Deru mesin ekskavator membelah kesunyian desa-desa di sekitar Pantai Glagah, Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam seminggu terakhir, bekas rumah warga satu persatu dirobohkan dan pepohonan ditumbangkan. Total akan ada 518 rumah dihancurkan untuk lahan bandara yang secara keseluruhan akan membutuhkan sekitar 600 hektar.
Namun dari ratusan rumah yang penghuninya sudah setuju untuk pergi itu, masih ada 28 rumah yang pemiliknya tidak mau menjual tanahnya kepada pemerintah.
Nur Wijiyanto adalah salah satunya. Baginya, deru mesin ekskavator itu bukan berarti proses pembangunan, tetapi lonceng kehancuran rumah dan masa lalu yang dimilikinya.
“Mereka mengintimidasi masyarakat di sini. Kami merasa tidak ada keadilan lagi. Makanya kami tetap menolak, apapun bentuknya kami tetap menolak. Karena ini ruang hidup. Ini kan mayoritas petani semua. Kami turun temurun petani di sini. Untuk menghidupi anak istri, anak bisa sekolah bisa kuliah itu hasil panen di sini. Apapun yang terjadi kami tetap akan bertahan di sini,” kata Nur Wijiyanto.
Laki-laki yang biasa dipanggil Wiji itu, masih mempertahankan tanah dan rumahnya bersama sekitar seratus warga lain. Puluhan mahasiswa berbagai perguruan tinggi turut serta dalam barisan pertahanan ini. Ketegangan terjadi beberapa hari terakhir di rumah-rumah yang masih berdiri.
Selasa (5/12) lalu, polisi bahkan menangkap paksa belasan mahasiswa itu karena dituduh melakukan provokasi. Beberapa orang terluka.
Pihak Angkasa Pura I selaku badan usaha negara yang mengelola bandara, menolak menyebut bentrokan dalam beberapa hari terakhir sebagai sebuah insiden. Sujiasmono, humas Angkasa Pura I menyatakan kepada VOA, yang dirobohkan adalah rumah kosong yang ditinggal pemiliknya.
“Saya tidak melihat insiden. Ada insiden apa itu. Bagi kita, masyarakat belum bisa pindah, yang masih ada di dalam rumah, kan kita diamkan saja. Kita lakukan secara persuasif. Kalau masih mau bertahan, ya silakan.Tetapi kan nanti mereka akan terganggu sendiri dengan adanya kegiatan proyek. Kalau saya melihatnya tidak ada insiden apa-apa,” kata Sujiasmono.
Angkasa Pura berdalih, seluruh tanah telah dibeli dengan sistem konsinyasi. Dengan mekanisme konsinyasi,perusahaan menitipkan uang ke pengadilan dan pemilik tanah dianggap setuju dengan proses jual beli atas dasar undang-undang yang ada.
Musyawarah Masyarakat
Siti Rakhma Mary, dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), mengecam tindakan aparat keamanan yang sewenang-wenang menangkap aktivis pembela warga dan melakukan tindak kekerasan.
YLBHI yang bersama LBH Yogyakarta melakukan pendampingan kepada warga, menilai tindakan itu adalah pelanggaran hukum dan HAM.
Siti mengatakan sistem konsinyasi yang diterapkan saat ini tidak sah.Walaupun ada dalam hukum perdata, Siti menjelaskan, proses pembebasan tanah berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 harus atas kesepakatan dengan masyarakat yang menjadi korban dan tidak ada keberatan.
“Dan konsinyasi tidak dapat dilakukan sewenang-wenang dengan menitipkan uang di pengadilan ,ketika masyarakat tidak pernah diajak bicara. Itu pelanggaran HAM dan hukum juga,” kata Siti menegaskan.
Proses Bertahun
Siti Rakhma menyatakan, dalam Undang-undang Pengadaan Tanah, memang ada tenggat untuk musyawarah, tetapi hal itu tidak menjadi patokan. Yang menjadi keputusan akhir adalah kesepakatan musyawarah dengan masyarakat, kata Siti.
Dia meminta pemerintah menghentikan proses pembangunan bandara karena sudah terjadi pelanggaran hukum dan HAM. Dalam proses yang menghormati hukum, kata Siti, satu warga saja yang tidak setuju, suara harus tetap didengar.
Proses pembangunan bandara ini memang sudah berjalan setidaknya 15 tahun.
Nur Ahmad Affandi adalah politisi lokal yang menjadi Wakil Ketua DPRD Daerah Istimewa Yogyakarta periode 1999-2004. Dalam catatan Nur Ahmad, diskusi mengenai rencana pembangunan bandara sudah dilakukan pada 2002.
Ada 3 pilihan lokasi sebelum kemudan dipilih Glagah, yang merupakan kawasan pesisir di tepi Samudra Hindia. Dua tahun kemudian, Pemerintah Ceko membantu pembiayaan kajian lokasi bandara baru itu.
Rencana membangun bandara baru didorong perkembangan kebutuhan transportasi udara. Sejak awal 2000, Bandara Adi Sucipto melayani masyarakat Jawa bagian Selatan, mulai dari Trenggalek dan Pacitan di Jawa Timur, Yogyakarta sendiri, hingga Purworejo, Kebumen, Banyumas, dan Magelang di Jawa Tengah.
Bandara lama yang dibangun pada era penjajahan Belanda, tidak mungkin diperluas lagi karena posisinya di kawasan perkotaan. Jadi mau tidak mau, untuk kepentingan bisnis terutama sektor transportasi dan wisata, Yogyakarta memang harus memiliki bandara baru.
Nur Ahmad mengatakan konflik terjadi karena tidak ada kepastian masa depan penghidupan masyarakat di Kulonprogo, yang rata-rata adalah penggarap lahan.
“Setelah ini mereka bekerja apa? Karena sawahnya sudah hilang. Masyarakat harus diajak bicara tentang peluang kerja ke depan. Pemerintah daerah harus menggandeng sektor swasta dan BUMN dalam hal ini,” kata Nur Ahmad yang kini menjadi Wakil Ketua Kadin Indonesia.
Di tengah konflik ini, Angkasa Pura I tetap meneruskan proses pembersihan lahan hingga saat ini. Presiden Joko Widodo sendiri sejak awal meminta proyek ini tidak ditunda-tunda. Dia bahkan memerintahkan tahap pertama bandara harus selesai pada Maret 2019, beberapa bulan sebelum dia mengakhiri tugas sebagai presiden. Alasannya, bandara lama Yogyakarta hanya layak melayani 1,6 juta penumpang setahun. Saat ini, bandara penuh sesak oleh 7,2 juta penumpang setahun.
Ketika melakukan peletakan batu pertama bandara ini akhir Januari lalu, Jokowi bahkan menyitir kisah nenek moyang masyarakat setempat, yang menyatakan bahwa daerah itu nantinya akan menjadi sarang untuk capung besi.
“Tlatah Temon kene bakal dadi susuhe kinjeng wesi (Kawasan Temon sini akan menjadi sarang bagi capung besi). Kinjeng wesi itu apa? Pesawat. Leluhur kita saja sudah tahu bahwa di sini akan ada bandara besar,”kata Jokowi.