Kontra Radikalisasi dan Deradikalisasi Perlu Menjangkau Kelompok Rentan

Polisi antiteror dalam latihan kontraterorisme di pelabuhan Benoa, Bali, 8 Maret 2018. (Foto: AFP)

Untuk menetralisasi paham-paham radikal perlu dilakukan deradikalisasi dan kontra radikalisasi. Namun, pemerintah dinilai harus membuat program yang lebih menjangkau kelompok-kelompok yang telah terpapar radikalisme dan anak-anak muda yang rentan menerima paham radikal.

Pengamat intelijen dan terorisme, Stanislaus Riyanta, mengatakan program kontra radikalisasi yang dijalankan pemerintah perlu diperluas dan diperkuat lagi, serta secara aktif melibatkan masyarakat.

Hal itu dikatakannya kepada VOA untuk menanggapi pernyataan dari Khairul Ghazali, bekas narapidana kasus terorisme di Medan pada 2010. Khairul mengatakan program kontra radikalisasi belum menyasar kelompok-kelompok yang telah terpapar radikalisme.

BACA JUGA: Merangkul Kembali Mereka ke Pangkuan NKRI

Menurut Stanislaus, kontra radikalisasi adalah membangun pertahanan diri agar tidak mudah terpapar ancaman paham radikal.

"Kalau kontra radikalisasi adalah membangun benteng agar lebih tahan jika ada ancaman paham radikal dia tidak bisa masuk. Itu membentengi diri. Program kontra radikalisasi belum masuk ke wilayah kalangan bawah atau masyarakat mungkin ada benarnya,” kata Stanislaus saat dihubungi VOA, Selasa (26/11).

Menkopolhukam, Mahfud MD (tengah batik cokelat) saat hadir di seminar nasional deradikalisasi di Universitas Islam Negeri Sumatera Utara (UINSU) Kota Medan, Selasa (26/11).

Dia mengakui paham radikalisme saat ini makin mudah masuk di kalangan generasi muda.

Program deradikalisasi dan kontra radikalisasi sangat penting dilakukan pemerintah untuk menetralisasi paham-paham radikal. Ada banyak cara pendekatan. Misalnya, pendekatan secara hukum, psikologi, agama, ekonomi, pendidikan, kemanusiaan dan sosial-budaya.

Program deradikalisasi lebih efektif jika dilakukan oleh orang-orang yang dipercayai oleh kelompok yang telah terpapar radikalisme. Seperti guru, keluarga, atau ustaz.

"Kalau dengan pemerintah mereka sudah membuat tembok dan tidak percaya,” tutur Stanislaus.

Selain itu, Stanislaus mengatakan harus dibedakan antara program deradikalisasi dan kontra radikalisasi.

BACA JUGA: Menjaga Jarak Perempuan dari Radikalisme

“Deradikalisasi itu mengubah paham orang yang radikal menjadi tidak, seperti yang dilakukan terhadap para narapidana terorisme. Sangat sulit mengubah ideologi itu, tidak mudah apalagi jika dilakukan pemerintah karena mereka sudah menganggap pemerintah sebagai musuh," jelas Stanislaus.

Lanjut Stanislaus, pemerintah harus mewaspadai para mantan narapidana terorisme yang saat ini mengalami kesulitan ekonomi. Karena mereka menjadi kelompok rentan. Kondisi tersebut bisa memicu mereka kembali kepada kelompoknya atau yang menerimanya. Pemberdayaan ekonomi bisa menjadi salah satu pendekatan deradikalisasi.

"Ini adalah satu pendekatan dengan memberdayakan keluarganya sehingga diharapkan orang yang dideradikalisasi hatinya luluh kemudian dia mau meninggalkan paham radikalnya. Tapi ini menjadi problem serius karena semakin dia tidak berdaya semakin mudah kembali ke kelompoknya," ucapnya.

BACA JUGA: Tanwir II Aisyiah Bahas Cadar, Toleransi, Hingga Pendidikan

Pemerintah juga perlu memperluas penyebaran program kontra radikaliasi karena keberadaan media sosial dan internet mempermudah penyebaran paham radikal di kalangan anak muda. Anak-anak muda yang sedang mencari jati diri akan dengan mudah menemukan paham-paham radikal di dunia maya. Apalagi, mereka lebih banyak menghabiskan waktu berselancar di internet.

"Kemudian menjadi radikal, memang di usia rentan perlu dibekali dengan kontra radikalisasi agar dia bisa lebih tahan dan tidak masuk ke paham radikal," ungkapnya.

Sebelumnya, bekas narapidana kasus terorisme yang pernah ditangkap oleh Densus 88 pada 2010, Khairul Ghazali mengatakan upaya deradikalisasi atau kontra radikalisasi yang dilakukan pemerintah belum maksimal. Pasalnya, kata Ghazali, dialog-dialog soal antiterorisme lebih banyak menyasar kelompok yang sudah mapan dan mengedepankan nasionalisme. Seharusnya, imbuhnya, disampaikan kepada kelompok-kelompok yang sudah terpapar.

BACA JUGA: Deradikalisasi dan Tabir Masa Lalu Para Kombatan

Bekas narapidana kasus terorisme juga perlu diberdayakan untuk berperan sebagai duta perdamaian.

"Mereka [harus] diberdayakan. Kalau perlu diberi kantor, seperti unit usaha dan mereka menjadi garda terdepan sosialisasi bahaya radikalisme. Jadi mereka juga disibukan agar tidak ada peluang untuk kembali lagi,” ucap Ghazali.

"Suara mereka untuk pencegahan radikalisme itu akan lebih berkesan dari pada orang yang tidak pernah terlibat sama sekali. Mereka bisa menceritakan pengalaman mereka langsung selama terlibat daripada seorang pengamat, dosen, ustaz, termasuk polisi yang bercerita soal itu," tambahnya.

Menko Polhukam Mahfud MD saat tanya jawab dengan wartawan di Jakarta, Selasa, 5 November 2019. (Foto: VOA/Sasmito)

Sementara itu, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD usai menghadiri seminar nasional deradikalisasi di Universitas Islam Negeri Sumatera Utara (UINSU), mengatakan pemerintah telah memberdayakan dan melibatkan bekas narapidana kasus terorisme dalam deradikalisasi.

"Misalnya Ali Imron (Bom Bali II) selalu disuruh pidato bahwa radikalisme bahaya karena saya (dia) adalah pelakunya. Lalu, ada Ali Fauzi (adik kandung Amrozi dan Ali Ghufron) juga dilibatkan oleh polisi untuk berceramah sendiri bahwa terorisme itu bahaya dan tidak menguntungkan siapa pun. Jadi dibina kemudian yang sudah sadar diminta untuk menyadarkan yang lain," kata Mahfud di Medan, Selasa (26/11). [aa/ft]