Kontes Miss America yang baru saja berakhir, yang bertemakan “Merayakan Kebhinekaan Lewat Kompetensi Budaya” kini harus menghadapi isu rasialisme di media sosial.
Untuk pertama kalinya pemenang Miss America diraih oleh seorang keturunan India Minggu malam. Tetapi pemilihan dirinya memicu beberapa komentar bernada rasis di Twitter.
Ironis bahwa peserta Miss America yang bersaing dalam kontes bertemakan “Merayakan Kebhinekaan Lewat Kompetensi Budaya” kini harus menghadapi rasialisme.
Nina Davuluri adalah perempuan Amerika keturunan India pertama yang berhak memakai mahkota itu. Ia lahir di New York, namun berbagai sebutan buruk muncul di Twitter, mulai dari al-Qaida sampai ke bukan warga Amerika.
Ketika ditanya soal kontroversi ini, Miss America yang baru mengatakan, ia tidak akan terbawa emosi dan ia selalu menganggap dirinya, “sebagai orang Amerika.”
Tweet di twitter memicu sebuah perdebatan tentang rasialisme dan sikap nasionalistik berlebihan di Amerika dan juga di India.
Sebuah acara talk show televisi India, NDTV misalnya mengatakan, "Jelas bahwa ada sebagian besar masyarakat di negara itu yang merasa ia mewakili sesuatu yang baik dan kosmopolitan tentang Amerika. Dalam dunia media sosial akan ada ribuan orang yang kini punya hak mengungkapkan pendapat dan sebagian opini itu bersifat rasis, seksis dan tidak benar. Tetapi karena mereka mampu mengudarakannya, kita mendengarnya. Tetapi kalau kita menyama ratakan mereka semua dan berpendapat bahwa 260 juta orang Amerika adalah rasis, itu adalah hal yang mustahil."
Nina Davuluri usia 24 tahun ingin menjadi seorang dokter. Ia menerima berbagai penghargaan akedemis sebelum lulus dari Universitas Michigan.
Aswin Punathambeker memberi kuliah identitas imigran dan media di universitas almamater Davuluri. Ia juga berasal dari India. Dalam wawancara lewat Skype ia mengatakan terdorong oleh pesan-pesan di tweeter yang mengecam dan membungkam pesan berprasangka sebelumnya.
"Mereka mengatakan hal ini negatif, ini mengabaikan sejarah panjang migrasi warga Asia Selatan ke Amerika, dan mengabaikan bahwa Amerika adalah negara yang beragam dengan bermacam-macam budaya," kata Punathambeker.
Kembali NDTV, seorang panelis bertanya pada penonton India “jika anda mempunyai seorang dengan seluruh kecantikan ideal Amerika berdiri di sini…
"Apakah anda akan menyebutnya Miss India?, saya tidak yakin," kata NDTV.
Professor Punathambeker mengatakan nasionalisme bisa baik tapi juga bisa buruk.
Ia menambahkan, "Kita sering melihat nasionalisme cenderung berakhir menjadi sikap rasis pada masa krisis. 11 September contohnya dalam sejarah baru-baru ini. Tapi nasionalisme juga menghasilkan sesuatu yang positif dan Amerika punya kelebihan dalam sejarahnya yang inklusif. Misalnya kebhinekaan. Jadi juga memungkinkan untuk melihat sisi nasionalisme tersebut."
Perbincangan berlanjut di internet dan acara bincang-bincang di televisi, setiap orang tampak sepakat atas apa yang dianggap “cantik” seringkali tergantung di mana kita tinggal. Tapi dunia menjadi semakin kecil dan pengertian cantik sedang mengalami perubahan.
Ironis bahwa peserta Miss America yang bersaing dalam kontes bertemakan “Merayakan Kebhinekaan Lewat Kompetensi Budaya” kini harus menghadapi rasialisme.
Nina Davuluri adalah perempuan Amerika keturunan India pertama yang berhak memakai mahkota itu. Ia lahir di New York, namun berbagai sebutan buruk muncul di Twitter, mulai dari al-Qaida sampai ke bukan warga Amerika.
Ketika ditanya soal kontroversi ini, Miss America yang baru mengatakan, ia tidak akan terbawa emosi dan ia selalu menganggap dirinya, “sebagai orang Amerika.”
Tweet di twitter memicu sebuah perdebatan tentang rasialisme dan sikap nasionalistik berlebihan di Amerika dan juga di India.
Sebuah acara talk show televisi India, NDTV misalnya mengatakan, "Jelas bahwa ada sebagian besar masyarakat di negara itu yang merasa ia mewakili sesuatu yang baik dan kosmopolitan tentang Amerika. Dalam dunia media sosial akan ada ribuan orang yang kini punya hak mengungkapkan pendapat dan sebagian opini itu bersifat rasis, seksis dan tidak benar. Tetapi karena mereka mampu mengudarakannya, kita mendengarnya. Tetapi kalau kita menyama ratakan mereka semua dan berpendapat bahwa 260 juta orang Amerika adalah rasis, itu adalah hal yang mustahil."
Nina Davuluri usia 24 tahun ingin menjadi seorang dokter. Ia menerima berbagai penghargaan akedemis sebelum lulus dari Universitas Michigan.
Aswin Punathambeker memberi kuliah identitas imigran dan media di universitas almamater Davuluri. Ia juga berasal dari India. Dalam wawancara lewat Skype ia mengatakan terdorong oleh pesan-pesan di tweeter yang mengecam dan membungkam pesan berprasangka sebelumnya.
"Mereka mengatakan hal ini negatif, ini mengabaikan sejarah panjang migrasi warga Asia Selatan ke Amerika, dan mengabaikan bahwa Amerika adalah negara yang beragam dengan bermacam-macam budaya," kata Punathambeker.
Kembali NDTV, seorang panelis bertanya pada penonton India “jika anda mempunyai seorang dengan seluruh kecantikan ideal Amerika berdiri di sini…
"Apakah anda akan menyebutnya Miss India?, saya tidak yakin," kata NDTV.
Professor Punathambeker mengatakan nasionalisme bisa baik tapi juga bisa buruk.
Ia menambahkan, "Kita sering melihat nasionalisme cenderung berakhir menjadi sikap rasis pada masa krisis. 11 September contohnya dalam sejarah baru-baru ini. Tapi nasionalisme juga menghasilkan sesuatu yang positif dan Amerika punya kelebihan dalam sejarahnya yang inklusif. Misalnya kebhinekaan. Jadi juga memungkinkan untuk melihat sisi nasionalisme tersebut."
Perbincangan berlanjut di internet dan acara bincang-bincang di televisi, setiap orang tampak sepakat atas apa yang dianggap “cantik” seringkali tergantung di mana kita tinggal. Tapi dunia menjadi semakin kecil dan pengertian cantik sedang mengalami perubahan.