Kepala Kantor Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) Padang, Abdul Malik, mengatakan jumlah korban meninggal akibat banjir bandang dan lahar dingin Gunung Marapi yang menerjang Kabupaten Agam, Tanah Datar, Padang Pariaman, dan Padang Panjang di Provinsi Sumatra Barat mencapai 37 orang. Bencana alam itu terjadi pada Sabtu (11/5) malam.
“Hingga pukul 21.00 WIB, korban yang meninggal di Kabupaten Agam dan Tanah Datar itu berjumlah 37 orang,” kata Abdul kepada VOA, Minggu (12/5).
Basarnas Padang mengatakan 19 orang ditemukan dalam kondisi meninggal dunia di Kabupaten Agam, 9 orang di Tanah Datar, 7 orang di Padang Pariaman, dan 2 orang di Padang Panjang.
“Sudah 35 orang di antaranya sudah teridentifikasi dan dua orang yang belum terindentifikasi oleh tim disaster victim identification (DVI),” ujar Abdul.
Menurut Abdul, para korban meninggal karena tertimpa material banjir bandang dan lahar dingin hingga terbawa arus sungai pada saat bencana alam itu terjadi. Kini, Basarnas Padang masih melakukan pencarian terhadap 17 orang yang belum ditemukan.
“Korban yang masih dicari sampai sekarang berjumlah 17 orang. Itu 14 orang di Tanah Datar dan 3 orang di Agam,” ungkapnya.
Kendati demikian, pencarian terhadap korban hilang dihentikan sementara lantaran hujan yang terjadi di lokasi banjir bandang dan lahar dingin. Masyarakat pun diimbau mengikuti arahan dari pemerintah terkait dengan pencarian keluarganya yang masih hilang.
“Kondisi di lokasi hujan, kami mengkhawatirkan lahar dingin (kembali) turun. Kami masih tetap memantau karena ada masyarakat yang sedang melakukan pencarian. Kami mengimbau masyarakat tidak melakukannya, tapi ini tidak bisa larang karena pihak keluarganya ada yang belum ditemukan. Namun kami berharap pihak-pihak keluarga mengikuti imbauan dari pemerintah,” jelas Abdul.
BACA JUGA: Banjir Bandang dan Aliran Lahar di Sumbar: 34 Tewas, 16 HilangWALHI Sumbar: Pemerintah Lalai Lestarikan Fungsi Lingkungan
Sementara itu Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatra Barat, Wengki Purwanto, menilai banjir bandang dan aliran lahar dingin terjadi karena pemerintah lalai dalam melindungi dan melestarikan fungsi lingkungan.
“Gagal dalam melakukan penataan ruang dan penyelenggaraan penanggulangan bencana. Risiko bencana ekologis di kawasan Lembah Anai telah sering diingatkan banyak pihak, bahkan rekomendasi-rekomendasi resmi telah diberikan kepada pemangku kebijakan,” kata Wengki dalam keterangan tertulisnya.
Lebih jauh Walhi Sumbar menilai bencana alam itu juga terjadi karena adanya aktivitas yang mengakibatkan perubahan terhadap kawasan yang tidak sesuai dengan fungsi zona Taman Wisata Alam (TWA) Mega Mendung di Tanah Datar. Pemerintah pun diminta untuk bertanggung jawab atas bencana alam yang terjadi di kawasan Lembah Anai.
“Pemerintah gagal dalam memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman bencana. Sebaliknya, masyarakat ditempatkan pada situasi rawan bencana dan akhirnya menjadi korban. Pemerintah harus betul-betul meninggalkan kebijakan yang menempatkan masyarakat dalam situasi rawan bencana,” pungkas Wengki. [aa/em]