Konsumsi daging satwa liar di Indonesia diperkirakan mencapai 100 ton per tahun, yang dapat mendorong kepunahan satwa-satwa tersebut.
Organisasi kampanye perlindungan satwa ProFauna Indonesia menyatakan bahwa masyarakat Indonesia mengkonsumsi sekitar 100 ton per tahun daging satwa liar olahan, seperti daging monyet, trenggiling, penyu, ular biawak dan landak.
Ketua ProFauna Indonesia, Rosek Nursahid, mengatakan angka tersebut didasarkan pada hasil investigasi organisasi tersebut di sejumlah daerah di Indonesia. Di Palembang, misalnya, 100 ekor monyet dibunuh setiap bulannya guna diambil dagingnya untuk dikonsumsi, ujar Rosek.
Ia menambahkan bahwa rata-rata 20 ton daging trenggiling dikonsumsi dalam satu tahun di Indonesia. Selain itu, hasil survei ProFauna di beberapa kota seperti Denpasar, Surabaya, Malang, Jakarta, Yogyakarta, Palembang dan Medan, menunjukkan ada 50 restoran yang menjual olahan daging satwa liar. Berdasarkan data ProFauna Indonesia konsumsi daging satwa liar paling tinggi terjadi di Jakarta, Medan, Surabaya dan Batam.
“Ada kecenderungan di beberapa daerah tren mengkonsumsi daging satwa liar semakin tinggi. Ini juga ditunjang dengan adanya acara-acara TV kuliner ekstrem yang menyajikan alternative makanan dengan bahan dasar daging binatang liar,” kata Rosek.
Menurut Rosek, tingginya konsumsi daging satwa liar di Indonesia selama ini juga akibat adanya mitos yang menyesatkan di masyarakat yang menyatakan daging satwa liar memberikan efek kesehatan.
“Misalnya saja khasiat peningkat vitalitas laki-laki. Bahkan otak monyet diyakini bisa menyembuhkan impotensi, yang tentu saja itu sekedar mitos, karena tidak ada bukti ilmiah yang membuktikan bahwa ada khasiat seperti itu,” tegasnya.
Ketua Badan Lingkungan Hidup (BLH) Bali, Nyoman Sujaya, mengakui mitos akan khasiat daging satwa liar telah menjadi kebiasaan di masyarakat dan sulit untuk diubah
“Memang kita perlu ubah pola pikir masyarakat, misalnya dengan konservasi. Mungkin kita perlu buat suatu aturan tentang,” ujarnya.
Ketua ProFauna Indonesia, Rosek Nursahid, mengatakan angka tersebut didasarkan pada hasil investigasi organisasi tersebut di sejumlah daerah di Indonesia. Di Palembang, misalnya, 100 ekor monyet dibunuh setiap bulannya guna diambil dagingnya untuk dikonsumsi, ujar Rosek.
Ia menambahkan bahwa rata-rata 20 ton daging trenggiling dikonsumsi dalam satu tahun di Indonesia. Selain itu, hasil survei ProFauna di beberapa kota seperti Denpasar, Surabaya, Malang, Jakarta, Yogyakarta, Palembang dan Medan, menunjukkan ada 50 restoran yang menjual olahan daging satwa liar. Berdasarkan data ProFauna Indonesia konsumsi daging satwa liar paling tinggi terjadi di Jakarta, Medan, Surabaya dan Batam.
“Ada kecenderungan di beberapa daerah tren mengkonsumsi daging satwa liar semakin tinggi. Ini juga ditunjang dengan adanya acara-acara TV kuliner ekstrem yang menyajikan alternative makanan dengan bahan dasar daging binatang liar,” kata Rosek.
Menurut Rosek, tingginya konsumsi daging satwa liar di Indonesia selama ini juga akibat adanya mitos yang menyesatkan di masyarakat yang menyatakan daging satwa liar memberikan efek kesehatan.
“Misalnya saja khasiat peningkat vitalitas laki-laki. Bahkan otak monyet diyakini bisa menyembuhkan impotensi, yang tentu saja itu sekedar mitos, karena tidak ada bukti ilmiah yang membuktikan bahwa ada khasiat seperti itu,” tegasnya.
Ketua Badan Lingkungan Hidup (BLH) Bali, Nyoman Sujaya, mengakui mitos akan khasiat daging satwa liar telah menjadi kebiasaan di masyarakat dan sulit untuk diubah
“Memang kita perlu ubah pola pikir masyarakat, misalnya dengan konservasi. Mungkin kita perlu buat suatu aturan tentang,” ujarnya.