KontraS Kembali Kritisi Kekerasan Aparat terhadap Demonstran UU Cipta Kerja

  • Petrus Riski

Seorang polisi menembakkan gas air mata saat bentrok dengan para mahasiswa yang berunjuk rasa di Surabaya, Jawa Timur, 8 Oktober 2020. (Foto: AP)

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Surabaya mencatat sejumlah bentuk kekerasan yang dilakukan aparat terhadap para peserta aksi unjuk rasa menolak UU Cipta Kerja, yang terdiri dari dari kalangan buruh, mahasiswa, pelajar, maupun jurnalis.

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Surabaya menyesalkan terjadinya kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian, terhadap peserta aksi unjuk rasa penolakan pengesahan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja di Surabaya, pada 8 Oktober lalu.

BACA JUGA: Komunitas Pers Pertimbangkan Gugat Presiden Terkait Kekerasan Terhadap Jurnalis

Koordinator KontraS Surabaya, Rahmat Faisal, mengatakan telah terjadi penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang lewat sejumlah kekerasan, penangkapan, teror, dan intimidasi yang dilakukan aparat kepolisian terhadap massa yang berunjuk rasa. Polisi menangkap lebih dari 600 orang untuk dimintai keterangan, meskipun akhirnya dibebaskan kembali. Empat belas orang ditetapkan sebagai tersangka, di mana sebelas di antaranya pelajar.

Fatkhul Khoir dari KontraS Surabaya menunjukkan daftar pengunjuk rasa RUU Cipta Kerja yang diamankan polisi, di Surabaya, Jawa Timur, Kamis, 15 Oktober 2020. (Foto: Petrus Riski/VOA)

Rahmat mengatakan pihaknya saat ini sedang melakukan pendampingan terhadap tiga tersangka anak yang menyerahkan kuasa hukumnya kepada KontraS.

“KontraS sedang mengusahakan soal diversi. Mengusahakan soal pembebasan tersangka anak, mengingat mereka harus bersekolah dan mereka masih mengalami trauma, mengalami luka-luka akibat pemukulan saat penangkapan,” kata Rahmat Faisal.

Tak hanya para pengunjuk rasa, wartawan yang sedang meliput juga sempat menjadi korban kekerasan aparat. Sedikitnya ada tujuh laporan upaya perampasan alat dan penghapusan dokumen, serta intimidasi yang dialami jurnalis.

BACA JUGA: Tiga Jurnalis Dianiaya, Sejumlah Organisasi Wartawan Desak Proses Hukum

Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya, Miftah Faridl, mengatakan kekerasan dan intimidasi yang dialami jurnalis ini, tampak dilakukan secara sadar atau sengaja, terstruktur, masif, dan dilakukan berulang. Pasalnya, polisi tahu persis identitas mereka.

Salah satu jurnalis menggunakan jaket pers yang ditahan di Polda Metro Jaya saat meliput aksi tolak UU Cipta Kerja di Jakarta pada Kamis, 8 Oktober 2020. (Foto:Merahputihdotcom)

Menurut Miftah, kekerasan terhadap wartawan yang meliput demo terjadi karena para jurnalis merekam banyak kekerasan yang dilakukan polisi terhadap para pedemo.

“Mereka berusaha menghilangkan barang bukti itu," ujar Miftah.

"Kenapa ini terus berulang, ini pertanyaan yang cukup sederhana sebenarnya untuk dijawab, karena adanya praktik impunitas, karena adanya praktik pengampunan, atau adanya praktik pengabaian yang dilakukan oleh negara, terhadap aksi-aksi kekerasan yang dilakukan terhadap jurnalis,” tukas Miftah Faridl.

AJI Surabaya mendesak Dewan Pers ikut bertanggung jawab atas pembiaran dan terus berlangsungnya aksi kekerasan terhadap jurnalis. Dewan Pers diminta bersikap tegas dengan melayangkan protes terhadap Kepolisian maupun Presiden. Selain itu, AJI Surabaya juga membuat surat terbuka kepada publik, agar siapa saja termasuk polisi rajin belajar dan membaca, sehingga memahami tugas dan fungsi pers yang dilindungi oleh aturan hukum.

Your browser doesn’t support HTML5

KontraS Kembali Kritisi Kekerasan Aparat terhadap Demonstran UU Cipta Kerja

Sementara pengajar hukum dari Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Herlambang Perdana Wiratraman, menyebut berulangnya kekerasan oleh polisi dalam menangani aksi unjuk rasa, memperlihatkan ketidakprofesionalan polisi dalam menjalankan tugasnya. Padahal aksi unjuk rasa sebagai bentuk dari kebebasan berekspresi di negara demokrasi ini dilindungi oleh undang-undang.

Herlambang mendesak Presiden Joko Widodo untuk mengambil langkah konkret dalam menyelamatkan konstitusi, yang semakin banyak dilanggar oleh aparat penegak hukum itu sendiri. Pembiaran yang dilakukan, akan semakin menguatkan lahirnya otoritarianisme baru di Indonesia.

BACA JUGA: Koalisi Masyarakat Sipil Kecam Tindakan Represif Polisi terhadap Demonstran

“Sekarang kalau pemimpin negara, Presiden bicara, kemudian itu tidak diikuti, maka sebenarnya kita sedang masuk fase barbarianism politic, politik barbar yang tidak pernah jelas ujungnya,” ujar Herlambang.

“Jadi, saya khawatir kalau ucapan atau komitmen politik dari Presiden itu, satu, tidak keluar, dua, kalau misalnya keluar tidak diikuti, maka sebenarnya kita sudah dalam fase menguatnya otoritarianisme di tanah air,” imbuhnya. [pr/em/ft]