Memperingati hari Kartini, Yayasan Indonesia Kaya menggelar “Tales of Women.” Konser dan monolog tentang perempuan ini hendak menyadarkan masyarakat mengenai realita kehidupan perempuan masa kini.
“Kami bertiga membicarakan dari kisah sehari-hari saja. Umur kami kebetulan sudah menginjak 30 tahunan. Kami bertiga sering mendapat pertanyaan: kapan menikah, sekarang sedang apa, sedang mengejar karirkah?”
Demikian penuturan Karen Laurencia, Kepala Semesta Akademi. Ia sebagai produser pada acara memperingati hari Kartini di Jakarta, yang diprakarsai oleh Yayasan Indonesia kaya, sebuah portal informasi budaya Indonesia.
Ia bersama dua teman lain sering mendengar pertanyaan seperti itu, justru dari sesama perempuan. Bahkan teman-teman yang sudah menikahpun mendapat pertanyaan lain, kapan punya anak? Sepertinya sorotan terhadap perempuan terus bergulir.
Menikah dan mempunyai anak
Tampaknya jasa R.A. Kartini sudah berhasil membuka batasan kaum perempuan atas kesetaraan pendidikan dan berkarir dalam bidangnya masing-masing, namun sebagai perempuan masa kini, masyarakat tetap menanyakan tentang kodrati perempuan yang seharusnya menikah dan mempunyai anak.
Berawal dari itulah, perempuan Indonesia dengan berbagai bakatnya ingin menampilkan sebuah karya, yang isinya untuk menyadarkan masyarakat mengenai realita kehidupan perempuan masa kini.
“Yang benar-benar menjadi kerinduan kami adalah menyemangati perempuan-perempuan lain yang jalan hidupnya tidak seperti yang diinginkan masyarakat,” tambah Karen.
Seorang pianis perempuan lulusan Eastman School of Music, University of Rochester, AS, Edith Widayani yang nanti akan bermain piano dalam konser itu, mendukung apa yang dikatakan Karen, bahwa sebagai perempuan masa kini, seharusnya memiliki pilihan hidupnya baik dalam profesi, sampai pada pilihan untuk berumah tangga dan mempunyai anak.
“Sebenarnya terserah ya, bisa saja kalau kita ingin mengemban pendidikan seperti yang Kartini mulai, atau misalnya menjadi seorang profesional atau menjadi seorang ibu dan membangun keluarga yang baik.”
Konser dan monolog ini akan menuai perspektif yang berbeda dengan penonton yang berbeda usia, dari remaja, dewasa dan perempuan yang usianya lebih dari separuh baya, kata penyanyi soprano dan monolog, Jessica Januar.
“Kalau ditonton remaja, mereka akan melihat ‘Oh kalau sudah besar aku akan menjadi apa ya? seperti ibuku atau berkarir, atau keduanya? Jika ditonton oleh perempuan yang baru lulus kuliah akan berpikir tentang identitas atau jati dirinya, akan menjadi apa. Lalu bagi penonton 50 tahun ke atas, mereka bisa diberitahu bahwa hidup bagi perempuan tidak hanya sekadar menikah dan punya anak lho..,” jelas Jessica.
Hanya perempuan
Sayangnya, dalam Tales of Women tidak menyinggung kaum laki-laki sama sekali, karena memang tujuannya menyadarkan para perempuan tentang pilihan hidupnya. Jessica yang lulus tahun 2015 dari School of Music and Drama di London menambahkan:
“Kami mengangkat tema ini untuk perempuan, tapi tidak mengusung soal laki-laki sama sekali. Jadi bukan monolog yang sangat feminis, tetapi lebih mengedepankan sesama perempuan, bahwa hidup pada era sekarang punya banyak pilihan untuk menjadi apapun,” tukasnya.
Padahal jika kita membaca perjuangan Kartini dulu dalam bidang pendidikan, memang sebagian besar perempuan telah mengalami pendidikan yang setara dengan laki-laki. Namun dalam hal pekerjaan, belum seluruhnya setara, menurut Gadis Arivia, pakar perempuan yang tinggal di AS. Ia mengatakan, hingga kini dalam bidang pekerjaan, masih terdapat kesenjangan antara perempuan dan laki-laki.
“Jumlah perempuan yang lulus perguruan tinggi memang banyak, tapi ada kendala ketika mereka masuk ke dalam dunia kerja. Dalam arti misalnya ketika mereka cuti melahirkan, pekerjaan mereka untuk kembali kerja masih belum dijamin, karena cuti hamil sampai 3-4 bulan. Jadi akses ke perguruan tinggi iya, tapi masih stagnan karena struktur sosialnya belum mendukung perempuan.”
Dalam konser “Tales of Women” nanti, lagu yang dilantunkan juga bermuatan cita-cita perempuan, salah satunya “Seharusnya Wanita”. Dalam lagu itu dikatakan bahwa perempuan harus bisa menjadi apapun, tanpa batasan dari orang lain. [ps/ka]
Your browser doesn’t support HTML5