, berserikat diakui semua itu keberadaannya. Namun kalau meminta secara spesifik agar ditulis nanti ada kelompok ini, ada kelompok itu yang minta ditulis, ada berapa sedangkan itu tidak masuk dalam klasifikasi agama,” ujarnya.