Kompetisi calon-calon presiden mencapai minggu terakhir dan kampanye pemilihan presiden yang ketat tidak bebas dari kontroversi.
Dalam beberapa bulan terakhir perbedaan tingkat elektabilitas antara Joko "Jokowi" Widodo dan Prabowo Subianto semakin menyempit, dari 25 persen menjadi hanya satu digit, meski Jokowi masih memimpin.
Prabowo telah meluncurkan kampanye yang sangat kuat dan di beberapa jajak pendapat, angka elektabilitasnya hanya berbeda 3 persen.
Douglas Ramage, analis politik dari Bower Group Asia, mengatakan bahwa Prabowo telah bersiap untuk momen ini.
“Harus diingat bahwa ia adalah kandidat presiden yang barangkali merupakan kandidat paling berpengalaman di Asia. Ia telah maju dalam pemilihan presiden tiga kali di Indonesia dan ia menjadi semakin baik dalam hal ini," ujar Ramage.
Para pengkritik khawatir Prabowo, yang tidak pernah disidang dalam pengadilan sipil karena klaim-klaim pelanggaran hak asasi manusia, dapat membalikkan kembali kebebasan demokrasi di Indonesia yang telah dinikmati sejak jatuhnya mantan presiden Suharto.
Minggu lalu, Duta Besar AS untuk Indonesia Robert O. Blake tampak ikut serta dalam perbincangan tersebut, dengan mengatakan pada koran The Wall Street Journal bahwa meski Amerika Serikat tidak mengambil posisi dalam pemilu, negara itu mendesak Indonesia untuk menyelidiki dugaan pelanggaran hak-hak asasi.
Komentar tersebut memicu kemarahan dari sejumlah pejabat pemerintah yang mengatakan tidak dapat menerima campur tangan Amerika Serikat dalam urusan dalam negeri. Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa pada Senin menggambarkan komentar itu sebagai "kesalahan penilaian yang sulit diterima."
Aleksius Jemadu, profesor ilmu politik dari Universitas Pelita Harapan, mengatakan Amerika Serikat secara implisit mendorong seorang pemimpin yang mau mengakomodasi kebijakan luar negeri AS dan kepentingan-kepentingan strategisnya.
"Saya kira sangat jelas bahwa pemerintahan Prabowo akan sangat nasionalistis dan mungkin tidak akan mudah bagi Amerika Serikat untuk mengundang Indonesia ke dalam kalkulasi strategis AS dengan kebangkitan China saat ini," ujar Jemadu.
Sementara itu, popularitas Jokowi tergerus serangkaian kampanye hitam yang menyebut ia beragama Kristen dan keturunan China. Namun reputasi Jokowi terkait pemerintahan yang bersih dan gaya kepemimpinan yang populis masih menarik sejumlah pemilih.
Pendukung dan aktivis sosial Christine Naomi mengatakan praktik transparansi Jokowi akan menyebar ke parlemen jika ia terpilih.
"Seorang pemimpin yang baik akan memastikan para anggota legislatif takut melakukan hal yang salah," ujar Christine di sela-sela kampanye Jokowi di Jakarta.
"Indonesia tidak perlu pemimpin yang kuat atau jenderal lagi, tapi dia yang dapat membuat perubahan."