Korban Pemerkosaan Perang Kosovo Buka Mulut, Tuntut Keadilan

Presiden Kosovo Hashim Thaci (kedua dari kiri) diapit oleh Feride Rushiti (tengah kiri), ketua Pusat Rehabilitasi Korban Penyiksaan Kosovo, berpartisipasi dalam pawai untuk mendukung penyintas perkosaan dalam perang Kosovo, 19 Juni 2018, di Pristina, Ibu Kota Kosovo.

Seorang perempuan yang mengaku telah diperkosa pasukan Serbia ketika Perang Kosovo, Senin (14/10), mengajukan gugatan pidana ke Kantor Penuntutan Khusus, meminta agar penyerangnya diadili.

Shyhrete Tahiri-Sylejmani menjadi perempuan kedua dari 20.000 perempuan yang diperkirakan telah diperkosa selama perang tahun 1998-1999, yang secara terbuka menyampaikan kesaksiannya.

“Saya disini untuk berbagi rasa sakit yang ada dalam jiwa saya,’’ ujarnya di hadapan reporter dan kamera televisi di Pristina, Ibu Kota Kosovo.

“Saya mewakili seluruh ibu, saudara laki-laki, saudara perempuan dan anak perempuan yang menderita rasa sakit yang sama. Saya ingin memberi mereka keberanian. Ini tidak pernah mudah. Pikirkan rasa sakit yang ada di dada Anda, yang tidak pernah dapat disembuhkan lagi. Saya di sini menuntut keadilan,” tegasnya.

Ratusan rok dalam instalasi seni untuk menarik perhatian kepada korban perkosaan pada perang Kosovo, di Pristina, Ibu Kota Kosovo, 12 Juni 2015. (Foto: VOA)

Feride Rushiti dari Pusat Rehabilitasi bagi Korban Penyiksaan di Kosovo, yang berdiri di sisi Tahiri-Sylejmani, menyampaikan kekecewaannya bahwa korban belum mendapat keadilan dan bahwa mereka yang melakukan pemerkosaan dan kejahatan perang lain masih bebas berkeliaran.

“Kejahatan-kejahatan ini tetap tidak dihukum. Itulah sebabnya kita berada di sini hari ini, untuk menuntut keadilan bagi 20.000 perempuan, laki-laki, anak perempuan dan anak laki-laki yang telah mengalami kejahatan, horor, penyiksaan dan penganiayaan selama perang,’’ ujarnya.

Korban Pertama

Sebelumnya pada Oktober 2018, Vasfije Krasnigi Goodman menjadi korban pemerkosaan perang pertama yang secara terbuka menuduh sejumlah pelaku dan menyampaikan kisahnya.

BACA JUGA: 10 Perempuan Internasional Terima Penghargaan Deplu AS

Pada bulan April lalu, Krasnigi Goodman memberikan kesaksian yang mengerikan di hadapan Komite Urusan Luar Negeri Amerika, dan mendesak untuk menegakkan keadilan.

“Saya ingin semuanya,” ujarnya. “Ia (penyerang.red) menodongkan senjata api, menganiaya dan memperkosa saya berulang kali. Saya sangat syok dan lelah sehingga kehilangan kesadaran," tutur Goodman.

"Ketika saya sadar, saya tidak dapat mengendalikan tangis saya dan memintanya untuk membunuh saya. Ia mengatakan tidak. ‘Saya tidak akan membunuhmu karena kamu akan lebih menderita seperti ini,’ kata penyerang itu. Sejujurnya, saya memang sangat menderita,” ujar Krasnigi Goodman dengan lirih.

Sebuah rok dengan tulisan: "Rok ini punya sejarah sejak Musim Semi 1998. Dardania-Peja," tampak dalam instalasi seni karya artis London kelahiran Kosovo, Alketa Mrripa-Xhafa, untuk menarik perhatian kepada korban perkosaan pada perang Kosovo, di Pristina, 12 Juni 2015. (Foto: Reuters)

Krasnigi Goodman menyampaikan dukungannya pada Tahiri-Sylejmani dengan mengatakan “ia selalu dapat mengandalkan dukungannya dan keluarga.”

Sejak menyampaikan kisahnya itu, Krasnigi Goodman telah menjadi aktivis bagi penyintas kekerasan seksual dalam perang yang ingin mendapatkan keadilan.

Pilih Bungkam

Banyak penyintas yang memilih tutup mulut selama puluhan tahun karena takut rasa malu dan penghinaan publik pada keluarga besar dalam masyarakat patriarki.

Ketika Kosovo berjuang untuk membangun dan mendapatkan kembali pengakuan internasional setelah deklarasi kemerdekaannya pada 2008 lalu, masalah kekerasan seksual umumnya masih belum dibahas secara terbuka.

Tahun lalu pemerintah mulai memberikan ganti rugi kepada korban kejahatan seksual dalam perang berdasarkan suatu undang-undang yang memberikan kompensasi pada veteran Perang Kosovo.

Mereka yang menyampaikan pengaduan mendapatkan kompensasi bulanan selama seumur hidup sebesar AS$275 dolar atas trauma fisik dan psikologis yang diderita atau setara 90 persen gaji rata-rata perempuan di Kosovo.

Meskipun demikian Tahiri-Sylejmani dan Krasnigi Goodman menegaskan bahwa kompensasi itu bukan pengganti rasa keadilan. [em/pp]