Manuscript Writing Café, atau kafe penulisan naskah, baru dibuka bulan April di Tokyo. Tempatnya bersih, terang dan memiliki 10 kursi yang disediakan untuk para penulis, penyunting, seniman manga dan siapapun yang bergulat dengan penulisan kata-kata dan tenggat.
Begitu memasukinya, para pengunjung akan diberi secarik kertas, tempat mereka menuliskan nama, target penulisan dan waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas mereka.
Emiko Sasaki, 37, adalah salah seorang pengunjung kafe itu. Ia mengaku kerap terganggu oleh panggilan telepon dan media sosial sewaktu bekerja di rumah. Sasaki yang menerbitkan tiga artikel di blognya selama tiga jam di kafe itu mengatakan, “Saya telah menyelesaikan sekitar 80 persen pekerjaan. Saya pikir menyenangkan sekali dapat menulis artikel tanpa melakukan hal-hal yang tak perlu.”
Staf kafe itu akan meminta pertanggungjawaban pengunjung dengan memeriksa kemajuan yang mereka capai. Mereka dapat memilih “ringan”, “”normal” dan “keras”, tiga level dalam pemeriksaan kemajuan.
Mereka yang memilih “ringan” hanya akan mendapat konfrimasi lisan sewaktu membayar di kasir. Mereka yang memilih “normal” akan diperiksa kemajuannya setiap jam. Sedangkan yang memilih “keras,” mereka akan merasakan tekanan diam-diam dari para staf yang kerap berdiri di belakang mereka.
Takuya Kawai, pemilik kafe yang juga seorang penulis, mengatakan, peraturan ketat ini dapat membantu pengunjung meningkatkan daya konsentrasi. “Kafe ini jadi viral di media sosial dan orang-orang mengatakan peraturan di sana menakutkan atau rasanya seperti diawasi dari belakang. Tetapi sebenarnya, alih-alih memantau pengunjung, saya di sini untuk mendukung mereka. Saya ingin semua orang menyelesaikan tugas mereka,” jelasnya.
Hasilnya, jelas Kawai, apa yang mereka pikir akan perlu waktu seharian ternyata dapat dituntaskan dalam tiga jam. Atau yang biasanya perlu tiga jam, tugas tersebut dapat selesai dalam satu jam di kafe itu.
Terinspirasi oleh cerita anak-anak terkenal di Jepang – Restoran dengan Banyak Pesanan - yang menggambarkan restoran yang aneh dengan instruksi khusus bagi pelanggan sebelum memasukinya, Kawai mengatakan ia ingin menciptakan ruang di mana orang dapat merasa tegang terlebih dulu, tetapi secara bertahap merasa rileks dan dapat fokus pada pekerjaan mereka.
Tidak seperti kafe normal di mana pengunjung punya banyak pilihan minuman dan makanan, kafe ini menawarkan akses tak terbatas untuk membuat sendiri minuman kopi dan teh, dan tidak ada pilihan makanan. Kafe ini dilengkapi dengan Wi-Fi berkecepatan tinggi dan tempat mengecas di setiap kursi.
Pengunjung dipungut 130 yen (hampir Rp15 ribu) untuk 30 menit pertama dan kemudian 300 yen (hampir Rp34 ribu) per jam. Mereka tidak akan dapat membayar sebelum menyelesaikan tugas yang mereka tetapkan sewaktu memasuki kafe ini. Menurut Kawai, terlepas dari beberapa orang yang harus tinggal lebih lama daripada jam operasi kafe tersebut, semua pelanggan dapat memenuhi target mereka dan keluar kafe dengan aman.
Dengan tembok bata bernuansa hangat serta koleksi minuman keras mahalnya, kafe itu semula dimaksudkan menjadi studio untuk live streaming, di mana pengunjung dapat diundang untuk acara bincang-bincang sambil minum minuman keras, sebelum larangan minuman keras semasa pandemi COVID-19 menggagalkan rencana Kawai.
Sekarang, Kawai mengatakan ia menemukan makna baru bagi kafenya, dengan lebih banyak orang yang datang ke sana untuk menulis. Ia tidak tahu tulisan apa yang mungkin lahir di kafenya. Namun, ia mengaku bangga dapat memberikan dukungan sehingga naskah yang ditulis di tempat itu dapat diterbitkan bagi dunia. [uh/ab]