Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), pada Kamis (27/7), memperingatkan bahwa ancaman kesehatan melonjak di saat perang di Sudan semakin bergejolak. Jutaan orang, banyak dari mereka di antaranya sakit dan terluka, mengungsi di dalam Sudan maupun menyeberangi perbatasan ke negara-negara tetangga di mana layanan kesehatan rapuh dan sulit dijangkau.
Perang itu, yang meletus 15 April antara Angkatan Bersenjata Sudan dan kelompok paramiliter Pasukan Pendukung Cepat (RSF), memiliki implikasi regional yang mendalam.
Konflik tersebut telah memaksa sekitar 3,4 juta orang mengungsi, termasuk 2,5 juta di dalam Sudan. Hampir 760.000 orang terpaksa mengungsi ke enam negara tetangga, dengan banyak dari mereka dilaporkan tiba dalam kondisi kesehatan yang buruk, membawa penyakit menular dan penderitaan lainnya.
Kementerian Kesehatan Federal melaporkan setidaknya 1.136 orang tewas dan lebih dari 12.000 terluka sejak konflik dimulai. "Tentu saja, jumlah korban yang sebenarnya lebih tinggi," kata Nima Abid, perwakilan WHO di Sudan.
Dia mengatakan skala krisis kesehatan yang dipicu oleh konflik di Sudan sangat besar. Sistem kesehatan yang rapuh di Sudan, kata Abid, tidak mampu mengatasi berbagai keadaan darurat yang ada karena "dua pertiga rumah sakit di daerah yang terdampak, tidak berfungsi" dan tidak bisa memenuhi kebutuhan kesehatan masyarakat yang sangat besar.
WHO telah memverifikasi 51 serangan terhadap fasilitas kesehatan sejak konflik dimulai, mengakibatkan 10 kematian dan 24 luka-luka dan "memutus akses ke perawatan yang sangat dibutuhkan."
Abid mengatakan bahwa "semua kegiatan WHO terhenti; kegiatan pengendalian vektor terhenti. Saat ini, terjadi wabah besar campak dengan lebih 2.000 kasus dan 30 kematian.
Ia mengaku khawatir kasus malaria, demam berdarah dan demam lembah akan meningkat selama musim hujan saat ini, mengingat "semua penyakit yang ditularkan melalui vektor ini endemik di Sudan" sementara langkah-langkah pengendalian telah terhenti. [ka/lt]