Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mendesak pemerintah untuk menindak tegas sekolah yang mengajarkan fanatisme dan radikalisme agama.
JAKARTA —
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Badriyah Fayumi mengatakan sejumlah sekolah telah mengajarkan intoleransi dan mengarahkan siswa untuk memiliki fanatisme terhadap ajaran agama tertentu.
Kepada VOA Jumat (14/12), Badriyah mengatakan bahwa indoktrinasi semacam itu sudah berjalan melalui kegiatan yang sistematis di sejumlah lembaga pendidikan, dan akan berbahaya jika dibiarkan.
Anak, menurut Badriyah, sangat rawan menjadi korban indoktrinasi dan juga rentan untuk meneruskan tradisi intoleransi. Ia menambahkan kurikulum pendidikan harus betul-betul memiliki muatan yang mengajarkan toleransi.
“Radikalisme di sekolah itu terjadi dari level yang paling dini sampai level perguruan tinggi, antara lain melalui proses indoktrinasi bahwa yang lain yang tidak sama seperti kita adalah musuh kita, boleh kita serang, boleh kita perangi,” ujar Badriyah.
“Bahkan kami mendapatkan pengaduan dari guru TK di Depok, yang kemudian ayahnya mengeluarkan anaknya dari TK tersebut, karena anaknya pulang mengatakan bahwa ‘Oh, itu berbeda agamanya dengan kita, berarti dia boleh dibunuh’.”
Badriyah mengatakan kasus indoktrinasi seperti itu juga dapat terjadi melalui kegiatan ekstrakurikuler keagamaan yang ada di sekolah.
Sebelumnya, hasil survei Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian selama Oktober 2010 hingga Januari 2011 menunjukkan bahwa 49 persen siswa di Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Tanggerang dan Bekasi) cenderung setuju menempuh aksi kekerasan untuk menyelesaikan masalah agama dan moral.
Survei ini dilakukan terhadap 1.000 siswa dari 100 sekolah menengah pertama dan atas di Jabodetabek.
Direktur Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian Bambang Pranowo mengungkapkan paham radikal bisa masuk ke sekolah dengan berbagai cara, seperti kegiatan ekstrakurikuler.
“Ada kegiatan yang memanggil orang dari luar untuk memberikan materi, ceramah mengenai ideologi seperti NII (Negara Islam Indonesia) secara meyakinkan,” ujar Bambang.
Juru Bicara Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Ibnu Hamad mengatakan para kepala sekolah harus dapat mengontrol setiap kegiatan ekstrakurikuler yang diikuti siswa, apalagi kalau kegiatan tersebut memanggil pihak dari luar.
Khawatir dengan kondisi di sekolah tersebut, tokoh agama Romo Franz Magnis Suseno mengatakan pendidikan ke arah toleransi harus dimulai.
“Di situ ada dua poin yang penting. Yang pertama bahwa toleransi bukan berarti mengatakan semua keyakinan sama dan sebagainya. Dan yang kedua, belajar menerima bahwa orang dengan keyakinan yang berbeda. Nah yang dua hal itu yang harus diajarkan pada anak [sejak] kecil,” ujarnya.
Kepada VOA Jumat (14/12), Badriyah mengatakan bahwa indoktrinasi semacam itu sudah berjalan melalui kegiatan yang sistematis di sejumlah lembaga pendidikan, dan akan berbahaya jika dibiarkan.
Anak, menurut Badriyah, sangat rawan menjadi korban indoktrinasi dan juga rentan untuk meneruskan tradisi intoleransi. Ia menambahkan kurikulum pendidikan harus betul-betul memiliki muatan yang mengajarkan toleransi.
“Radikalisme di sekolah itu terjadi dari level yang paling dini sampai level perguruan tinggi, antara lain melalui proses indoktrinasi bahwa yang lain yang tidak sama seperti kita adalah musuh kita, boleh kita serang, boleh kita perangi,” ujar Badriyah.
“Bahkan kami mendapatkan pengaduan dari guru TK di Depok, yang kemudian ayahnya mengeluarkan anaknya dari TK tersebut, karena anaknya pulang mengatakan bahwa ‘Oh, itu berbeda agamanya dengan kita, berarti dia boleh dibunuh’.”
Badriyah mengatakan kasus indoktrinasi seperti itu juga dapat terjadi melalui kegiatan ekstrakurikuler keagamaan yang ada di sekolah.
Sebelumnya, hasil survei Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian selama Oktober 2010 hingga Januari 2011 menunjukkan bahwa 49 persen siswa di Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Tanggerang dan Bekasi) cenderung setuju menempuh aksi kekerasan untuk menyelesaikan masalah agama dan moral.
Survei ini dilakukan terhadap 1.000 siswa dari 100 sekolah menengah pertama dan atas di Jabodetabek.
Direktur Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian Bambang Pranowo mengungkapkan paham radikal bisa masuk ke sekolah dengan berbagai cara, seperti kegiatan ekstrakurikuler.
“Ada kegiatan yang memanggil orang dari luar untuk memberikan materi, ceramah mengenai ideologi seperti NII (Negara Islam Indonesia) secara meyakinkan,” ujar Bambang.
Juru Bicara Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Ibnu Hamad mengatakan para kepala sekolah harus dapat mengontrol setiap kegiatan ekstrakurikuler yang diikuti siswa, apalagi kalau kegiatan tersebut memanggil pihak dari luar.
Khawatir dengan kondisi di sekolah tersebut, tokoh agama Romo Franz Magnis Suseno mengatakan pendidikan ke arah toleransi harus dimulai.
“Di situ ada dua poin yang penting. Yang pertama bahwa toleransi bukan berarti mengatakan semua keyakinan sama dan sebagainya. Dan yang kedua, belajar menerima bahwa orang dengan keyakinan yang berbeda. Nah yang dua hal itu yang harus diajarkan pada anak [sejak] kecil,” ujarnya.