Krisis Asia Khawatirkan Dunia

Diskusi "Asia Forecast 2016" di CSIS, Washington DC. (VOA/Eva Mazrieva)

Krisis keuangan di Asia akan tetap menjadi hal yang paling mengkhawatirkan dunia, khususnya Amerika. Hal ini mengemuka dalam diskusi “Asia Forecast 2016” yang diselenggarakan CSIS baru-baru ini

Awal Januari lalu geliat ekonomi di China menimbulkan dampak luar biasa ke seluruh dunia. Keputusan China Securities Regulatory Commission menangguhkan sistem "circuit breaker", empat hari setelah diperkenalkan kepada publik, membuat pasar-pasar keuangan di Asia, Amerika dan Eropa terjun bebas lebih dari 2%.

Sistem circuit breaker adalah sistem baru yang dibuat otorita berwenang di China yang sedianya untuk menstabilkan pasar. Tetapi sistem ini justru sudah dua kali menangguhkan perdagangan di lantai bursa pekan ini dan dikecam karena justru semakin membuat pasar menjadi rentan, bukan stabil.

Belum lagi pasar-pasar keuangan pulih, China kembali mengambil kebijakan besar dengan memangkas nilai mata uang yuan, yang terbesar sejak Agustus 2015 lalu. Pemangkasan ini sebenarnya diprediksi tidak akan menimbulkan gejolak luar biasa, tetapi anjloknya harga minyak dunia hingga di bawah 30 dolar per barel kembali membuat pasar-pasar keuangan dunia terjun bebas.

Krisis keuangan Asia dinilai sebagai “black swan” atau hal-hal di luar dugaan yang dinilai memiliki konsekuensi sangat besar. Direktur CSIS Bidang Ekonomi-Politik dan Bisnis China Scott Kennedy mengatakan ketidakpastian ekonomi di China dikhawatirkan akan memicu krisis keuangan babak kedua di Asia, dan berimbas ke seluruh dunia. "Kebijakan ekonomi di China sama tidak jelasnya dengan udara di Beijing saat ini," ujar Scott Kennedy.

"Ada dua kebijakan ekonomi China yang masih akan menimbulkan dampak pada Amerika yaitu pertama, ketidakjelasan arah kebijakan. Kita benar-benar tidak tahu kemana tujuan arah kebijakan itu jika memang China berniat melakukan reformasi ekonomi. Ada begitu banyak kebijakan yang diterapkan. Lihat saja kebijakan yang jelas-jelas merupakan campur tangan terhadap pasar saham dan pasar keuangan, atau perubahan kebijakan terhadap fungsi BUMN bulan September lalu yang tidak disambut baik berbagai kalangan. Jadi secara keseluruhan kebijakan ekonomi China saat ini sama suramnya dengan kondisi udara di Beijing," tambah Kennedy.

Menurut beberapa pengamat yang hadir dalam forum diskusi di CSIS itu, kondisi ketidakpastian itu juga terjadi di Indonesia. Namun, penasihat "Sumitro Chair for Southeast Asia Studies" Ernest Z. Bower tetap optimis dengan kepemimpinan Joko Widodo.

Bower mengatakan, "Jokowi berhasil melakukan reformasi tahun lalu, meskipun memang lebih banyak merupakan reformasi ke dalam negeri. Ia sudah mengeluarkan sejumlah paket kebijakan ekonomi. Tetapi belum menyentuh isu-isu ekonomi besar yang ditunggu-tunggu para investor di luar negeri. Tetapi pasar Indonesia yang sangat besar akan menarik minat para investor, apalagi diperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini akan membaik, seperti peningkatan pertumbuhan China di masa lalu yaitu sekitar 7 – 8 persen. Setiap investor yang ingin menanamkan modal di Asia kini sedang mencari negara, selain China, yang memiliki pertumbuhan ekonomi baik dan sepengetahuan saya mereka akhirnya akan melirik ke Indonesia dan India."

Lalu bagaimana kondisi di Amerika sendiri? Penasihat senior bidang ekonomi politik di CSIS Matthew P. Goodman mengatakan secara keseluruhan kondisi perekonomian di Amerika membaik, dengan tingkat pertumbuhan tahun ini mencapai sekitar tiga persen.

"Ekonomi Amerika umumnya baik. Perkiraan pertumbuhan ekonomi Amerika tahun 2016 menurut IMF baru-baru ini adalah sedikit di bawah 3%. Memang ada sedikit keprihatinan melihat niat Bank Sentral yang tetap akan meningkatkan suku bunga, atau melihat pertumbuhan lapangan kerja yang tidak diikuti dengan kenaikan gaji. Tapi secara keseluruhan ekonomi Amerika tetap baik dan menjanjikan," ujar Goodman.

China, India, Jepang, Korea Selatan dan Indonesia adalah beberapa negara yang dinilai menjadi indikator ekonomi, keamanan dan reformasi yang dilakukan tidak saja di Asia, tetapi juga dunia. Amerika mencermati perubahan kebijakan yang terjadi di negara-negara itu karena kerap menimbulkan riak pada kondisi di negara ini. [em/ii]