Kepentingan politis mewarnai penolakan anggota DPR terkait wacana penataan dapil yang mendesak dilakukan karena sistem yang ada tidak lagi relevan. Pakar sistem pemilu, Profesor Ramlan Surbakti, bahkan menilai sikap itu mewakili kepentingan jangka pendek.
“Imbauan saya, kepada pemerintah cq Menteri Dalam Negeri dan Komisi II DPR, supaya kalau berpikir mengenai demokrasi itu, tidak hanya 2024. Tapi jauh ke depan,” ujarnya dalam diskusi yang diselenggarakan Perludem, Jumat (13/1) sore.
Ramlan mengingatkan, dapil bukan persoalan sepele dalam demokrasi dan sistem pemilihan.
“Itu adalah inti dari kedaulatan rakyat. Karena di situlah pemilih menentukan siapa wakilnya. Di situlah peserta pemilu bersaing. Jadi, bapak ibu anggota DPR, jangan menganggap enteng daerah pemilihan, karena itulah inti dari kedaulatan rakyat untuk DPR dan DPRD,” tegas Ramlan yang juga guru besar politik di Universitas Airlangga, Surabaya.
DPR Tolak Tata Dapil
Sikap politisi yang menolak penataan ulang dapil, tergambar dalam Rapat Kerja DPR, KPU, Bawaslu, Kementerian Dalam Negeri dan DKKP pada Rabu (11/1). Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Junimart Girsang mengatakan dengan nada mengancam, bahwa persoalan anggaran KPU saja mengalami sejumlah kendala. Karena itu dia mengingatkan lembaga penyelenggaran Pemilu itu untuk tidak menambah masalah baru.
“Kalau bapak kegenitan nambah dapil, ini saja enggak bisa. Jadi jangan bikin persoalan baru. Putusan MK (Mahkamah Konstitusi) 80 itu tidak memerintahkan. Coba dibaca. Tidak setiap keputusan itu harus dilakukan. Bisa iya, bisa tidak, kecuali diperintahkan,” ujar Junimart bernada keras.
“Tidak diperintahkan KPU harus menata dapil. Jangan bikin kerja-kerja baru. Pikirkan anggaran. Mau jadi masalah ini Pak?” tambahnya lagi.
BACA JUGA: MK Kembalikan Wewenang Penentuan Dapil Pemilu Kepada KPUPutusan MK 80 yang disebut Junimart adalah putusan terakhir MK terkait penyelenggaraan pemilu, Dalam amar putusannya, MK menyatakan bahwa kewenangan penentuan dapil, dikembalikan sepenuhnya kepada KPU. Pada tiga pemilu sebelumnya, penataan dapil diputuskan oleh DPR dan Presiden. Sejumlah pakar mengkritisi hal ini karena DPR dan presiden, pada prinsipnya adalah peserta pemilu itu sendiri. Tidak pada tempatnya, peserta menentukan aturan main Pemilu yang akan dia ikuti sendiri.
Ramlan Surbakti mengingatkan dapil yang saat ini ada tidak merepresentasikan setidaknya dua hal, yaitu keseimbangan jumlah penduduk yang diwakili dan perwakilan wilayah. Ada provinsi-provinsi, di mana satu anggota DPR mewakili jumlah penduduk yang sangat banyak, hingga lebih dari setengah juta orang. Namun, banyak provinsi di mana anggota DPR mewakili penduduk dalam jumlah jauh lebih sedikit. Selain itu, luas wilayah sebuah provinsi juga harus menjadi pertimbangan ketika menentukan, berapa kursi DPR yang ditetapkan untuk provinsi itu.
Ramlan memastikan, skema yang sama banyak diterapkan di berbagai negara, dimana jumlah penduduk dan luas wilayah menjadi unsur penting penentuan dapil dalam pemilu.
Gagasan Lama yang Gagal
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati juga menyayangkan kesimpulan DPR dan KPU untuk tidak mengubah Dapil. Perludem adalah lembaga yang mengajukan uji materi ke MK, terkait penataan kembali dapil.
“Sebetulnya gagasan untuk menata kembali, mengevaluasi alokasi kursi dan pembentukan daerah pemilihan, adalah dorongan yang sudah dilakukan sudah cukup lama, bahkan mungkin sejak Pemilu 2014,” ucapnya.
Perubahan diperlukan, karena UU No 7/2017 tentang Pemilu, tidak tepat digunakan dalam penentuan dapil, khususnya DPR RI dan DPRD Provinsi. Ada sejumlah alasan yang disampaikan Khoirunnisa
BACA JUGA: Terkait Dugaan Kecurangan, Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Bersih Minta Komisi II DPR Panggil KPU“Misalnya, ada daerah atau provinsi yang kursinya berlebih, kursinya kurang, daerah yang loncat, atau juga ada inkonsistensi lainnya,” ujarnya.
Jika dapil ditentukan berdasar UU No 7/2017, akan terjadi konflik kepentingan, lanjut Khoirunnisa. Alasannya, DPR dan pemerintah yang membentuk undang-undang itu.
“Ada konflik kepentingan karena ketika dia menjadi lampiran Undang-Undang Pemilu, di mana UU Pemilu ini dibuat oleh peserta pemilu, tentu ada konflik kepentingan di situ,” tambahnya.
Penolakan untuk memperbaiki dapil, menurut Khoirunnisa karena hal ini merupakan salah satu variabel sistem pemilu. Setiap variabel sistem pemilu akan sangat berpengaruh terhadap jumlah kursi yang bisa diperoleh partai politik.
“Dan partai politik pasti sudah punya simulasinya, sudah punya hitung-hitungannya, kalau peta dapilnya seperti ini, akan berapa banyak kursi yang diperoleh. Kalau berubah, seberapa besar pengaruhnya kepada partai politik mereka,” tegasnya.
KPU Tetap Harus Putuskan
Dr. Charles Simabura, pakar hukum tata negara Fakultas Hukum, Universitas Andalas, Sumatra Barat menyebut ada dua hal perlu diperhatikan dari perkembangan yang terjadi. Pertama, pertimbangan-pertimbangan MK dalam putusannya itu sudah diabaikan oleh KPU. Kedua, KPU harus mengeluarkan Peraturan KPU untuk mengatur dapil baru di Pemilu 2024, meskipun isinya sama seperti yang diinginkan oleh anggota DPR, yaitu dalam format lama.
“Semestinya, kalaupun mau bertahan dengan komposisi dapil yang sekarang, pemerintah dan DPR, termasuk juga KPU dan Bawaslu dan DKPP, bersepakat juga bahwa harus ada bentuk hukum baru dikeluarkan terkait dengan dapil,” ujar Charler..
BACA JUGA: Jokowi: Masalah Daftar Pemilih Tetap Selalu Berulang Setiap PemiluBentuk hukum baru yang disebut Charles adalah Peraturan KPU atau PKPU. Jika KPU mengeluarkan PKPU ini, maka setidaknya itu menegaskan bahwa lembaga tersebut menjalankan wewenangnya dalam mengatur Dapil dalam Pemilu 2024. Meskipun, kata Charles sekali lagi, isi dari PKPU itu substansinya tetap mempertahankan format Dapil yang lama, sesuai keinginan anggota DPR.
“Setidaknya dengan demikian, KPU sudah menegaskan bahwa kewenangan penyusunan dapil itu ada pada mereka,” ujar Charles. [ns/ah]