KontraS: Pemerintah Harus Bentuk Komisi Kepresidenan

  • Fathiyah Wardah

Menko Polhukam Wiranto di kantor kementerian Polhukam, Kamis 9 Maret 2017. (Foto: dok).

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mendesak pemerintah membentuk komisi kepresidenan untuk menangani pelanggaran hak asasi manusia berat di Indonesia.

Kepala Divisi Pemantauan Impunitas KontraS, Feri Kusuma kepada VOA mengatakan komisi kepresidenan ini sangat penting dibentuk oleh pemerintah karena selama ini kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia berat masa lalu tidak kunjung ada penyelesaiannya.

Komisi kepresidenan ini, kata Feri, dapat menjadi akselerator untuk mempercepat proses penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang saat ini mandek di Komnas HAM dan Kejaksaan Agung.

Menurutnya pembentukan komisi kepresidenan ini bisa mempercepat dan mempermudah kerja presiden dalam penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM. Komisi ini, tambahnya, bertugas melakukan kajian atas temuan-temuan yang sudah dilakukan oleh tim pencari fakta gabungan atau dari Komnas HAM.

Setelah itu, lanjutnya, tim ini akan menentukan, di antara kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang terjadi, mana peristiwa yang bisa diselesaikan melalui mekanisme hukum atau yudisial dan kasus mana yang bisa diselesaikan lewat mekanisme non-yudisial.

Komisi tersebut, tambah Feri, untuk mempermudah pengambilan kebijakan oleh presiden. Feri mengatakan tim ini bersifat ad hoc dan bekerja cepat dan langsung merekomendasikan langkah-langkah yang bisa diambil oleh presiden.

Komisi ini, kata Feri, diharapkan diisi oleh orang-orang yang berintegritas dan bukan dari unsur partai politik. Komisi itu tambahnya langsung berada di bawah tanggung jawab presiden dan bukan menteri.

"Dinamika ketidakpastian terhadap penyelesaian kasus ini, komisi kepresidenan ini harus menjadi lembaga yang bisa memecah kondisi kebuntuan ini dan mencari solusi bagaimana hak korban ini bisa dipenuhi," kata Feri.

Feri menambahkan pembentukan komisi kepresidenan itu bertujuan untuk mempercepat pemenuhan hak para korban pelanggaran HAM.

Dalam kasus penyelesaian kasus pelanggaran HAM ini lanjut Feri para korban menginginkan adanya pengungkapan kebenaran terlebih dahulu. Setelah proses itu dilakukan, tambahnya, baru dapat dilakukan rekonsiliasi antara korban atau keluarga korban dengan pemerintah.

"Komisi kepresidenan bisa memberikan rumusan itu, seperti apa langkah yang harus dilakukan presiden, kasus mana yang harus dibawa ke pengadilan HAM," lanjutnya.

Menurut Feri, komisi kepresiden yang digagas oleh KontraS tersebut sama halnya dengan komisi ad hoc yang dikemukakan oleh presiden Jokowi dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019.

Feri menilai sampai saat ini belum ada satu tindakan maupun komitmen dari Jokowi untuk segera membuat komite tersebut.

Padahal, lanjutnya, Jokowi merupakan satu-satunya presiden yang secara eksplisit menjanjikan penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu, yang telah disampaikan dalam nawacitanya dan dalam RPJMN.

Sekretaris Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Letnan Jenderal Yoedhi Swastanto enggan menanggapi pembentukan komisi baru yang diusulkan oleh KontraS. Menurutnya permasalahan HAM berat sudah cukup ditangani dua tim terpadu di bawah Kementerian Koordinator Polhukam.

Your browser doesn’t support HTML5

KontraS: Pemerintah Harus Bentuk Komisi Kepresidenan

Sebelumnya Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto menyatakan pemerintah berkomitmen menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu tetapi menemukan sejumlah kendala.

"Terkait masalah HAM, betapa sulitnya kita untuk menyelesaikan tuduhan pelanggaran HAM masa lalu karena sudah begitu panjangnya masa yang dilalui maka para aparat penegak hukum baik Komnas HAM, kepolisian dan kejaksaan, untuk menemukan saksi dan bukti sangat sulit," jelas Wiranto.

Setidaknya ada tujuh kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang belum diselesaikan oleh pemerintah. Ketujuh kasus pelanggaran HAM tersebut yaitu penghilangan dan penyiksaan orang pada 1965-1966, penembakan misterius pada 1982-1985, peristiwa Talangsari Lampung pada 1989, kerusuhan dan penghilangan orang secara paksa 1997-1998, Tragedi Trisakti 1998, Tragedi Semanggi dan pembunuhan di Wamena Wasior, Papua. [fw/lt]