Di sebuah kompleks gedung di kawasan Brooklyn, New York, tepatnya di lantai sembilan, terdapat salah satu pertanian atap gedung (rooftop farm) terbesar di dunia.
Gwen Schantz, salah seorang pendiri sekaligus Direktur Kreatif Brooklyn Grange, mengatakan, "Ada desain urban berpuluh-puluh tahun di mana tujuannya adalah untuk meratakan semuanya, membuat semuanya sangat bersih dan menutupinya dengan beton. Sekarang kita ketahui ini menjadi masalah, karena tidak efektif dalam hal pengelolaan air hujan, dalam hal manajemen kesehatan manusia.”
Schantz menambahkan, sekarang ini orang-orang mulai menaruh tanah di alas beton gedung-gedung, menanam berbagai tumbuhan dan ini membantu warga terhubung kembali dengan alam.
Atap seluas 22 ribu meter persegi itu dapat menghasilkan 45 ton sayuran organik setiap tahun.
Schantz dan teman-temannya yang bercita-cita ingin menjadi petani yang tetap tinggal di kota akhirnya bercocok tanam di atap gedung. Bertani di ketinggian ternyata memberi manfaat lingkungan dan sosial, katanya.
Schantz menambahkan, "Atap yang hijau seperti milik kami ini benar-benar berdampak positif pada limpasan hujan dan saluran air lokal. Ini juga menyejukkan dan membersihkan udara. Setiap kali kita bercocok tanam di kota, ini akan membantu memperbaiki kualitas udara.”
Manfaat lainnya juga dirasakan pada lantai-lantai di bawahnya. Pertanian di rooftop itu melindungi atap dan bangunan itu sendiri dari panasnya sinar matahari maupun dari cuaca dingin, kata Schantz.
Akan tetapi bercocok tanam di atap gedung tidak selalu mudah. Ada batasan berat tanaman maupun tanah yang dapat ditambahkan di atap itu. Schantz dan rekan-rekannya menaruh tanah dengan ketinggian sekitar 30 centimeter. Banyak jenis sayuran yang ditanam dengan kondisi ini, tetapi ini juga berarti penyiraman harus lebih sering dilakukan.
Di Hong Kong, satu dari 60 pertanian vertikal terletak pada ketinggian 150 meter, di puncak gedung Bank of America Tower.
Andrew Tsui, salah seorang pendiri Rooftop Republic, mengemukakan, pertanian vertikal berpotensi melipatgandakan pasokan ruang atau lahan untuk bercocok tanam tanaman pangan.
"Apa yang kami amati adalah bagaimana cara mengidentifikasi ruang-ruang yang kurang dimanfaatkan atau ruang kosong di kota dan kemudian menggerakkan orang-orang untuk belajar mengenai makanan, memahami bagaimana membangun kembali hubungan dengan sumber makanan, mengingat kita mulai mencari sumber makanan dari luar dan sangat bergantung pada produksi industri makanan,” jelasnya.
Meskipun tanpa sinar matahari atau tanah, tanaman palawija juga bisa tumbuh. Seperti di sebuah fasilitas di distrik di Kopenhagen, Denmark. Sekitar 28 ribu lampu LED dipasang untuk memberikan panas dan cahaya yang diperlukan untuk menanam selada, rempah-rempah dan kale.
Di tempat yang dikelola Nordic Harvest, itu, hasil panennya bisa mencapai 250 kali lebih banyak dibandingkan dengan produksi di areal pertanian tradisional dengan luas yang sama. CEO perusahaan itu, Anders Riemann mengatakan, panen bisa berlangsung 15 kali dalam setahun di fasilitas itu.
Di fasilitas berteknologi tinggi ini, robot-robot kecil menebarkan benih dari lorong ke lorong dan petani menggunakan lift saat memanen.
Tentu saja masa depan pertanian tidak punya solusi yang cocok diterapkan di semua tempat. Pertanian berteknologi tinggi di Denmark itu memerlukan begitu banyak energi dan lebih cocok untuk tempat bersuhu lebih sejuk.
Jauh dari kesejukan itu, kota di Arab Saudi ini berharap dapat menciptakan oasis di tengah-tengah gurun. Proyek “Riyadh Hijau” berencana menanam 7,5 juta pohon dan membuat 3.000 taman kota pada tahun 2030.
Abdelaziz Al-Moqbel, direktur proyek Riyadh Hijau, mengatakan, "Dampak langsung proyek Riyadh Hijau adalah ini akan membantu menurunkan suhu normal satu atau dua derajat Celsius.”
Sebagian besar pohon yang ditanam dalam proyek ini adalah akasia, yang dapat bertahan di tengah iklim panas kering.
Your browser doesn’t support HTML5
Abdelaziz menjelaskan, proyek itu akan meningkatkan kualitas hidup yang pada akhirnya memperbaiki lingkungan perkotaan serta mengurangi polusi udara dan debu, sekaligus meningkatkan interaksi sosial antar warga yang pada akhirnya akan meningkatkan kesehatan mereka.
Proyek penghijauan ini akan menelan biaya 11 miliar dolar dan menggunakan satu juta meter kubik air untuk penyiraman setiap hari. Air yang digunakan itu akan didaur ulang melalui jaringan irigasi bawah tanah. [uh/ab]