Kuliner tengkleng kambing sangat populer, terutama di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Namun, barangkali banyak yang belum tahu, bahwa menu ini lahir karena kondisi krisis pangan.
Indonesia sudah berkali-kali mengalami krisis pangan. Salah satu yang masih ada dalam ingatan, adalah pada periode penjajahan Jepang. Meskipun singkat, tindakan Jepang yang merampas semua beras untuk kebutuhan perang dan memaksa petani di desa menjadi romusha, membuat pangan hilang.
Sejarawan yang juga dosen di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, Heri Priyatmoko mencatat, periode ini melahirkan sejumlah diversifikasi pangan, dalam kenestapaan. Masyarakat terpaksa memasak biji nangka, mengonsumsi jangkrik, laron, dan aneka serangga, memakan tupai, dan beralih ke berbagai umbi-umbian, sekadar untuk bertahan hidup.
Masakan tengkleng, yang dibuat dari tulang kambing juga menjadi salah satunya.
“Dalam situasi yang pelik ini, muncul kuliner tengkleng. Ini muncul untuk merespons zaman itu. Pada saat masyarakat bangsawan, aristokrat yang hobinya makan daging, seperti kambing, pada saat situasi susah, mereka pun merasa eman-eman sehingga tulangnya ikut dimasak,” ujar Heri.
Nestapa Krisis Pangan
Pendiri Solo Societet ini juga menyebut, orang Jawa ketika itu memiliki istilah sae kere sebagai plesetan dari seikerei atau penghormatan kepada matahari, yang diwajibkan Jepang. Sae kere bermakna, lebih baik miskin, yang penting masih hidup. Ucapan arigatou gozaimasu yang bermakna terima kasih, pun diplesetkan menjadi kari kathok goceki mas yang artinya hanya tinggal celana, peganglah, mas.
Heri memaparkan itu dalam diskusi buku berjudul Krisis Pangan, yang ditulis wartawan Kompas, Andreas Maryoto. Acara ini diselenggarakan Minggu (18/4) petang, oleh Keluarga Alumni Gadjah Mada (KAGAMA).
Sebagian isi buku ini, diungkap oleh Heri, misalnya terkait krisis pangan di Aceh pada abad 16-17. Tanah rawa dan musim kemarau membuat Aceh tidak memproduksi beras dan harus mendatangkan dari luar. Sultan Iskandar Muda kemudian mendatangkan budak dari India untuk menjadi petani di Aceh. Selain itu dia juga mengontrol perdagangan beras.
Pada abad 17, Banten juga mengalami hal yang sama.
“Pedagang beras dari Mataram, mengalihkan dagangannya ke Batavia karena harga lebih tinggi. Harga beras naik dari 1 real menjadi 40 real. Sultan Ageng kemudian meminta bantuan Inggris untuk mencarikan beras, kemudian ada impor beras dari Siam atau Thailand,” kata Heri.
Di Jawa, krisis pangan juga terjadi pada 1677-1703 karena tengkulak memainkan harga beras. Selanjutnya, kebijakan tanam paksa 1830-1870 juga mendatangkan krisis pangan karena petani dipaksa menanam tebu. Heri juga mencatat, ada tragedi Gambirmanis sekitar tahun 1960, di mana tikus putih menghancurkan tanaman petani di Wonogiri, Jawa Tengah, Pacitan Jawa Timur dan Gunungkidul di DI Yogyakarta. Krisis ini membuat warga desa sampai menjual anak, petani menjadi pengemis di kota, dan muncul banyak makanan dari bahan buangan, seperti ampas singkong.
BACA JUGA: Jokowi: Kawasan Food Estate di Sumba Tengah akan Diperluas Jadi 10 Ribu HektareAncaman di Masa Depan
Jika sudah terjadi di masa lalu, ada kemungkinan krisis pangan juga akan terjadi di masa depan. Dekan Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Dr Jamhari, mengupas bagaimana Indonesia bergelut dengan kebutuhan beras.
Di tahun 60-an, kata Jamhari, Indonesia tercatat sebagai importir beras nomor 3 atau 4 di dunia. Dengan perjuangan panjang, Soeharto di era Orde Baru mampu menutup sendiri kebutuhan beras itu, bahkan diakui oleh organisasi pangan dunia FAO. Namun, tahun 2018 Indonesia justru menjadi importir beras nomor 2 dunia.
“Apakah itu maknanya krisis? Dari sisi ketahanan pangan, kita cukup. Tetapi yang mencukupi bukan kita seratus persen. Beras tahun 2018, kita importir nomor 2 di dunia. Padahal tahun 1984 kita dinyatakan swasembada. Artinya sudah terjadi siklus menurun,” ujar Jamhari.
Jamhari mengingatkan, Indonesia saat ini mengonsumsi apa yang tidak diproduksi. Negara ini menjadi importir gandum terbesar dunia sejak 2017, padahal hanya ada di urutan 7 atau 8 pada era tahun 60-an. Tahun 2020 lalu, Indonesia juga mengimpor kedelai lebih dari 95 persen, di mana 2015 angkanya masih di 60-70 persen. Di sisi lain, masyarakat membanggakan tahu dan tempe sebagai makanan asli tradisional.
Kondisi itu akan semakin parah di masa depan, karena sejumlah faktor. Jamhari mengingatkan, pertumbuhan penduduk dunia belum terkendali, ada juga faktor krisis bahan bakar atau energi dan krisis air.
Your browser doesn’t support HTML5
Krisis energi dari sumber tidak terbaharukan mendorong manusia memanfaatkan biofuel. Sementara kebutuhan ternak terus naik dan membutuhkan stok makan yang terjamin. Produk pertanian kemudian tidak hanya untuk makanan, tetapi juga bahan bakar dan makanan ternak.
“Jadi, kita misalnya memproduksi jagung, mayoritas itu tidak dikonsumsi langsung manusia, tetapi dikonsumsi ternak dulu sebagai feed,” tambah Jamhari.
Ada juga faktor perubahan iklim, krisis air karena kebutuhan pertanian harus bersaing dengan industri dan rumah tangga. Dari sisi lahan, pertanian menghadapi ancaman sektor perumahan dan konversi lain ke sektor berbeda. Indonesia secara umum belum mampu menghadirkan kebijakan untuk mengerem fenomena itu.
“PBB memperkirakan, tahun 2025 akan defisit pangan kurang lebih 70 juta ton dengan estimasi penduduk 8 miliar. Di tingkat dunia, terjadi di Asia Selatan, Asia Timur dan Asia Tenggara, sedangkan Eropa dan Amerika Utara mengalami surplus,” tambahnya.
Isu Serius Pemerintah
Anwar Sanusi, Ph.D., Sekretaris Jenderal Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT), menyebut pangan adalah isu yang serius bagi pemerintah. Sejak lama, terobosan sudah dilakukan untuk menjaga ketahanan pangan, seperti pembukaan lahan satu juta hektar tanah gambut, ekstensifikasi dan intensifikasi pertanian.
“Yang dilakukan misalnya program food estate, yang memang ini merupakan terobosan untuk menjawab kemungkinan kelangkaan pangan atau krisis pangan yang akan terjadi. Program-program lain saya rasa banyak sekali, yang memiliki konektivitas, usaha-usaha untuk membangun kedaulatan pangan,” kata Sanusi.
Kemendes PDTT juga memprioritaskan sektor ini, dengan dorongan melakukan transformasi ekonomi desa agar semakin kuat, dengan tujuan agar desa tangguh pangan.
Penulis buku Krisis Pangan, Andreas Maryoto, menyebut buku ini sebagai dokumentasi dari apa yang sudah dia lakukan sebagai jurnalis yang fokus terhadap isu pangan dan pertanian. Namun, dia juga menyadari ada fenomena lain yang mendorongnya mencatat perubahan di sektor ini.
“Saya lihat ada kegelisahan, tentang bagaimana sektor pertanian dikelola belakangan ini. Bagaimana perubahan-perubahan lahan, konversi lahan kita lihat. Juga mungkin kita sampai sekarang belum banyak mendengar, inovasi-inovasi yang dilakukan di tengah konversi lahan yang makin cepat,” ujarnya. [ns/ab]