Enam ratus empat puluh satu peristiwa kekerasan sepanjang Juli 2023 hingga Juni 2024 melibatkan polisi, demikian petikan laporan evaluasi kinerja Kepolisian RI yang dirilis Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) tepat pada peringatan Hari Bhayangkara 1 Juli.
Koordinator KontraS Dimas Bagus Arya Saputra dalam jumpa pers di kantornya mengatakan berbagai peristiwa kekerasan, penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran HAM nampak tidak pernah tuntas dan selalu berulang dilakukan institusi kepolisian.
Your browser doesn’t support HTML5
Dari 641 peristiwa kekerasan yang melibatkan polisi itu, 754 orang menderita luka-luka, sementara 38 lainnya meregang nyawa. Sepanjang periode itu pula, KontraS mendokumentasikan 35 peristiwa pembunuhan di luar hukum yang menewaskan 37 orang.
Jenis tindakan kekerasan yang dilakukan Polri itu meliputi penembakan, penganiayaan, penyiksaan, penangkapan sewenang-wenang, pembubaran paksa, intimidasi, kriminalisasi, pelarangan, kekerasan seksual, dan tindakan tidak manusiawi.
Dalam periode kajian yang sama, KontraS juga mencatat terjadinya 15 peristiwa salah tangkap, dengan setidaknya 23 korban, termasuk sembilan orang cedera.
Secara rinci KontraS melaporkan bahwa setahun terakhir ini telah terjadi 75 peristiwa pelanggaran kebebasan sipil yang meliputi kriminalisasi (17 peristiwa), pelarangan (9), intimidasi (20), pembubaran paksa (36), penangkapan sewenang-wenang (24), penganiayaan (12), dan penembakan (4).
Di luar angka itu masih ada 69 peristiwa keterlibatan polisi dalam pidana narkoba, di mana 28 polisi terbukti menjadi pengguna, 17 polisi menjadi pengedar dan 16 polisi lainnya memiliki atau menyimpan narkoba.
"Kami juga masih melihat adanya ada satu celah ketiadaan hukuman yang setimpal kepada anggota-anggota kepolisian yang terbukti melakukan pelanggaran, baik itu pelanggaran hukum, pelanggaran HAM, maupun pelanggaran prosedural. Dalam 26 tahun terakhir, Kami melihat masih belum ada satu mekanisme untuk menghadirkan efek jera," katanya.
Metode
Metode pengumpulan data untuk bahan penulisan laporan KontraS ini dilakukan melalui media massa, advokasi langsung oleh KontraS maupun jaringan KontraS, lewat laporan berbagai organisasi masyarakkat sipil, dan melalui melalui diskusi publik. Setelah data-data ini terkumpul, KontraS melakukan verifikasi dengan mencocokkan basis data dengan informasi yang didapatkan dari lembaga negara, terutama Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan tentunya Polri, sebagai basis acuan verifikasi data.
Komnas HAM juga telah menempatkan Polri sebagai institusi terlapor yang dominan dalam hal kekerasan tahun ini.
Dimas mengatakan KontraS juga melakukan verifikasi dan validasi data dari sejumlah norma hukum di Indonesia, misalnya Undang-undang (UU) Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Sipil dan Politik.
Pengakuan Saksi
Dalam jumpa pers hari Senin (1/7), hadir pula Rusin, saksi yang juga ayah Muhammad Fikri, korban salah tangkap karena dituduh sebagai pelaku begal oleh Polsek Tambelang dan Polres Bekasi pada tahun 2021. Dia mengungkapkan bagaimana putranya menjadi korban kekerasan polisi selama dalam penahanan.
"(Anak saya mendapat) kekerasan fisik, kekerasan verbal, sampai disundut, ditendang, dilakukan oleh pihak kepolisian yang nggak punya rasa perikemanusiaan. Sampai-sampai masih didalam tahanan pun, masih dipukulin sama penyidiknya," ujarnya.
Ia menyesalkan karena baru diizinkan menjenguk putranya di tahanan setelah satu minggu, dan mendapati luka-luka siksaan di bagian wajah Fikri.
Pengamat: Laporan KontraS Tunjukkan Tiga Pelanggaran Konvensi Internasional
Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Bina Nusantara, Ahmad Sofyan, menilai dari laporan KontraS itu ada tiga bentuk pelanggaran hukum yang dilakukan oleh polisi yang jelas-jelas bertentangan dengan konvensi internasional, yakni konvensi anti penyiksaan, dan konvensi hak-hak sipil dan kebebasan politik.
Selain itu ada pula pelanggaran hukum karena bertentangan dengan hukum pidana materiil, seperti bertentangan dengan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), UU Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, UU Narkotika, dan dengan UU Pertambangan.
"Banyak kasus yang di tingkat penyidikan, yang jelas-jelas melanggar KUHAP, tetapi pihak pengadilan dapat tekanan luar biasa dari kepolisian atau dari oknum kepolisian, bagaiman perbuatan-perbuatan itu legal dan benar," tuturnya.
Kadivhumas Polri Belum Tanggapi Laporan KontraS
Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri Irjen Sandi Nugroho belum bisa dihubungi untuk dimintai tanggapan terkait laporan KontraS itu.
Namun dalam upacara peringatan Hari Bhayangkara, Kepala Polri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengatakan Polri adalah institusi yang tidak antikritik. Dia juga minta maaf jika dalam pelaksanaan tugas polisi masih banyak kekurangan.
Listyo Sigit Prabowo kembali menggarisbawahi komitmen Polri untuk membuka ruang kritik, saran, dan aspirasi demi evaluasi dan perbaikan organisasi sehingga dapat terus melakukan perubahan demi mewujudkan Polri yang dicintai rakyat. [fw/em]