Korea Utara mengatakan, pada Kamis (23/11), bahwa pihaknya menangguhkan perjanjian berusia lima tahun dengan Korea Selatan, yang disepakati untuk menurunkan ketegangan militer di Semenanjung Korea. Penangguhan itu merupakan dampak dari tindakan pembalasan atas peluncuran satelit mata-mata Pyongyang.
Pernyataan penuh amarah dari kementerian pertahanan Korea Utara itu disampaikan setelah media pemerintah mengklaim bahwa pemimpin Korut, Kim Jong-un, telah meninjau foto-foto pangkalan militer AS di Guam, yang dikirim oleh satelit mata-mata baru Pyongyang tersebut.
Seiring upaya AS memimpin para sekutunya untuk mengecam peluncuran satelit itu sebagai bentuk “pelanggaran terang-terangan” terhadap sanksi PBB, Korea Selatan pun pada hari Rabu (22/11) mengambil keputusan untuk menangguhkan sebagian perjanjian yang sama, yang disepakati pada tahun 2018.
Pada hari Kamis, Korea Utara mengatakan pihaknya membatalkan seluruh isi perjanjian tersebut.
BACA JUGA: Korut Klaim Berhasil Tempatkan Satelit Mata-mata di Orbit“Kami akan menarik langkah-langkah militer yang diambil untuk mencegah ketegangan dan konflik militer di semua bidang, termasuk darat, laut dan udara, dan ajab mengerahkan angkatan bersenjata yang lebih kuat dan perangkat keras jenis baru di wilayah sepanjang Garis Demarkasi Militer,” kata kementerian tersebut, menurut kantor berita KCNA yang dikelola pemerintah Korut.
Kementerian itu mengatakan pihaknya “tidak akan pernah lagi terikat” dengan kesepakatan tersebut, menurut KCNA.
Washington, Seoul dan Tokyo telah mengecam peluncuran satelit Malligyong-1 yang melanggar sanksi PBB, yang disaksikan langsung oleh Kim yang tersenyum, menurut foto-foto yang dirilis KCNA.
Peluncuran itu adalah upaya ketiga Pyongyang untuk menempatkan satelitnya di orbit Bumi, dan yang pertama sejak Kim bertemu Presiden Rusia Vladimir Putin di kosmodrom Rusia September lalu.
Militer Korsel mengatakan satelit itu telah memasuki orbit, namun memperingatkan bahwa masih terlalu dini untuk mengetahui apakah satelit tersebut berfungsi.
Kementerian pertahanan Korut pada hari Kamis mengulangi pernyataan bahwa peluncuran satelit tersebut adalah bagian dari “hak untuk membela diri” dan menolak tanggapan “sangat histeris” yang muncul, khususnya dari Korsel.
Pyongyang menuduh Seoul memberikan tekanan terhadap perjanjian tersebut dengan meningkatkan provokasi militer. Korut juga mengatakan bahwa perjanjian itu “telah lama hanya menjadi secarik kertas,” dan menyebut keputusan Seoul untuk menangguhkan sebagian perjanjian itu sebagai tindakan “sembrono,” menurut KCNA.
Korsel “harus membayar mahal provokasi politik dan militer mereka yang tidak bertanggung jawab dan serius, yang telah mendorong situasi saat ini ke tahap yang tidak terkendali,” lanjut kementerian itu.
BACA JUGA: Korea Utara Kritik Kemungkinan Penjualan Rudal AS ke Jepang dan Korea SelatanKorsel mengatakan pihaknya akan menangguhkan sebagian perjanjian tahun 2018 dan melanjutkan operasi pengawasan di sepanjang perbatasan.
KCNA mengatakan bahwa satelit itu akan memulai misi pengintaian secara resmi pada 1 Desember.
Keberhasilan menempatkan satelit mata-mata ke orbit akan meningkatkan kemampuan pengumpulan informasi intelijen Korea Utara, khususnya dari Korea Selatan. Satelit itu dapat menyediakan data penting dalam setiap konflik militer, kata para pakar.
Washington mengatakan bahwa peluncuran itu merupakan “pelanggaran terang-terangan” serangkaian resolusi PBB yang melarang Korut melakukan uji coba teknologi balistik, yang digunakan dalam rudal dan roket peluncuran satelit.
Peluncuran tersebut juga tampaknya mengawali perlombaan antariksa di Semenanjung Korea, kata para ahli, di mana Seoul berencana meluncurkan satelit mata-mata pertamanya dengan menggunakan roket SpaceX akhir bulan ini. [rd/fw]