Perasaan bersalah, berdosa dan rendah diri dirasakan Dimas, bukan nama sebenarnya, selama hampir dua bulan. Itu terjadi setelah dirinya menjadi korban kekerasan seksual oleh pembimbingnya berinisial SPM di Gereja Paroki Santo Herkulanus Depok pada 2008. Ia merasakan hubungannya dengan Tuhan rusak meskipun dirinya adalah korban. Dimas merasa perlu berdoa hingga larut malam untuk menentramkan perasaan.
"Saya dulu itu suka berdoa malam. Ketika orang tua saya semua tidur, saya berdoa dan akhirnya tidurnya larut malam. Berdoa artinya meminta pertobatan secara pribadi," kenang Dimas pada Sabtu (4/7).
Dimas menuturkan kekerasan tersebut dilakukan SPM di kompleks Universitas Indonesia. Modus yang dilakukan tersangka yaitu mengajak makan sejumlah anak yang aktif di gereja selepas acara keagamaan. SPM kemudian mengantarkan anak-anak dengan mobil ke rumah masing-masing. Namun, berbeda dengan Dimas, ia justru dibawa ke kompleks Universitas Indonesia dan dilecehkan.
Your browser doesn’t support HTML5
"Pada saat itu, kenapa sih membiarkan itu terjadi kepada saya, kenapa tidak berontak. Karena pada saat itu takut, pada 2008 itu umur saya kurang lebih 12-13 tahun," tambah Dimas.
Faktor lainnya yang membuat Dimas takut adalah SPM merupakan sosok pembimbing di gereja yang dihormati dan memiliki gelar sarjana hukum. Tak hanya itu, ia juga takut tidak bisa pulang karena lokasi kejadian jauh dari rumahnya dan khawatir SPM melakukan kejahatan lainnya.
Kendati demikian, Dimas tidak menceritakan kejadian tersebut kepada orang tua maupun temannya. Ia khawatir orang tuanya akan menyalahkan dirinya atas kekerasan seksual tersebut. Sementara teman-temannya, meski tidak mengetahui peristiwa itu, mereka beberapa kali mengejek dirinya karena dekat dengan SPM. Dimas hanya mengadu ke pastor untuk pengakuan dosa guna mengurangi rasa bersalah.
"Pada saat itu saya menganggap ibu galak, memang ibu lebih dominan dari ayah. Jadi ketika berbicara sama ibu justru takut kalau tidak didukung, tapi malah dijustifikasi bersalah."
Dimas berusaha bergaul seperti biasanya dan memaafkan tersangka meski mengalami trauma setelah kekerasan seksual tersebut. Namun, SPM kembali melakukan kekerasan seksual pada 2010 di rumahnya. Pasca peristiwa ini, Dimas akhirnya bertekad menjauhi SPM hingga terdengar kabar kekerasan seksual di Gereja Paroki Santo Herkulanus Depok pada 30 Mei lalu.
Dimas menyesal karena tidak melapor kala itu sehingga muncul korban-korban lain. Namun, ia kini sudah merasa siap jika ingin dimintai keterangan oleh aparat dan pengadilan untuk memutus mata rantai kekerasan seksual di gereja.
"Dan saya juga butuh kesehatan psikologis yang belum pulih 100 persen. Dengan saya bercerita, ada langkah-langkah pemulihan trauma dan psikologis saya," ujar Dimas.
Ia juga berharap para orang tua membekali anaknya dengan pengetahuan seksualitas sejak dini dan menjadi teman bagi anaknya sehingga berani melapor ketika menjadi korban.
Norma Sosial yang Tidak Menguntungkan Laki-laki
Direktur Yayasan PULIH Indonesia Dian Indraswari menjelaskan anak-anak dengan rentang usia 0-18 tahun rentan menjadi korban kekerasan seksual karena ada relasi kuasa dengan pelaku. Itu juga terlihat dari pelaku kekerasan seksual yang 30 persennya adalah keluarga, 60 persen orang terdekat dan 10 persen orang lain.
Dian juga menyebut perlu memberikan perhatian khusus kepada korban kekerasan seksual yang masih anak-anak dan laki-laki. Alasannya, norma sosial di masyarakat masih memberikan stigma kepada laki-laki. Antara lain dianggap perkasa, tidak boleh menangis dan mengeluh sehingga tidak mau melapor.
"Selain pada anak, korbannya juga keluarga dan komunitas. Ini adalah dampak yang luar biasa seperti gelas pecah itu serpihannya kemana-mana sehinga kita harus sadar untuk mencegah dan mengatasinya," jelas Dian Indraswari dalam diskusi online, Minggu (28/6).
Dian menambahkan kekerasan seksual terhadap anak dalam jangka panjang akan membuat korban sulit mempercayai orang lain dan mempengaruhi relasi sosialnya. Selain itu, korban juga akan sulit menerima dirinya sendiri dan di beberapa kasus ingin melukai diri sendiri hingga keinginan bunuh diri.
"Nah, ini perlu sensitivitas penanganan perlu diperhatikan agar anak tidak menjadi korban kedua kalinya. Serta memprioritaskan kondisi psikologis anak sehingga nyaman dan tidak takut bercerita," tambahnya.
Ia mencontohkan pengadilan di Inggris yang menunda persidangan dalam waktu dua tahun supaya korban kekerasan seksual anak siap menghadapi proses hukum. Selain itu, ia juga mendorong komunitas agar menyediakan ruang yang aman dan berpihak kepada korban selama penanganan kasus. [sm/em]