Dari 14 November hingga 16 November 2023, tiga wilayah di provinsi Aceh, yakni Kabupaten Pidie, Aceh Utara, dan Bireuen, kedatangan sejumlah pengungsi Rohingya. Jumlah pengungsi Rohingya yang tiba di tiga wilayah itu diperkirakan mencapai 500 orang. Namun, kedatangan pengungsi Rohingya kali ini mendapat penolakan di Kabupaten Bireuen.
Menurut salah satu organisasi masyarakat sipil pemerhati isu pengungsi, yakni Komisi Untuk Orang Hilang Dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh, penolakan berlabuhnya kapal yang ditumpangi etnis Rohingya terjadi di Desa Pulo Pineung Meunasah Dua, Kecamatan Jangka, Kabupaten Bireuen, pada Kamis (16/11).
Koordinator KontraS Aceh, Azharul Husna, mengatakan hingga Sabtu pagi (18/11) kapal yang ditumpangi kurang lebih 240 pengungsi itu masih berada di perairan Aceh.
“Saat ini kapal masih terlihat di perairan Aceh. Kemarin Babinsa bersama aparat desa berjaga-jaga di bibir pantai agar pengungsi Rohingya tidak mendarat,” katanya kepada VOA.
BACA JUGA: 2 Kali Ditolak Warga Aceh, Lebih 240 Pengungsi Rohingya Terkatung-katung di LautHusna menjelaskan kapal yang ditumpangi pengungsi Rohingya itu sempat berlabuh dan mendarat di Desa Pulo Pineung Meunasah Dua. Namun, mereka diminta untuk kembali berlayar, padahal kondisi pengungsi Rohingya yang sebagian besar terdiri dari anak-anak dan perempuan itu dalam kondisi memprihatinkan.
“Warga sekitar memutuskan menolong untuk memberikan makanan ke kapal yang berada tak jauh dari daratan. Ironisnya, kapal tetap diminta pergi,” jelas Husna.
Kemudian, kapal pengungsi Rohingya tersebut mencoba mencari daratan lain di wilayah Aceh Utara untuk berlabuh. Namun lagi-lagi kapal itu diminta untuk pergi. Husna pun menyayangkan penolakan untuk berlabuh terhadap kapal yang ditumpangi pengungsi Rohingya tersebut.
“Sebenarnya kalau mengikut pada peraturan internasional maupun yang tertera di Perpres Nomor 125 Tahun 2016 menyebutkan kalau ditemukan pengungsi itu otoritas setempat memang harus segera melakukan pertolongan. Seharusnya ini tidak perlu terjadi,” ujarnya.
Menurut Husna penolakan terhadap etnis Rohingya yang hendak berlabuh tidak akan terjadi apabila Indonesia memiliki peraturan yang komprehensif terkait penanganan pengungsi.
“Indonesia bisa meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951. Penolakan ini mungkin tidak akan terjadi karena warga merasa cukup aman untuk menerima pengungsi. Jadi kesalahan itu tidak diberikan kepada masyarakat yang menolak karena mereka awam dan penuh kekhawatiran. Tanggung jawab ini seharusnya diambil oleh pemerintah sepenuhnya,” ucapnya.
BACA JUGA: Membuka Kesempatan "Bekerja" bagi Ribuan Pengungsi di IndonesiaSementara pengungsi Rohingya yang tiba pada 14-15 November telah ditempatkan sementara di kamp penampungan Mina Raya, Pidie.
Indonesia Tak Berkewajiban Tampung Pengungsi
Juru bicara Kementerian Luar Negeri RI, Lalu Muhammad Iqbal, mengatakan Indonesia bukan pihak pada Konvensi Pengungsi 1951. Atas hal itu, Indonesia tidak memiliki kewajiban dan kapasitas untuk menampung apalagi untuk memberikan solusi permanen bagi para pengungsi tersebut.
“Penampungan yang selama ini diberikan semata-mata karena alasan kemanusiaan. Ironisnya banyak negara pihak pada konvensi justru menutup pintu dan bahkan menerapkan kebijakan push back terhadap para pengungsi itu,” demikian petikan keterangan tertulisnya.
Menurut Iqbal, selama ini kebaikan Indonesia memberikan penampungan sementara justru banyak dimanfaatkan oleh jaringan penyelundup manusia yang mencari keuntungan finansial dari para pengungsi.
“Tanpa peduli risiko tinggi yang dihadapi oleh para pengungsi, khususnya kelompok rentan seperti perempuan dan anak-anak. Bahkan banyak di antara mereka terindentifikasi korban tindak pidana perdagangan orang,” ucapnya.
Warga minta pengungsi kembali berlayar
Sebelumnya, Polda Aceh membenarkan adanya penolakan dari warga terhadap pengungsi Rohingya yang akan berlabuh di Bireuen.
BACA JUGA: KontraS Aceh Desak Pemerintah Bentuk Satgas PPLN Terkait Kedatangan Pengungsi RohingyaKabid Humas Polda Aceh, Kombes Joko Krisdiyanto, mengatakan warga yang mengetahui kedatangan etnis Rohingya itu berbondong-bondong ke pesisir pantai untuk menolak kehadiran mereka.
"Warga setempat menolak dan menyuruh etnis Rohingya itu naik lagi ke kapal. Salah satu alasan penolakan yang berkembang karena etnis Rohingya yang pernah terdampar sebelumnya berperilaku kurang baik dan tidak patuh pada norma-norma masyarakat setempat," ujar Joko.
Joko menjelaskan warga setempat bersedia memberikan bantuan makanan dan minuman seadanya, termasuk bahan bakar minyak, serta menyediakan perahu untuk menarik kapal yang ditumpangi etnis Rohingya kembali ke laut.
Namun, ada lima orang etnis Rohingya yang tinggal di lokasi karena dalam kondisi lemah dan membutuhkan perawatan medis. Kelimanya sudah ditangani oleh pihak Komisioner Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Pengungsi (United Nations Refugee Agency/UNHCR) dan sementara waktu diungsikan ke Gedung SKB Cot Gapu, Bireuen.
“Kami akan terus berkoordinasi dengan instansi terkait untuk dapat bekerja sama dalam penanganan Rohingya. Ia juga mengimbau agar warga setempat tidak bertindak anarkis dan tetap memperlakukan mereka dengan baik,” tandas Joko.[aa/em]