Krisis Pengungsi Memburuk di Tengah Gencatan Senjata yang Rapuh

  • Heather Murdock

Anak-anak pengungsi Suriah menunjukkan tanda "V" yang berarti victory atau kemenangan di kamp pengungsi Suruc di Turki (foto: dok).

Sementara kerusuhan di antara pengungsi yang lari dari Timur Tengah meluas ke perbatasan Eropa dan Balkan, gencatan senjata yang rapuh telah mengurangi tingkat kekerasan di Suriah.

Namun, para analis mengatakan kecuali negara-negara utama di kawasan itu menentukan bagaimana mengatasi sikap masing-masing yang saling berbeda, konflik akan terus pecah dan krisis pengungsi akan makin buruk.

Di perbatasan Yunani dengan Macedonia, para pengungsi dan migran lainnya berusaha menerobos pagar untuk masuk ke Macedonia, sambil polisi Macedonia menembakkan gas air mata untuk mencegah ribuan orang masuk.

Kerusuhan di Yunani hanya sebagian dari sesaknya pengungsi, ketika puluhan ribu orang berusaha keluar dari Suriah menuju Turki dan dalam perjalanan menuju Eropa.

Para analis mengatakan dengan makin dekatnya musim semi, krisis itu akan makin buruk.

"Itulah kekhawatiran setiap orang. Begitu cuaca membaik akan ada gelombang pengungsi yang lebih besar lagi dan pastinya akan makin banyak orang yang akan menyeberang ke Eropa," ungkap Yan St. Pierre.

Polisi Makedonia menembakkan gas air mata ke arah para pengungsi yang berusaha memasuki pagar perbatasan untuk masuk Makedonia, Senin (29/2).

Yan St. Pierre dari kelompok keamanan Mosecon yang berkantor di Berlin, Jerman, mengatakan berlanjutnya serangan militan ISIS juga ikut menyebabkan krisis pengungsi itu karena banyak keluarga melarikan diri dari serangan-serangan udara koalisi pimpinan Amerika dan Rusia selain perang di darat.

Semua pihak menuduh musuh-musuh mereka melanggar ketentuan gencatan senjata yang mulai berlaku akhir pekan lalu. Tetapi PBB mengatakan, suasana yang relatif tenang memungkinkan mereka untuk mengirim bantuan darurat kepada 150 ribu orang minggu ini.

Para analis mengatakan untuk mengakhiri perang itu negara-negara yang bersaing termasuk Arab Saudi dan Iran serta sekutu-sekutunya harus merundingkan kesepakatan mengenai isu-isu yang mereka pertentangkan, yaitu pandangan-pandangan garis keras.

Contohnya, wartawan veteran Arab Saudi dan mantan kepala redaktur harian Saudi Gazette, Khaled Almaeena mengatakan Arab Saudi tidak akan menerima adanya Suriah yang dipimpin Presiden Bashar al-Assad, sekutu terdekat Iran yang telah berjanji untuk merebut kembali seluruh Suriah.

"Saya kira secara politik kita cukup dewasa untuk mengakui harus ada periode transisi. Jika Assad pergi, siapa yang akan mengisi kekosongan. Itu satu, dan merupakan situasi “serba salah” jadi penting kita menerima fakta bahwa prosesnya panjang," ujar Almaeena.

Selain banyak negara terlibat dalam perang Suriah, kelompok militan seperti ISIS dan Front al-Nusra tidak menjadi bagian dari perundingan damai atau gencatan senjata. [my/ii]