KPK menjerat dua jenderal polisi dalam kasus korupsi pengadaan alat simulator untuk surat ijin mengemudi dengan nilai proyek Rp 198 miliar.
Penyidikan kasus dugaan korupsi pengadaan alat simulator Surat Izin Mengemudi (SIM) 2011 oleh KPK terus menyeret nama-nama petinggi Mabes Polri.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan wakil kepala Korps Lalu Lintas Markas Besar Polisi Republik Indonesia (Mabes Polri) Brigjen Polisi DP, sebagai tersangka kasus korupsi pengadaan alat simulator SIM 2011.
Ketua KPK, Abraham Samad di Jakarta, Kamis (3/8) menjelaskan, dalam proyek senilai Rp198 miliar ini, selain DP, KPK juga menetapkan dua orang pengusaha yang terkait kasus ini, yaitu BS dari PT CMMA dan SB dari PT ITI.
Abraham menambahkan, sebelumnya, KPK telah menetapkan mantan kepala Korps Lalu Lintas Mabes Polri Inspektur Jenderal Polisi DSsebagai tersangka. Jenderal bintang dua yang juga Gubernur Akademi Kepolisian itu diduga memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.
Kasus ini juga sedang diselidiki oleh Mabes Polri, yang telah menetapkan status tersangka terhadap lima orang, termasuk Brigjen DP. Kepala Divisi Humas Mabes Polri Inspektur Jenderal Anang Iskandar memastikan kelimanya akan segera ditahan.
“Tersangka tersebut adalah seorang brigadir jenderal polisi inisial DP, kemudian AKBP EF. Tiga tersangka lagi adalah pemenang pihak ketiga ditambah seorang bendahara berpangkat Kompol. Lima tersangka tersebut dalam waktu dekat akan ditahan terkait dugaan pengadaan barang dan jasa, yaitu simulator kendaraan roda dua dan roda empat,” ujar Anang.
Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri Komisaris Jenderal Sutarman menegaskan Polri tidak akan pernah menyerahkan ketiga tersangka itu kepada KPK. Kemungkinan besar Polri, kata Sutarman, akan mengambil kembali barang bukti yang disimpan KPK, yaitu hasil dari penggeledahan di kantor Korlantas Mabes Polri beberapa waktu lalu. Hal itu dilakukan kata Sutarman jika KPK menghalang-halangi mereka dalam melakukan penyidikan kasus tersebut.
Mengenai penetapan lima tersangka ini Mabes Polri ini, Abraham menegaskan institusi hukum selain KPK sifatnya hanya membantu, bukan melakukan penyidikan, karena KPK terlebih dahulu melakukannya sesuai dengan Undang-Undang.
“Sebenarnya kita sudah melakukan penyelidikan dan penyidikan sejak Januari lalu, yang berarti kita terlebih dahulu. Jika kita ingin patuh dan taat undang-undang, maka seyogyanya institusi selain KPK turut membantu KPK untuk menuntaskan kasus ini,” jelas Abraham.
Sementara itu, anggota Komisi 3 DPR RI Didi Irawadi meminta Mabes Polri menyerahkan kasus ini untuk ditangani oleh KPK, untuk membuktikan kepada publik bahwa Polri siap bersih-bersih diri.
“Sangat sulit bila dua institusi menangani bersama-sama. Tidak akan mudah, kewenangannya bagaimana nantinya. Padahal Undang-Undang sendiri sudah menetapkan, jika ditangani ada institusi kepolisian, kejaksaan dan ada juga KPK, maka harus dihentikan dan diambil alih oleh KPK. Dan bagi kepolisian juga, alangkah baiknya apabila dengan lapang dada menyerahkan kepada KPK. Akan menimbulkan citra yang bagus bagi kepolisian di hadapan publik,” ujarnya.
Sejumlah lembaga masyarakat, diantaranya Transparency International Indonesia, Indonesia Corruption Watch (ICW), Kontras, LBH Jakarta dan Imparsial, mendesak kepolisian segera menghentikan penyidikan atas dugaan korupsi tersebut.
Dalam jumpa pers Jumat (3/8), peneliti Hukum dari ICW, Donal Fariz menyatakan penyelidikan dan penyidikan polisi atas kasus tersebut cacat hukum tindakan kepolisian itu sebagai bagian dari upaya melokalisir kasus korupsi dengan cara mempertahankan barang bukti dari genggaman mereka.
Ia menambahkan bahwa biasanya proses hukum terhadap para perwira tinggi yang diduga melakukan tindak pidana korupsi semuanya berhenti di tengah jalan. Kalaupun diproses, kata Donal, hanya pada level pelanggaran etik saja.
Pengamat Kepolisian dari Universitas Indonesia Bambang Widodo Umar mengungkapkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono harus turun tangan dalam mengatasi persoalan ini karena belum ada lembaga yang menampung untuk menyelesaikan.
Juru Bicara Presiden, Julian Aldrin Pasha, menyatakan Presiden SBY tidak akan turun langsung atau intervensi atas kasus tersebut karena ini adalah ranah hukum.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan wakil kepala Korps Lalu Lintas Markas Besar Polisi Republik Indonesia (Mabes Polri) Brigjen Polisi DP, sebagai tersangka kasus korupsi pengadaan alat simulator SIM 2011.
Ketua KPK, Abraham Samad di Jakarta, Kamis (3/8) menjelaskan, dalam proyek senilai Rp198 miliar ini, selain DP, KPK juga menetapkan dua orang pengusaha yang terkait kasus ini, yaitu BS dari PT CMMA dan SB dari PT ITI.
Abraham menambahkan, sebelumnya, KPK telah menetapkan mantan kepala Korps Lalu Lintas Mabes Polri Inspektur Jenderal Polisi DSsebagai tersangka. Jenderal bintang dua yang juga Gubernur Akademi Kepolisian itu diduga memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.
Kasus ini juga sedang diselidiki oleh Mabes Polri, yang telah menetapkan status tersangka terhadap lima orang, termasuk Brigjen DP. Kepala Divisi Humas Mabes Polri Inspektur Jenderal Anang Iskandar memastikan kelimanya akan segera ditahan.
“Tersangka tersebut adalah seorang brigadir jenderal polisi inisial DP, kemudian AKBP EF. Tiga tersangka lagi adalah pemenang pihak ketiga ditambah seorang bendahara berpangkat Kompol. Lima tersangka tersebut dalam waktu dekat akan ditahan terkait dugaan pengadaan barang dan jasa, yaitu simulator kendaraan roda dua dan roda empat,” ujar Anang.
Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri Komisaris Jenderal Sutarman menegaskan Polri tidak akan pernah menyerahkan ketiga tersangka itu kepada KPK. Kemungkinan besar Polri, kata Sutarman, akan mengambil kembali barang bukti yang disimpan KPK, yaitu hasil dari penggeledahan di kantor Korlantas Mabes Polri beberapa waktu lalu. Hal itu dilakukan kata Sutarman jika KPK menghalang-halangi mereka dalam melakukan penyidikan kasus tersebut.
Mengenai penetapan lima tersangka ini Mabes Polri ini, Abraham menegaskan institusi hukum selain KPK sifatnya hanya membantu, bukan melakukan penyidikan, karena KPK terlebih dahulu melakukannya sesuai dengan Undang-Undang.
“Sebenarnya kita sudah melakukan penyelidikan dan penyidikan sejak Januari lalu, yang berarti kita terlebih dahulu. Jika kita ingin patuh dan taat undang-undang, maka seyogyanya institusi selain KPK turut membantu KPK untuk menuntaskan kasus ini,” jelas Abraham.
Sementara itu, anggota Komisi 3 DPR RI Didi Irawadi meminta Mabes Polri menyerahkan kasus ini untuk ditangani oleh KPK, untuk membuktikan kepada publik bahwa Polri siap bersih-bersih diri.
“Sangat sulit bila dua institusi menangani bersama-sama. Tidak akan mudah, kewenangannya bagaimana nantinya. Padahal Undang-Undang sendiri sudah menetapkan, jika ditangani ada institusi kepolisian, kejaksaan dan ada juga KPK, maka harus dihentikan dan diambil alih oleh KPK. Dan bagi kepolisian juga, alangkah baiknya apabila dengan lapang dada menyerahkan kepada KPK. Akan menimbulkan citra yang bagus bagi kepolisian di hadapan publik,” ujarnya.
Sejumlah lembaga masyarakat, diantaranya Transparency International Indonesia, Indonesia Corruption Watch (ICW), Kontras, LBH Jakarta dan Imparsial, mendesak kepolisian segera menghentikan penyidikan atas dugaan korupsi tersebut.
Dalam jumpa pers Jumat (3/8), peneliti Hukum dari ICW, Donal Fariz menyatakan penyelidikan dan penyidikan polisi atas kasus tersebut cacat hukum tindakan kepolisian itu sebagai bagian dari upaya melokalisir kasus korupsi dengan cara mempertahankan barang bukti dari genggaman mereka.
Ia menambahkan bahwa biasanya proses hukum terhadap para perwira tinggi yang diduga melakukan tindak pidana korupsi semuanya berhenti di tengah jalan. Kalaupun diproses, kata Donal, hanya pada level pelanggaran etik saja.
Pengamat Kepolisian dari Universitas Indonesia Bambang Widodo Umar mengungkapkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono harus turun tangan dalam mengatasi persoalan ini karena belum ada lembaga yang menampung untuk menyelesaikan.
Juru Bicara Presiden, Julian Aldrin Pasha, menyatakan Presiden SBY tidak akan turun langsung atau intervensi atas kasus tersebut karena ini adalah ranah hukum.