Konflik Harimau dan Manusia di Sumatra Mengkhawatirkan

  • Nurhadi Sucahyo

Harimau Sumatra. (Foto: Sumatra Rainforest Institute)

Dalam tiga bulan terakhir, sejumlah insiden terjadi sebagai dampak konflik manusia dan harimau di Sumatra. Masyarakat kini diajak untuk hidup berdampingan, bukan memburu hewan itu.

Pada 3 Januari 2018, seekor harimau menerkam Jumiati, pekerja perkebunan sawit di Desa Tanjung Simpang, Indragiri Hilir, Riau. Dua bulan kemudian, tepatnya pada 10 Maret 2018 harimau itu kembali menyerang warga, bernama Yusri Effendi di Dusun Sinar Danau. Dua serangan itu diduga dilakukan harimau yang sama, yang kemudian diberi nama Bonita.

Tim dari Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau pun bertindak. Sebanyak 12 jebakan dipasang dan bahkan, pada 4 April 2018 lalu \, petugas pemburu dikerahkan . Seorang komunikator satwa asal Kanada, Shakti Wolvers Teegh, tergabung dalam misi ini. Namun, Bonita tak juga ditemukan.

Rasyid Assaf Dongoran, aktivis dari Forum Harimau Kita wilayah Sumatera, memaparkan, harimau adalah satwa penjelajah. Menurutnya, wilayah jelajah harimaucukup luas, dan setidaknya dalam lima tahun terakhir, wilayah jelajah itu telah bersinggungan dengan wilayah manusia, baik pemukiman maupun perkebunan.

“Fenomena hari ini, ganguan terhadap hutan itu semakin lama semakin besar, baik melalui aktivitas ekstraksi terhadap hutan seperti pembukaan lahan untuk kelapa sawit, pembukaan lahan untuk ijin pertambangan mapun kegiatan illegal logging skala lokal. Dari tiga akar utama masalah itu kemudian memicu adanya konflik harimau dan manusia,” Kata Rasyid Dongoran.

Pada awal Maret lalu, seekor harimau dibunuh warga desa di Mandailing Natal, Sumatra Utara. Harimau yang telah mati itu kemudian digantung dan dijadikan tontonan. Sejumlah bagian tubuhnya telah hilang ketika petugas menyelamatkan bangkainya.

Sabtu (14/4), BKSDA Sumatera Barat berhasil menangkap seekor anak Harimau Sumatra menggunakan perangkap. Dua ekor harimau dewasa masih diburu hingga saat ini karena dianggap meresahkan warga di Palupuah, Kabupaten Agam, Sumatra Barat. Sementara di Teluk Meranti, Kabupaten Pelalawan, Riau, dua ekor Harimau Sumatra yang lain membunuh seekor sapi milik warga pada Senin, 9 April lalu.

Rasyid Dongoran dari Forum Harimau Kita membagi konflik manusia dan harimau menjadi tiga kategori, yaitu berat, sedang dan ringan. Konflik dianggap berat,katanya, jika sudah ada korban meninggal baik di pihak manusia maupun harimau.

Sesuai pola aktivitasnya, konflik harimau dan manusia biasanya terjadi pada pagi atau senja hari. Dalam dokumen Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Harimau Sumatra 2007-2017, salah satu yang disepakati adalah menciptakan koridor satwa harimau dan mendorong pemerintah menetapkan kawasan esensial pelestarian harimau. Perkebunan sawit skala besar masuk sebagai kawasan esensial, dengan demikian pengelola kebun sawit atau pertambangan tidak boleh melihat harimau sebagai hama.

“Waktu aktivitas harimau itu di bawah pukul 7 pagi dan di atas pukul 16.00 sore. Kalau mereka masuk kebun sawit, ya biarkan saja. Itu yang disebut harmoni. Karyawan kerja pukul 8 pagi sampai 15 sore. Tidak ada konflik, tapi berbagi waktu. Tidak ada dikotomi wilayah hutan, sawit atau tambang. Pokoknya ini wilayah kita, manusia dapat manfaat begitu juga harimau. Itu harmoni manusia dengan alam,” kata Rasyid menambahkan.

Pakar konservasi satwa liar Universitas Gadjah Mada, Dr. Muhammad Ali Imron, menilai penting adanya edukasi penanganan satwa liar untuk masyarakat dan perusahaan yang beroperasi di kawasan hutan. Tujuannya tentu untuk mencegah konflik manusia dan satwa.

Ali Imron memandang penting pendidikan bagi masyarakat di sekitar hutan, mengenai apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan ketika bertemu satwa liar. Dia menilai, dalam kasus pertemuan kedua pihak di hutan atau perkebunan, manusia kadang justru menunjukkan reaksi keliru, seperti panik dan langsung melarikan diri. Aksi itu sebenarnya memicu harimau melakukan penyerangan.

Pakar konservasi satwa liar dari UGM, Dr. Muhammad Ali Imron. (Foto: Universitas Gadjah Mada)

Lebih jauh Imron mengatakan, rusaknya habitat harimau juga harus memperoleh perhatian. Jika mangsa alaminya sudah habis, tentu saja harimau akan mencari penggantinya.

“Bisa terjadi, harimau yang sakit atau tua mengalami penuruanan kemampuan mencari mangsa. Itu menjadikan dia mencari mangsa yang relatif lebih mudah,” kata Ali Imron“Selain hal itu, juga dikarenakan rusaknya habitat alami harimau akibat alih fungsi lahan. Karenanya sangat penting untuk memperbaiki habitat alami harimau untuk mengurangi konflik dengan manusia. Kalau habitatnya bagus dan mangsa buruannya banyak maka tidak akan menyerang manusia,” kata Ali Imron menambahkan.

Ali Imron dan Rasyid Dongoran sepakat bahwa perusahaan perkebunan di Sumatra khususnya, harus mengambil langkah untuk mengurangi konflik manusia dan harimau. Rasyid menekankan, perlunya moratorium pemberian izin pembukaan lahan untuk perusahaan sawit dan pertambangan. Di Mandailing Natal, kata Rasyid, saat ini ada sejumlah perusahaan yang terus membuka lahan hingga ratusan hektar. Rusaknya hutan itu mendorong harimau keluar dan berkonflik dengan manusia.

Dalam penjelasan atas kasus pembunuhan harimau pada awal Maret lalu, BBKSDA Sumatra Utara menyatakan bahwa Harimau Sumatra yang digantung itu mati akibat ditombak warga dan ditembak oleh anggota Polsek Batang Natal.

Nekropsi atas jasad itu menemukan fakta bahwa Harimau Sumatra itu berjenis kelamin jantan, berumur 2-3 tahun, panjang 248 cm dan tinggi 104 cm. Kulit bagian dahi dan muka telah hilang, kulit dan kuku kedua kaki belakang hilang, kulit bagian ekor hilang, bekas luka tombak dan tembak pada kepala dan ada bekas luka lama pada bagian kepala di bawah telinga, dengan lubang sebanyak 6 buah.

Upaya evakuasi harimau yang terkena perangkap warga. (Foto: Sumatra Rainforest Institute)

Dalam wawancara terpisah, Hermanto Siallagan SH dari Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wilayah Sumatra, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatakan, sejauh ini tidak ada upaya perburuan langsung kepada harimau yang ditemukan. Namun, pihaknya belum lama ini menangkap sejumlah orang yang menjual bagian tubuh harimau melalui internet. Terdakwa sedang menjalani sidang di Sumatra Utara. Sidang perdana digelar 11 April 2018 lalu, dan tindakan ini diancam dengan hukuman penjara maksimal 5 tahun.

Belum ditemukan data, apakah ada pihak yang memanfaatkan konflik manusia dan harimau untuk memetik keuntungan. Namun, Hermanto memastikan, perdagangan bagian tubuh harimau sudah cukup lama ada.

“Kalau perdagangan online memang hasil informasi dari masyarakat, ada akun Facebook yang menawarkan satwa tertentu, lalu kita telusuri. Beberapa kali kita temukan yang menjual kulit harimau, kuku beruang, kuku macan tutul itu yang terakhir kita temukan. Kalau sudah melalui medsos sepertinya pedagang profesional. Karena yang terakhir kita tangkap, dia sudah hampir 50 kali menjual bagian satwa,” kata Hermanto Siallagan.

Hermanto menambahkan, kulit Harimau Sumatra bisa dijual hingga Rp 30 juta di pasar gelap. Para pedagangnya, biasanya menyamar sebagai pedagang barang-barang antik.

International Union for Conservation of Nature, telah memasukkan Harimau Sumatra, ke dalam kategori hewan yang kritis dan terancam punah. Menurut perkiraan hanya ada 400 hingga 500 ekor saja yang kini hidup di alam liar.

Your browser doesn’t support HTML5

Konflik Harimau dan Manusia di Sumatera Mengkhawatirkan