Korban Tragedi 1965 Bedjo Untung mendukung Komnas HAM untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu melalui jalur pengadilan. Menurutnya, opsi penyelesaian kasus melalui jalur hukum sesuai dengan hasil survei Komnas HAM bersama Litbang Kompas yang dirilis pada Rabu (4/12).
Adapun hasil survei tersebut menunjukkan 62,1 persen responden setuju dengan penanganan kasus melalui pengadilan ad hoc dalam negeri dan 37,2 persen responden memilih melalui pengadilan HAM internasional. Artinya, kata Bedjo, 99,5 persen masyarakat menghendaki penyelesaian kasus melalui pengadilan.
"Proses hukum harus ditegakkan, tidak ada alasan kurangnya bukti. Dengan catatan, korban masih ada, pelaku yang menunjukkan lokasi juga masih ada. Bukti-bukti berupa testimoni, maupun administrasi pembebasan itu masih ada semuanya," jelas Bedjo Untung di kantor Komnas HAM, Jakarta, Senin (9/12).
Bedjo Untung meminta Komnas HAM mencari terobosan agar kasus pelanggaran HAM berat masa lalu dapat dituntaskan. Sementara Maria Katarina Sumarsih, ibu dari Benardinus Realino Norma Irawan (Wawan), mahasiswa Universitas Atma Jaya yang tewas dalam Tragedi Semanggi I, mengatakan gugatan Kivlan Zen terhadap Wiranto dapat memperkuat bukti pelanggaran HAM dalam Tragedi 1998. Sebab dalam gugatan tersebut Kivlan telah mengakui membentuk, mendanai dan mengerahkan PAM Swakarsa.
"Bagi kami keluarga korban, banyaknya hambatan penyelesaian tragedi penembakan mahasiswa dalam kasus Semanggi I dan II, serta Trisakti ini menunjukkan terjadinya kejahatan kemanusiaan dan pelanggaran HAM berat," ujar Sumarsih.
Sumarsih berharap pemerintah dapat mengkoordinasikan lembaga-lembaga terkait seperti Komnas HAM dan Kejaksaan Agung supaya kasus Tragedi 1998 dapat segera masuk pengadilan. Ia juga menyerahkan sejumlah berkas kasus Semanggi I, Semanggi II dan Trisakti, serta informasi gugatan Kivlan Zen kepada Komnas HAM. Ia berharap kumpulan berkas tersebut dapat membantu Komnas HAM dalam mencari terobosan penuntasan kasus HAM masa lalu.
Gugatan perdata Kivlan Zen terhadap Wiranto diajukan pada Agustus 2019 lalu ke Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Wiranto dinilai telah melakukan perbuatan melawan hukum dalam pembentukan Pam Swakarsa pada tahun 1998.
Dalam gugatannya, Kivlan menuntut ganti rugi sebesar Rp1,1 triliun. Alasannya, Kivlan telah mengeluarkan uang sebesar Rp8 miliar untuk pembentukan Pam Swakarsa. Namun, uang tersebut tidak pernah diganti atasannya yakni Wiranto.
Komnas HAM Berharap Kasus Diselesaikan Dalam Negeri
Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM) Choirul Anam mengatakan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu dapat diselesaikan melalui pengadilan HAM ad hoc di dalam negeri dan pengadilan HAM internasional. Namun, ia berharap kasus-kasus tersebut dapat diadili di dalam negeri. Tujuannya supaya korban dan keluarga korban dapat terus menghadiri pengadilan, tanpa perlu terbebani biaya seperti jika diadili lewat pengadilan internasional.
"Komnas HAM maunya inginnya pengadilan cepat dilakukan tapi di nasional saja. Alasannya sederhana agar pembuktian dan pengawasan oleh korban bisa secara langsung," jelas Choirul Anam.
Choirul Anam menegaskan lembaganya siap menindaklanjuti kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu jika penyelidikan Komnas HAM dinilai kurang bukti oleh Kejaksaan Agung. Namun, perlu dipertegas bukti-bukti apa saja yang dinilai kurang dalam penyelidikan Komnas HAM.
"Jalan teknis ada, jalan politik ada. Jalan teknis berikan kami surat perintah penyidikan. Kalau kami butuh bongkar kuburan, kasih kami surat perintah penyidikan kami bongkar kuburannya. Kalau kami butuh merampas dokumen, kasih kami surat perintah merampas dokumen," tambahnya.
Your browser doesn’t support HTML5
Sementara untuk penuntasan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu melalui jalur politik yaitu dengan pemerintah membuat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang untuk menghilangkan hambatan-hambatan penanganan kasus. Menurutnya, Perppu tersebut dibutuhkan untuk mencegah impunitas kasus pelanggaran HAM berat yang sudah berjalan puluhan tahun. [sm/em]