Surat-menyurat sebagai alat berkomunikasi sudah lama dilakukan. Di Amerika, sejarah menunjukkan Abraham Lincoln membalas surat seorang remaja perempuan, usia 11 tahun, asal New York yang memberi saran agar Lincoln memelihara jenggot agar dapat meningkatkan prospeknya terpilih sebagai presiden AS.
Tanpa berjanji apa pun, Presiden AS yang tidak mempunyai anak perempuan itu membalas surat tertanggal 15 Oktober 1860 tersebut, kemudian singgah di Westfield. Lincoln menemui Grace Bedell pada Februari 1861 dengan ikon janggut lebatnya. Pada masa itu, kaum perempuan di AS tidak bisa memilih namun Grace telah menoreh tinta pada secarik kertas kepada Abraham Lincoln.
Tradisi berkirim surat juga dilakukan dua remaja lintas benua. Angel Grace berupaya mencari teman pena melalui aplikasi interpols atau Instagram untuk berkirim surat dalam bahasa Inggris, yang ditugaskan guru Bahasa Inggris.
Biaya pengiriman ke luar negeri tidaklah murah bahkan beberapa jasa pengiriman mematok harga jutaan dalam waktu sekitar tujuh hari, papar siswa yang saat itu duduk di bangku SMA. Beberapa teman pena Angel, dengan alasan privasi, menolak dikirimi surat dan lebih senang menggunakan surat elektronik. Pos Indonesia menetapkan tarif di bawah Rp100.000 dalam waktu tiga minggu.
Angel, siswi kelas 2 SMA di Jakarta yang penasaran dengan kartu pos dari luar negeri, menceritakan pengalamannya.
“Salah satu teman pena saya memberikan pembatas buku foto keluarganya yang dibingkai rapi dan bahkan bercerita tentang kehidupan sehari-harinya di dalam bentuk tulisan yang begitu menarik karena ditempeli oleh stiker dan juga ditempeli oleh kata-kata motivasi,” jelasnya.
Annika Francke, usia 17 tahun, senang berkirim surat. Remaja yang tinggal di Pennsylvania dan aktif bermain sepakbola itu berbagi pengalamannya.
“Melihat orang seumur saya dan membandingkan cara mereka hidup dengan gaya hidup saya, merupakan hal yang menyenangkan karena saya benar-benar tidak diperkenalkan pada kehidupan seperti itu. Kami hidup dengan cara berbeda,” jelasnya.
Surat menyurat menjadi fenomena menarik dalam era digital. Generasi muda sekarang mempunyai kebiasaan unik menggunakan Instagram untuk menyaring, sekaligus mencari, mereka yang terbiasa dengan surat-menyurat (snail-mail).
“Foto-foto diunggah dan dilengkapi tagar khusus #Penpalswanted, #Penpalnedeed, atau #snailmail,” ujar Harwindra Yoga, pengamat sekaligus dosen komunikasi digital FISIP UI.
Di Gunung Sindur, Bogor, Martha Eva Yanty sempat mengajarkan jenis-jenis pekerjaan untuk siswa kelas satu SD. Ia memperkenalkan surat menyurat sebagai alat komunikasi dan mengajak siswa-siswanya berkunjung ke kantor pos.
“Di sana mereka pasti sangat senang dan ingin tahu di kantor pos itu apa yang mereka akan lakukan nantinya, cara mereka mengirim surat dan cara mereka menunggu saat dipanggil untuk di-stempel suratnya,” kata Martha Eva Yanty.
Menurut Harwindra ada anomali dalam era digital. Sementara generasi lebih tua seperti baby boomers dan Gen X berlomba-lomba menggunakan ponsel pintar dengan papan kunci qwerty untuk bertukar pesan, kawula muda seperti millennials dan Gen Z justru kembali ingin menggunakan media analog: kertas surat, amplop, dan perangko untuk berkirim dan menerima pesan.
“Generasi yang lebih tua mungkin sangat gembira mendapatkan email pertamanya, yang mungkin datang dari penyedia layanan email tersebut, pertama kali membuka dan membaca email. Generasi yang jauh lebih muda, mungkin juga bersorak kegirangan saat menerima balasan surat dari sahabat penanya,” kata Harwindra Yoga, Pengamat komunikasi digital FISIP UI.
Manfaat surat menyurat dan sahabat pena bagi Angel, selain mendapat teman, juga mengenal budaya baru serta meningkatkan kemampuannya berbahasa Inggris. Angel juga mengungkapkan bahwa sensasi berkirim surat secara riil tidak bisa dibandingkan dengan berkirim pesan secara elektronik.
Seperti halnya pengalaman Angel memperkenalkan kebudayaan Indonesia melalui surat kepada sahabat pena di luar negeri, Annika mempelajari bahasa dan budaya Prancis melalui surat-menyurat sebelum pandemi COVID-19.
“Di Perancis, mereka dilatih menulis dengan cara yang sama persis dan itu tidak berlaku di AS. Setiap orang memiliki gaya penulisan masing-masing,” kata Annika Francke.
Martha, yang kini menjabat wakil kepala sekolah, memberi kesempatan kepada sejumlah siswa kelas satu SD untuk membacakan di depan kelas surat yang mereka terima dari pos sehingga menjadi suatu dokumen dan juga kenangan.
“Lewat surat, kami mengajarkan kepada anak-anak arti menghargai. Karena saat menerima surat, respons yang didapat, pastinya rasa bahagia,” jelas Martha Eva Yanty.
Kesederhanaan dan kecepatan menyampaikan pesan lewat saluran digital tidak lagi terasa istimewa bagi generasi muda. Segala usaha mereka lakukan agar merasa lebih puas.
“Mereka tentunya bersenang hati menulis di kertas hingga tangan mungkin pegal, melipat dan memasukan surat ke dalam amplop, juga diisi benda-benda unik yang ingin mereka kirim kepada sahabat penanya,” Harwindra menguraikan lebih jauh.
Setelah berhari-hari atau bahkan berminggu-minggu merasa gelisah menunggu, mereka akhirnya mendapatkan balasan untuk suratnya.
“Rasa membuka balasan surat dan membacanya memang tidak tergantikan. Sama halnya saat kita membuka buku yang baru saja kita beli, mencium aromanya, dan berpetualang di dalamnya,” kata Harwindra Yoga.
Annika yang bersiap untuk kuliah tahun depan berpendapat pentingnya mengenal orang lain dengan latar budaya berbeda yang dapat dilakukan melalui sahabat pena dan surat-menyurat.
“Dua pengalaman itu sudah saya jalani. Saya berharap orang lain melakukannya karena bermanfaat untuk memiliki koneksi di berbagai belahan dunia," imbuhnya. [mg/ka]
Your browser doesn’t support HTML5