I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi barangkali satu-satunya komisioner KPU RI yang memiliki pengalaman menunda penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Dewa yang baru dilantik April 2020 lalu, mengalaminya ketika memimpin KPU Bali. Di masa lalu, hal itu dimungkinkan sejauh ada koordinasi antara KPU Kabupaten, provinsi dan KPU RI.
“Saya pernah punya pengalaman bersama KPU salah satu kabupaten, ketika masih di provinsi. Kami pernah menunda salah satu penyelenggaraan Pilkada di kabupaten tertentu karena ada berbagai kendala. Jadi, penundaan sebenarnya bukan hal yang baru, tetapi harus ada alasan pembenar dan harus dilihat secara komprehensif. Jadi tidak sekedar menunda begitu saja,” kata Dewa.
Dewa berbagi kisah itu untuk menjawab pertanyaan apakah masih ada kemungkinan bagi KPU untuk menunda pelaksaan Pilkada 9 Desember 2020. Pertanyaan muncul dalam diskusi Politico Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Gadjah Mada (UGM). Diskusi pada Selasa (13/10) itu memasang tajuk: "Meneropong Kelanjutan Pilkada Serentak di Tengah Pandemi."
Namun, penjelasan lebih jauh dari Dewa seolah memastikan, bahwa tidak ada rencana penundaan Pilkada sampai saat ini. Meski banyak desakan disampaikan, terutama karena alasan kesehatan.
Dewa mengatakan, dalam UU nomor 10/2016, Pilkada memiliki desain keserentakan. Desain itu ditetapkan, karena diharapkan pada suatu saat nanti, Pilkada di seluruh Indonesia akan dilakukan pada hari dan tanggal yang sama. Selain itu, ada pula UU nomor 6/2020 yang mengatur bahwa untuk melanjutkan atau menunda pelaksanaan Pilkada harus melalui keputusan bersama antara KPU, pemerintah dan DPR.
Karena itu, lanjut Dewa, sebelum ada kesepakatan baru terkait penyelenggaraan Pilkada, KPU tetap akan melaksanakan proses yang ditentukan. KPU sendiri pernah mengusulkan penundaan, yang akhirnya melahirkan keputusan menunda Pilkada dari 23 September menjadi 9 Desember 2020. Keputusan melaksanakan Pilkada akhir tahun ini, juga sesuai dengan rekomendasi Satgas Covid 19.
BACA JUGA: Suara Rakyat Diabaikan, Pilkada Bakal Tuai Golput?“KPU bertaya ke gugus tugas, sebagai lembaga yang memiliki otoritas terkait dengan aspek penanganan pandemi ini, dan jawabannya memang Pilkada dapat dilanjutkan dengan ketentuan menerapkan protokol kesehatan secara ketat,” tambah Dewa.
Proses Pilkada sendiri saat ini tengah berada dalam tahapan kampanye. Secara umum KPU menilai proses kampanye berjalan baik, meskipun banyak hal baru terkait mekanismenya. Tahapan ini akan tetap dilanjutkan, sepanjang belum ada keputusan baru yang memberikan koreksi terhadap apa yang sudah diputuskan. Dalam hal ini, KPU hanya melaksanan setiap tahapan berdasar Peraturan KPU Nomor 5 tahun 2020.
Di luar persoalan itu, lanjut Dewa, tidak ada pihak yang bisa memberikan kepastian kapan pandemi akan berakhir. Sementara proses demokrasi, pelaksanaan hak memilih dan hak dipilih harus tetap berjalan. Menjadi catatan penting adalah perhatian terhadap masalah kesehatan, dan kekhawatiran itu perlu dijawab dengan komitmen menjalankan Pilkada bebas Covid 19.
Sementara itu, Tim Peneliti dari PolGov dan Big Data Analytics Fisipol UGM telah melakukan pemantauan aktivitas daring untuk mengukur suara terkait Pilkada tahun ini. Dr Mada Sukmajati, salah satu peneliti dalam paparan hasil penelitian menyebut, Indonesia menjadi salah satu negara yang memutusan untuk tetap menggelar pemilihan umum.
Dalam catatan Mada, selama pandemi ini ada 72 negara menunda pelaksanaan pemilu dan 67 negara yang tetap menggelarnya, baik lokal maupun nasional. Pilkada 2020 akan diselenggarakan di 270 daerah, terdiri dari 8 pemilihan gubernur, 224 pemilihan bupati dan 37 pemilihan walikota yang tersebar di 32 provinsi.
BACA JUGA: Pemilukada Saat Pandemi, Haruskan Mempertaruhkan Nyawa?Research Centre for Poltics and Government (PolGov) Departemen Politik dan Pemerintahan (DPP) UGM, melalui Laboratorium Big Data Analytics telah melakukan analisis topik penundaan Pilkada 2020. Analisis ini dilakukan untuk menjawab dua pertanyaan kunci, yaitu bagaimana wacana penundaan pilkada serentak 2020 dari sudut pandang aktor dan isu kunci serta bagaimana respon warganet terkait wacana penundaan pilkada serentak. Tim peneliti mengambil data di media online dan media sosial Twitter, dalam rentang waktu 1 Maret hingga 30 September 2020.
Mada menjelaskan, dalam rentang waktu tujuh bulan itu, ada 3.746 artikel dari 155 portal media dan 52.734 cuitan memperbincangkan topik “Penundaan Pilkada 2020”. Angka ini menunjukkan pembahasan cukup besar baik di media online, maupun di media sosial Twitter. Selama periode itu, ada dua puncak pemberitaan di media online dan media sosial. Puncak pertama, kata Mada adalah pada 31 Maret 2020, pasca kesepakatan penundaan Pilkada 2020 oleh pemerintah.
“Puncak kedua terjadi pasca NU dan Muhammadiyah mengeluarkan pernyataan resmi agar pemerintah mempertimbangkan kembali untuk menunda pelaksanaan Pilkada. Pemberitaan media kemudian muncul lagi terkait topik penundaan,” kata Mada.
Puncak kedua ramainya pemberitaan dan pembahasan itu ada pada 21 September 2020, yang juga merupakan puncak perbincangan cuitan di Twitter. Kondisi ini menurut Mada, menunjukan bahwa masyarakat belum yakin sepenuhnya dengan rancangan pemerintah, khususnya penyelenggara pemilu dalam menyelenggarakan Pilkada di tengah pandemi. Hal ini sekaligus menjadi pendorong KPU meyakinkan masyarakat bahwa desain tahapan pilkada disusun dengan baik terkait resiko penularan.
“Muhammadiyah dan NU menjadi dua institusi non-negara yang memiliki pengaruh signifikan dalam pemberitaan media tentang Penundaan Pilkada 2020 di tengah pandemi Covid-19, sehingga rekomendasi keduanya mendapatkan respon publik yang besar di media sosial,” lanjut Mada.
Your browser doesn’t support HTML5
Penelitian ini juga menggambarkan, pemberitaan penundaan Pilkada 2020 paling banyak dikaitkan dengan isu kesehatan. Menyusul kemudian isu hukum, politik, ekonomi, dan sosial. Ini munjukan bahwa isu kesehatan merupakan isu paling dipertimbangkan terkait Pilkada 2020 di tengah pandemi.
Setidaknya ada enam aktor paling sering diberitakan dalam topik Penundaan Pilkada 2020. Empat aktor, yaitu Joko Widodo, Arief Budiman (Ketua KPU), Tito Karnavian (Mendagri), dan Mahfud MD (Menkopolhukam) ada di satu sisi. Sedang di sisi lain NU dan Muhammadiyah, lewat desakan penundaan Pilkada. [ns/ab]