Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron mengakui pelaksanaan pemilihan kepala daerah serentak di 261 kabupaten/kota dan sembilan provinsi pada 9 Desember mendatang rentan praktik politik uang dan penyalahgunaan kekuasaan.
Hal ini terungkap dalam diskusi bertajuk “Pemilihan Umum Saat Pandemi” yang digelar secara virtual pada Kamis (25/6), di Jakarta.
Oleh karena itu, lanjut Nurul, KPK berkomitmen turut menyukseskan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah pada 9 Desember agar bebas dan bersih dari praktik-praktik korupsi. Karena hanya dengan pemilihan kepala daerah yang bebas dari praktik-praktik korupsi, akan lahir pemimpin-pemimpin yang berkualitas dan berintegritas sehingga mampu memberikan harapan bagi rakyat Indonesia.
BACA JUGA: Protokol Kesehatan Pilkada Serentak Tersendat AnggaranNurul mengatakan pandemi Covid-19 sejak awal Maret lalu, telah menurunkan tingkat pendapatan masyarakat akibat dari lesunya kegiatan perekonomian.
"Kondisi kelemahan ekonomi ini merupakan potensi yang terbuka bagi praktik-praktik pragmatis, transaksional, dalam pilkada. Akibat dampak dari pandemi Covid-19, untuk melaksanakan cara-cara transaksional dan ilegal guna mendapatkan suara pemilih yang kondisi ekonominya sedang di titik terendah," kata Nurul.
Selain itu, menurut Nurul, akan muncul potensi korupsi dalam hal pengadaan logistik, barang dan jasa, serta sarana dan prasarana untuk mendukung penyelenggaraan pemilihan kepala daerah serentak tersebut. Peluang rasuah ini sangat mungkin terjadi karena di masa pandemi Covid-19 ini pengawasan secara menyeluruh memiliki keterbatasan. Dia mencontohkan keterbatasan pengawasan dari masyarakat karena masyarakat lebih banyak tinggal di rumah guna menghindari penularan Covid-19.
BACA JUGA: Perludem Serukan Evaluasi Pelaksanaan Pilkada 2020Indonesia “Masih dalam Proses Belajar” Pemilu
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengakui Indonesia masih dalam proses belajar mengenai pemilihan umum secara langsung, termasuk pemilihan kepala daerah berdasarkan hasil dari peraturan pemerintah pengganti undang-undang yang terus diperbaiki. Dia menambahkan Indonesia sudah empat kali menggelar pemilihan kepala daerah secara serentak.
Mahfud menjelaskan pemilihan kepala daerah serentak tahun ini awalnya akan dilangsungkan pada 23 September, tetapi pandemi Covid-19 memaksa penangguhan pesta demokrasi itu menjadi 9 Desember.
Sebenarnya ada usulan penundaan lagi sampai pandemi Covid-19 benar-benar selesai. Namun, lanjut Mahfud, tidak ada satu pihak pun yang bisa memastikan kapan pandemi Covid-19 akan berakhir. Karena itu, pemerintah mengambil kebijakan untuk kembali ke masa normal baru agar tidak terus tersandera oleh Covid-19.
"Mari kita bikin kenormalan baru karena kalau kita terus ikut dengan keadaan Covid-19 yang tidak jelas ini, maka pemerintahan kita tidak akan berjalan normal. Kita menghindari adanya kepala-kepala daerah yang dijadikan pelaksana tugas (kepala daerah) terus. Padahal pelaksana tugas itu tidak memiliki kewenangan yang definitif," ujar Mahfud.
Your browser doesn’t support HTML5
Mahfud berpesan agar pelaksanaan pemilihan kepala daerah serentak yang akan dilaksanakan pada 9 Desember berjalan dengan berkualitas dan bebas dari praktik-praktik korupsi.
Sejumlah Badan Ikut Jaga Pemilu
Direktur Pembinaan Jaringan Kerja antar Komisi dan Instansi (PJKAKI) KPK Sujanarko menjelaskan selain Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilihan Umum, Kepolisian, dan KPK, peran pemilih juga sangat penting untuk menjaga kualitas pemilihan kepala daerah.
Sujanarko menilai kondisi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sekarang sangat mengkhawatirkan. Sebab dari 575 anggota DPR, 262 di antara mereka berlatar belakang pengusaha.
Mereka tersebar di Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (57 orang), Fraksi Partai Golongan Karya (48 orang), Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya (41 orang), Fraksi Paretai Kebangkitan Bangsa (26 orang), Fraksi Partai Demokrat (23 orang), Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (22 orang), Fraksi Partai Nasional Demokrat (21 orang), Fraksi Partai Amanat Nasional (18 orang), dan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (6 orang).
Menurut Sujanarko, lemahnya aturan main dan lemahnya tata kelola di partai politik, membuat keterlibatan pebisnis korup terhadap proses-proses politik itu sangat mencemaskan.
BACA JUGA: Petisi Tunda Pilkada Demi Kesehatan dan Keselamatan Publik"Potensi konflik kepentingan terkait dengan politik itu sangat mengkhawatirkan. Di daerah-daerah seperti itu. Petanya sangat terkonfirmasi. Misalnya daerah-daerah yang memiliki industri kreatif, jumlah perizinan itu meningkat. Proyek-proyek dimajukan," tutur Sujanarko.
Sudah Ratusan Pejabat Ditangkap karena Korupsi
Sejak KPK dibentuk pada 2004 hingga tahun lalu, terdapat 257 anggota DPR dan DPRD, 21 gubernur, serta 119 bupati dan wali kota tersangkut kasus korupsi.
Sujanarko menjelaskan ada empat dampak korupsi terhadap politik dan demokrasi. Korupsi menghasilan kepemimpinan yang korup sebab konstituen didapat melalui praktik suap. Mereka memilih bukan karena simpati atau percaya atas kemampuan dan kepemimpinan politisi.
Korupsi akan menguatkan plutokrasi, yakni pemerintahan menjadi tersandera sehingga sistem politik dikuasai oleh para pemodal yang menjadi bohir kepala daerah terpilih.
BACA JUGA: Mensos : Politisasi Bansos Masif Terjadi di DaerahKorupsi, tambah Sujanarko, juga akan menghancurkan kedaulatan rakyat karena kedaulatan akan berpindah dari rakyat ke partai politik. Rakyat tidak dapat lagi mengontrol partai politik. Korupsi akan menyebabkan ketidakpercayaan rakyat terhadap demokrasi dan ini akan mengancam keberlangsungan pemerintahan.
Sujanarko menambahkan ada sejumlah risiko akan dihadapi dengan menggelar pemilihan kepala daerah serentak di masa pandemi Covid-19. Risiko pertama adalah sebagian tujuan pemilihan tidak tercapai, partisipasi pemilih rendah, legitimasi turun, dan mudah dikooptasi pengusaha. Di samping itu, politik uang bisa disamarkan melalui program untuk penanganan Covid-19 dan menciptakan kluster baru penyebaran Covid-19. [ft/em]