KPK Tetapkan Status Tersangka Anggota DPRI RI Terkait Kasus Suap

Konferensi pers KPK Rabu 29 Juni 2016, dari kiri ke kanan Plh Kabiro Humas KPK, Yuyu Andriyati, Komisioner KPK La Ode M. Syarief (tengah), di Gedung KPK Jakarta, Rabu, 29 Juni 2016 (Foto: VOA/Andylala)

KPK telah menetapkan status tersangka terhadap Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Demokrat I Putu Sudiartana terkait dugaan suap dalam rencana pembangunan 12 ruas jalan di Sumatra Barat senilai Rp 300 miliar.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Demokrat I Putu Sudiartana sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap.

Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan dalam konferensi pers di Gedung KPK Jakarta, Rabu (29/06) menjelaskan, kasus ini terungkap usai Tim Satgas KPK melakukan operasi tangkap tangan di empat lokasi berbeda pada Selasa (28/06), di antaranya terhadap anggota DPR tersebut.

"Selain mengamankan bukti transfer ke sejumlah rekening, penyidik juga menyita uang sebanyak 40.000 dolar Singapura dari rumah IPS saat mengamankan yang bersangkutan. Setelah melakukan pemeriksaan 1 x 24 jam, ditentukan status tersangka sementara ini terhadap IPS, NOP dan SUH sebagai penerima suap. Kasus dugaan suap ini menurut Basaria terkait dengan rencana pembangunan 12 ruas jalan di Sumatra Barat bernilai Rp 300 miliar," kata Basaria Pandjaitan.

"Jadi pada saat itu ada rencana dari Dinas Prasarana Jalan Tata Ruang dan Pemukiman Pemprov Sumatera Barat dalam hal ini kepala dinasnya adalah SPT. Lalu seseorang yang berinisial SHM berjanji akan memuluskan proyek melalui bantuan dari seorang anggota DPR," lanjutnya.

Komisioner KPK La Ode M.Syarief menambahkan KPK saat ini sedang mempelajari kaitan antara anggota dewan itu dengan komisi DPR RI lainnya, termasuk di antaranya soal kewenangan Sudiartana dalam kaitannya dengan pembangunan 12 ruas jalan di Sumatra Barat.

"Yang berhubungan dengan proyek yang digagas Dinas Prasarana Jalan Tata Ruang dan Pemukiman Pemprov Sumatra Barat itu masuk dalam APBN-Perubahan 2016. Memang masih diselidiki karena yang bersangkutan tidak berada dalam komisi yang mengurusi hal itu," kata La Ode M.Syarief.

Kepada VOA Yenti Garnasih dosen hukum pidana bidang ekonomi dan tindak pidana khusus Fakultas Hukum Trisakti berpandangan ada kegagalan dari pengkaderan oleh partai politik termasuk juga sosialisasi penegakan hukum anti korupsi dari pemerintah.

"Pengkaderan oleh partai politik jelas gagal. Integritas pembangunan mental pada mereka gagal. Kemudian sosialisasi hokum terhadap mereka-mereka yang berpotensi melanggar ini juga gagal karena mereka tidak jera atas apa yang ditunjukkan. Bagaimana penegakan hukum dilakukan," jelas Yenti.

Yenti berharap ada kewaspadaan publik terhadap keinginan anggota dewan untuk melemahkan kewenangan KPK.

"Yang membuat undang-undang adalah orang parlemen. Dan mereka yang lebih banyak terkena. Jadi jangan harap lagi lah. Apalagi selama ini mereka ingin menghilangkan kewenangan penyadapan oleh KPK. Mereka ingin sengaja untuk melemahkan. Revisi undang-undang KPK dari mereka adalah untuk melindungi mereka. Ini yang harus kita waspadai," lanjutnya. [aw/lt]