Retno Listyarti, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) berpendapat negara perlu membuka akses internet gratis agar anak-anak dapat belajar dari rumah secara baik dan aman. Berbicara dalam diskusi virtual bertema ‘Dampak Sosial Ekonomi Covid-19 pada Anak-Anak di Indonesia’ yang diselenggarakan oleh AJI dan UNICEF(11/5), Retno mengungkapkan hasil survey yang dilakukan oleh KPAI terkait pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang diberlakukan sejak Maret karena situasi darurat pandemi Covid-19 menunjukkan bahwa bagi mayoritas siswa dari keluarga kelas bawah, komputer dan kuota internet masih merupakan barang mewah yang sulit dijangkau.
Retno mencontohkan apa yang terjadi di Papua. Di provinsi itu, katanya,54 persen dari 608 ribu pelajar tidak bisa melakukan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) atau pembelajaran daring karena ketidaktersediaan peralatan komputer, kuota internet dan listrik. Situasi serupa juga dialami para guru honorer.
“Para guru honorer yang bergaji minim juga seharusnya mendapat subsidi yang sama baik itu peralatan dan akses internet. PJJ ini kalau memang akan diperpanjang, misalnya masih akan beberapa bulan lagi, mestinya ada kebijakan menggratiskan internet untuk rumah-rumah selama jam pembelajaran jarak jauh itu terjadi,” harapnya.
Menurutnya, PJJ di era pandemi Covid-19 mengungkap disparitas pendidikan secara nyata antara anak dari keluarga mampu dengan anak dari keluarga miskin. Kebutuhan akan digitalisasi berhadapan dengan kenyataan lebarnya ketidaksetaraan ekonomi dan sosial di kalangan keluarga-keluarga siswa, kesenjangan itu berimplikasi pada perbedaan tajam dalam akses terhadap teknologi komunikasi dan informasi.
Survei itu juga mengungkapkan setidaknya ada 68,2 juta siswa dan dan 3,2 juta guru yang merasakan ketidaksiapan sekolah dan pemerintah dalam menghadapi bencana non alam pandemi Covid-19.
Your browser doesn’t support HTML5
“Telepon genggam pun menjadi pilihan yang biasa dipergunakan, ternyata anak-anak juga tidak memiliki wifi, guru-guru juga nggak, rata-rata membeli kuota. Nah kuota (internet) ini, menurut anak-anak kalau dalam satu keluarga memiliki tiga anak, maka itu melampaui biaya mereka makan,” ujar Retno
Dari 1.700 responden siswa, KPAI menemukan PJJ membuat siswa kelelahan, kurang istirahat dan stres. Sebanyak 77,8 persen mengalami kesulitan karena tugas menumpuk karena seluruh guru memberikan tugas dengan waktu yang sempit. Sekitar 37 persen mengeluhkan waktu pengerjaan tugas yang sempit sehingga membuat siswa kurang istirahat dan kelelahan. Kesulitan lainnya adalah sebanyak 42,2 persen pelajar juga tidak memiliki kuota internet, dan 15,6 persen responden tidak memiliki peralatan yang memadai seperti laptop atau ponsel untuk belajar daring.
Angga Dwi Matra, Spesialis Kebijakan Sosial UNICEF mengatakan kebijakan meliburkan sekolah sejak Maret menyebabkan hampir 60 juta siswa di Indonesia kesulitan untuk mengikuti program PJJ karena keterbatasan akses internet, listrik dan opsi pembelajaran.
UNICEF menyebutkan, rata-rata prosentase jumlah anak di pedesaan yang memiliki komputer dan sambungan internet di rumah mereka kurang dari 15 persen, sedangkan di perkotaan hanya 25 persen.
“Jadi bahkan saat mereka misalnya telah memiliki alat-alat pendukung masih banyak siswa yang mengalami tantangan untuk bisa mengubah pola belajar menjadi e-learning tadi. Selain itu juga yang harus kita sadari bersama semakin lama anak-anak tidak bersekolah maka semakin tinggi pula risiko anak-anak yang berakibat pada naiknya angka putus sekolah,” kata Angga Dwi Matra.
Kondisi ini juga berdampak buruk pada anak-anak penyandang disabilitas. Mereka sulit belajar jarak jauh dengan efektif karena sering memerlukan kontak fisik dan emosi dengan guru. Apalagi mereka mengandalkan alat dan terapi khusus agar dapat belajar dengan baik. [yl/ab]