Dua media siber yakni Tempo.co dan Tirto.id melaporkan peretasan dan perusakan situs web ke Polda Metro Jaya pada Selasa (25/8/2020). Laporan Tirto.id telah terdaftar dengan nomor laporan LP/5.035/VIII/YAN.2.5/2020/SPKT dan Tempo.co dengan nomor laporan LP/5037/VIII/YAN.2.5/2020/SPKT PMJ.
Direktur LBH Pers, Ade Wahyudin mengatakan, peretasan ini merusak demokrasi dan kebebasan pers di Indonesia. Karena itu, ia meminta kepolisian untuk menindaklanjuti laporan tersebut dan menemukan pelaku peretasan.
"Laporan polisi ini sebagai pintu untuk membuktikan bahwa kami melawan dan peretasan ini tidak kami biarkan," jelas Ade Wahyudin kepada VOA, Selasa (25/8/2020).
Ade menjelaskan pelaku dilaporkan telah diduga melanggar Pasal 18 Ayat 1 Undang-undang Pers dengan ancaman pidana penjara paling lama dua tahun penjara atau denda paling banyak Rp500 juta. Pasal ini mengatur tentang tindak pidana bagi orang yang dengan sengaja atau menghambat kemerdekaan pers, mulai dari mencari, memperoleh dan menyebarkan informasi.
Selain itu, dalam laporan juga disebutkan ada dugaan pelanggaran Pasal 32 ayat 1 UU Informasi dan Transaksi Elektronik dengan ancaman pidana penjara paling lama delapan tahun dan atau denda paling banyak Rp2 miliar. Pasal tersebut berbunyi, "Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik Orang lain atau milik publik."
Berdasarkan keterangan Pemimpin Redaksi Tirto.id, Atmaji Sapto Anggoro, peretasan terjadi pada Jumat (21/8/2020) dengan cara meretas akun email editor Tirto.id. Pelaku kemudian masuk ke sistem manajemen konten dan menghapus 7 artikel Tirto.id, termasuk artikel yang kritis tentang klaim obat corona.
"Sebagaimana orang yang rumahnya dibobol oleh maling, saya merasa Tirto.id yang tercatat adalah milik saya, telah diobrak-abrik oleh maling dan sebagaimana warga negara yang baik, saya melaporkan ke kepolisian untuk segera mengusut dan menemukan siapa pelaku kriminal yang sudah masuk ke Tirto.id dan merusak artikel-artikel yang ada di dalamnya," ujar Sapto Anggoro melalui keterangan tertulis, Selasa (25/8/2020).
Your browser doesn’t support HTML5
Sedangkan Chief Editor Tempo.co, Setri Yasra menjelaskan, situs Tempo.co tidak bisa diakses sejak Jumat (21/8/2020) pukul 00.00 WIB. Peretas kemudian merusak tampilan halaman Tempo.co dan muncul tulisan "Stop Hoax, Jangan BOHONGI Rakyat Indonesia, Kembali ke etika jurnalistik yang benar patuhi dewan pers. Jangan berdasarkan ORANG yang BAYAR saja. Deface By @xdigeeembok."
Pemerintah Diminta Membongkar Pelaku Peretasan
Sekjen Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Wahyu Dyatmika membenarkan ada empat anggotanya yang melapor mengalami peretasan. Dua di antaranya adalah Tempo.co dan Tirto.id, sementara dua lainnya masih dirahasiakan. Dyatmika mengutuk peretasan yang dilakukan pelaku terhadap media siber karena dapat menutup akses informasi publik yang diproduksi media.
"Jadi percuma saja kalau pers boleh menulis apa saja, pers boleh kritis, tapi website dari pers tidak dapat diakses atau diganggu. Jadi syarat kebebasan pers itu menjadi tidak terpenuhi, kalau akses orang terhadap informasi diganggu," jelas Wahyu Dyatmika dalam konferensi pers online, Senin (25/8/2020).
Wahyu Dyatmika khawatir pembiaran terhadap peretasan media siber akan membuat media menjadi takut menyuarakan suara publik yang bertentangan dengan pemerintah dan melakukan swasensor.
Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Abdul Manan menilai serangan siber ini dilakukan secara terencana karena hanya menyasar media-media yang selama ini kritis terhadap pemerintah. Menurutnya, pemerintah melalui aparat harus membongkar kasus ini supaya tidak dicurigai sebagai pelaku peretasan.
"Kalau pemerintah membiarkan praktik seperti ini, kita layak punya kecurigaan bahwa pemerintah punya andil di belakang aksi peretasan ini," jelas Manan.
Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid menambahkan lembaganya mengidentifikasi adanya peran negara dalam peretasan terhadap masyarakat sipil di berbagai negara sejak 2010. Antara lain di Tunisia dan mesir. Menurutnya, kasus serupa juga mulai terjadi di sejumlah negara di Asia Tenggara seperti Myanmar dan Filipina.
Sedangkan untuk di Indonesia, selain terjadi pada Tempo.co dan Tirto.id, akun Twitter Pandu Riono juga diserang pihak yang tidak dikenal. Pandu merupakan epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia yang kerap mengkritisi kebijakan dan aturan pemerintah terkait penanganan pandemi Covid-19. Kata Usman, setidaknya ada tiga kemungkinan terduga pelaku peretasan antara lain pemerintah, kelompok di luar pemerintah dan kelompok kriminal.
"Baik yang pertama, kedua dan ketiga (baca: terduga pelaku) seluruhnya sama-sama mensyaratkan peran negara untuk membuka dan membongkarnya," jelas Usman Hamid.
April lalu, kasus serupa juga pernah dialami aktivis Ravio Patra yang secara terbuka mengkritik kekurangan transparansi data tentang pasien COVID-19. Akun whatsapp Ravio diretas dan ia kemudian diamankan oleh polisi karena menyebarkan provokasi melalui akun whatsapp-nya tersebut. Berdasarkan catatan Amnesty, dari Februari hingga 21 Agustus 2020, setidaknya terdapat 39 kasus dugaan intimidasi dan serangan digital terhadap mereka yang aktif mengkritik kebijakan pemerintah.
VOA sudah berusaha menghubungi Humas Mabes Polri dan pejabat Kementerian Komunikasi dan Informatika terkait kasus peretasan yang dialami sejumlah media siber. Namun, hingga berita ini diturunkan belum ada tanggapan dari mereka.
Sementara itu, Anggota Komisi I DPR RI, Muhammad Farhan meminta pihak-pihak lain tidak langsung menuduh pemerintah sebagai pelaku peretasan. Menurutnya, peretasan ini dapat terjadi karena rendahnya keamanan siber di Indonesia. Salah satu penyebabnya yaitu kurang maksimalnya peran Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) dalam menjaga keamanan siber di Indonesia. Kata dia, beberapa penyebabnya antara lain kurangnya anggaran, sumber daya dan teknologi yang canggih bagi BSSN.
"Setiap tahun kita perjuangkan agar anggarannya bisa menembus, paling tidak di angka Rp2 triliun. Itupun sulit sekali, tapi kita memaklumi bahwa prioritasnya perlu diatur ulang," jelas Farhan kepada VOA, Selasa (25/8/2020).
Farhan menambahkan RUU Perlindungan Data pribadi rencananya akan disahkan pada Oktober tahun ini. Dengan pengesahan ini, maka legitimasi untuk menguatkan kelembagaan BSSN semakin kuat. [sm/ab]