Pyongyang tampaknya kini sedang mencari sumbangan beras dari India di saat rezim Kim Jong-un memperingatkan negara itu untuk mencegah kerusakan lahan pertanian akibat banjir dari topan yang menerpa wilayah pesisir timurnya.
Kantor Berita Pusat Korea yang dikelola pemerintah Korea Utara melaporkan pada hari Selasa (6/9) bahwa kota-kota dan kabupaten di Provinsi Hwanghae Utara, di selatan Pyongyang, mengambil sejumlah tindakan “untuk meminimalisir kerusakan terhadap tanaman menjelang panen” ketika Topan Hinnamnor mendekati pantai timur Korea Utara setelah menerjang Korea Selatan pada Selasa.
Pada hari yang sama, Kim menggelar pertemuan dan menyerupakan upaya “untuk mencegah bencana” dan melindungi “kemakmuran dan pembangunan negara.”
Dampak topan itu terhadap pertanian Korea Utara yang belum dipanen masih belum jelas. Namun kekurangan pangan diperkirakan semakin parah akibat banjir yang menggenangi lahan pertanian Agustus lalu dan penutupan perbatasan ketat terkait COVID-19 yang diberlakukan Pyongyang.
“Dengan banjir yang kembali menghancurkan pertanian seperti tahun lalu, serta pembatasan perbatasan Korea Utara yang masih berlanjut, diyakini bahwa akses pangan lebih ketat daripada sebelum pandemi,” kata Troy Stangarone, direktur senior Korea Economic Institute.
Meminta Bantuan India
VOA Korea telah mengetahui bahwa Pyongyang telah beralih ke India untuk memasok beras, bahan pangan pokoknya, yang biasanya mereka impor dari China.
Manpreet Singh, presiden eksekutif Indian Chamber of International Business, organisasi yang membantu perusahaan kecil-menengah India berkembang secara global, mengatakan kepada VOA Korea pada 30 Agustus lalu melalui email bahwa pejabat Kedutaan Besar Korea Utara menemui organisasi itu di New Delhi.
“Kami telah didekati oleh pihak Kedutaan [Korea Utara] untuk menimbang kemungkinan [pemberian] sumbangan beras” karena “banjir menghancurkan sebagian besar pertanian (di negara mereka),” kata Singh.
Kantor Misi PBB Korea Utara di New York tidak menanggapi pertanyaan VOA Korea tentang situasi pangan negara itu dan apakah pemerintah Korea Utara sedang mencari bantuan dari luar.
Korea Utara sebelumnya telah menolak tawaran bantuan ekonomi dari Korea Selatan sebagai imbalan apabila dilakukan denuklirisasi, sebuah kesepakatan yang dijabarkan Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol dalam “iniasiatif berani” yang digagasnya 15 Agustus lalu.
Kim Yo-jong, adik perempuan pemimpin Korea Utara Kim Jong-un yang berpengaruh, menanggapi inisiatif itu pada 19 Agustus dengan mengatakan “Tak ada satu pun yang mau menukar takdirnya demi kue jagung.”
Bradley Babson, mantan penasihat Bank Dunia dan kini merupakan anggota dewan penasihat Korea Economic Institute of America, mengatakan bahwa alasan Pyongyang meminta pertolongan kelompok bisnis India alih-alih organisasi kemanusiaan, entah demi alasan kesehatan atau politik, kemungkinan untuk menghindari persyaratan untuk menerima pekerja kemanusiaan ke dalam negaranya untuk mengawasi distribusi bantuan.
VOA Korea pada 26 Agustus juga mengetahui perihal sebuah iklan untuk mencari sebuah kapal untuk mengangkut 10.000 ton beras dari Pelabuhan Vizag di timur India menuju Pelabuhan Nampo di Korea Utara antara tanggal 25 hingga 30 September. Iklan itu tersebar melalui email di kalangan industri perkapalan dunia.
Seorang narasumber yang mengetahui soal iklan itu memberitahu VOA Korea bahwa pihak yang mengekspor beras itu ingin mengangkut varietas beras butir panjang yang biasa tumbuh di India, Pakistan, Thailand dan Vietnam. Korea Utara sendiri menanam dan mengonsumsi beras butir pendek.
Masih harus ditelusuri apakah permohonan sumbangan beras yang diajukan Pyongyang kepada Indian Chamber of International Business dengan upaya eksportir India untuk mengangkut beras ke Korea Utara itu saling berhubungan.
“10.000 ton beras itu tidak banyak” mengingat defisit pangan Korea Utara, kata Babson. “Saya melihat ini semua sebagian besar bersifat simbolis dan bukan solusi masalah pangan (yang dialami oleh Korea Utara), yang saya rasa terjadi sangat parah tahun ini.” [rd/rs]